Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJUMLAH pengamat politik menilai Jakarta akan tetap menjadi barometer politik nasional meski tak menjadi ibu kota negara lagi. Alasannya, semua infrastruktur politik dan berbagai sektor yang saling mempengaruhi urusan politik masih berada di Jakarta hingga saat ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CEO Proximity Indonesia—lembaga konsultan dan riset di bidang sosial-politik—Whima Edhy Nugroho mengatakan terdapat banyak faktor yang menyebabkan Jakarta akan tetap menjadi daya tarik secara politik ataupun ekonomi meski tak berstatus ibu kota negara lagi. Di antaranya Jakarta masih tetap menjadi magnet bagi investor dan pelaku ekonomi. Kondisi tersebut beriringan dengan sikap pelaku politik yang juga masih menganggap Jakarta sebagai pusat kekuatan politik nasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Sehingga Gubernur Jakarta akan jadi barometer pemimpin nasional. Berhasil memimpin Jakarta itu bisa ke nasional,” kata Whima, Ahad, 2 Juni 2024.
Ia mengatakan situasi itu tecermin dari dua Gubernur Jakarta terdahulu yang berkontestasi dalam pemilihan presiden, yaitu Joko Widodo dan Anies Rasyid Baswedan. Jokowi dua kali memenangi pemilihan presiden, pada 2014 dan 2019. Adapun Anies menjadi calon presiden dalam pemilihan presiden 2024. Anies, yang berpasangan dengan Muhaimin Iskandar, dikalahkan oleh Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dalam pemilihan presiden tersebut.
“Hasil pemilu DKI sudah terbukti membawa Jokowi dan Anies ke tingkat nasional, meski Anies kalah di pemilihan presiden,” ujar Whima.
Pengamat politik Usep Saepul Ahyar sependapat dengan Whima. Usep juga yakin politik Jakarta akan tetap menjadi barometer politik nasional hingga sepuluh tahun ke depan meski sudah tak menjadi ibu kota negara. Salah satu alasannya, saat ini Jakarta bersalin rupa menjadi daerah khusus ekonomi dan industri. Jakarta juga memiliki postur anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) paling tinggi dibanding provinsi lain di Indonesia.
Model struktur pemerintahan di Jakarta, kata Usep, juga berbeda dengan provinsi lain. Otonomi di Jakarta hanya berada di tingkat provinsi. Berbeda dengan provinsi lain, yakni kabupaten atau kota di provinsi itu juga bersifat otonom.
“Kalau bisa memanfaatkan struktur pemerintahan itu dengan APBD yang besar, bakal jadi batu lompatan yang cukup besar untuk menjadi presiden,” kata Usep.
Politik di Jakarta kembali menjadi perhatian setelah Mahkamah Agung mengabulkan uji materi Pasal 4 ayat 1 huruf d Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota. Pasal ini mengatur batas usia kandidat kepala daerah minimal 30 tahun untuk calon gubernur serta 25 tahun untuk calon bupati dan wali kota yang terhitung sejak penetapan pasangan calon.
MA memutuskan bahwa ketentuan dalam Pasal 4 ayat 1 huruf d peraturan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah. MA lantas menafsirkan ulang ketentuan dalam Pasal 7 ayat 2 huruf e Undang-Undang Pilkada, yang mengatur batas usia calon kepala daerah. MA, dengan hakim Yulius sebagai ketua serta Cerah Bangun dan Yodi Martono Wahyunadi sebagai anggota, menyatakan batas usia minimal calon kepala daerah yang tertuang dalam Pasal 4 ayat 1 huruf d peraturan KPU tersebut seharusnya terhitung sejak pelantikan calon terpilih.
Pemohon uji materi Pasal 4 ayat 1 huruf d Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2020 itu adalah Partai Garuda, dengan Ketua Umum Ahmad Ridha Sabara dan Sekretaris Jenderal Yohanna Murtika. Mereka mengajukan permohonan itu pada 22 April lalu.
Putusan Mahkamah Agung ini diduga kuat untuk memuluskan jalan Kaesang Pangarep—putra bungsu Jokowi—berkontestasi dalam pemilihan kepala daerah Jakarta. Dengan aturan lama, Kaesang tak dapat maju dalam pilkada Jakarta karena belum berusia 30 tahun saat penetapan pasangan calon, yang dijadwalkan oleh KPU pada 22 September tahun ini.
Kaesang baru genap berusia 30 tahun pada 25 Desember mendatang. Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia ini lahir pada 25 Desember 1994.
Direktur Eksekutif Indonesia Public Institute Karyono Wibowo menilai wajar semua figur, termasuk Kaesang, tertarik menjadi Gubernur Jakarta meski provinsi ini tidak lagi berstatus ibu kota negara. Pertimbangannya, hingga saat ini Jakarta masih tetap seksi secara geopolitik ataupun geografi.
Karyono mengatakan Jakarta akan tetap menjadi barometer politik nasional dalam beberapa tahun ke depan meski tidak berstatus ibu kota lagi. Dia merujuk pada hasil survei Divisi Penelitian dan Pengembangan Kompas pada 7-9 Desember lalu. Hasil riset itu menunjukkan 72,3 persen masyarakat masih mempercayai bahwa Jakarta akan tetap menjadi barometer politik nasional.
Menurut dia, sampai sekarang image Jakarta masih dianggap sebagai ibu kota meski ibu kota negara sudah berpindah ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, lewat pengesahan Undang-Undang Ibu Kota Negara Nusantara pada 2022. Apalagi lewat Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta yang baru saja disahkan, Jakarta menjadi pusat ekonomi nasional serta menjadi kawasan aglomerasi—meliputi Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur.
“Daya jual Jakarta juga karena APBD yang sangat tinggi. Itu jadi pusat perhatian untuk memperebutkan Jakarta 1,” kata Karyono.
Karyono berpendapat Jakarta juga masih akan tetap menjadi tempat berlangsungnya peperangan ideologi dalam beberapa tahun ke depan. Jadi siapa pun yang berhasil dalam pilkada Jakarta akan berpeluang besar naik tingkat ke politik nasional atau pemilihan presiden.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Hendrik Yaputra berkontribusi dalam penulisan artikel ini