Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Polda Metro Jaya membongkar jaringan penjualan organ ginjal yang diduga bagian dari sindikat internasional tindak pidana perdagangan orang. Pencarian mangsa dilakukan di media sosial.
Jumlah korban sindikat ini diperkirakan bertambah dari saat ini yang teridentifikasi sebanyak 122 orang. Latar belakang korban beragam, kebanyakan terimpit masalah ekonomi pada masa pandemi.
Kasus ini diduga melibatkan aparat kepolisian dan petugas Imigrasi. Pelaku mengaku membayar petugas untuk melancarkan pemberangkatan korban dari Jakarta dan Denpasar.
JAKARTA – Tekanan ekonomi membuat Hanim frustrasi. Hingga akhirnya ia menemukan solusi sesat setelah berselancar di media sosial. Dari sebuah grup di Facebook, Hanim tahu ihwal adanya pasar gelap donor ginjal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Awalnya, pria berusia 40 tahun asal Subang, Jawa Barat, itu berniat menawarkan ginjalnya. Pesan yang ia kirim ke pengunggah informasi kebutuhan donor ginjal pun berbalas. Hanim diminta datang ke sebuah rumah kontrakan di kawasan Bojonggede, Kabupaten Bogor. Di sana, Hanim bertemu dengan seseorang yang ia sebut sebagai "broker" dan mendapat informasi soal sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi jika ingin menjual ginjalnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Saya gagal jadi donor di Indonesia karena istri saya tidak menyetujui. Salah satu syaratnya kan adalah persetujuan keluarga," kata Hanim di markas Kepolisian Daerah Metro Jaya, Jumat, 21 Juli lalu.
Gagal mendonorkan ginjalnya di Indonesia, Hanim tak patah arang. Ia menetap di Bojonggede. Kepada keluarga di kampung, ia mengaku bekerja. Padahal Hanim sedang menunggu peluang lain: menjual ginjalnya di luar negeri.
Peluang itu datang sekitar Juli 2019. Lewat jasa sang "broker", ia terbang ke Kamboja bersama dua calon donor organ ginjal lainnya. Hanim dan seorang donor lolos pemeriksaan kesehatan dan menjalani operasi pengambilan ginjal dengan bayaran Rp 120 juta. Setelah masa pemulihan selama 10 hari, Hanim pun kembali ke Indonesia.
Pengalaman di Kamboja itu membuka peluang tambahan bagi Hanim. Ketika berada di Kamboja, ia bertemu dengan seseorang yang dipanggil sebagai Miss Huang. Perempuan dengan perawakan seperti orang Tiongkok yang fasih berbahasa Indonesia itu belakangan meminta Hanim mencari 10-20 calon donor ginjal lainnya. Sejak saat itu pula, ia menjadi salah satu koordinator dalam sindikat tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan modus penjualan organ ginjal di Kamboja yang tengah diusut Kepolisian Daerah Metro Jaya.
Jurnalis memotret rumah yang diduga sebagai penampungan donor organ ginjal untuk diberangkatkan ke negara Kamboja di Perumahan Villa Mutiara Gading,Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, 20 Juni 2023. ANTARA/Fakhri Hermansyah
Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya meringkus Hanim di Hotel Bunga Karang, Bekasi, pada 27 Juni lalu. Sepekan sebelumnya, kepolisian menggerebek markas sindikat internasional penjualan organ ginjal di Villa Mutiara Gading, Jalan Piano IX, Kelurahan Setia Asih, Kabupaten Bekasi. Sebanyak 12 orang, termasuk Hanim, kini berstatus tersangka.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Hengki Haryadi, mengungkapkan bahwa sembilan tersangka, termasuk Hanim, adalah bekas donor yang kemudian bertindak sebagai koordinator. Tugas mereka adalah mencari mangsa. Seorang tersangka lain bernama Lukman bertugas sebagai penjemput korban dan penghubung dengan jaringan di Kamboja.
Sepuluh tersangka anggota sindikat tersebut dijerat dengan Pasal 2 ayat 1-2 dan/atau Pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Intinya, pasal-pasal tersebut mengancam pidana atas tindakan setiap orang yang merekrut, mengangkut, menampung, mengirim, memindahkan, atau menerima seseorang di dalam ataupun luar negeri dengan tujuan mengeksploitasi. Para pelaku kini diancam dengan hukuman pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun, serta denda paling sedikit Rp 120 juta dan paling banyak Rp 600 juta.
Sejauh ini, penyidik Polda Metro Jaya mengidentifikasi 122 orang yang ditengarai menjadi korban sindikat perdagangan organ ginjal Indonesia-Kamboja tersebut. "Kami masih menelusuri kemungkinan bertambahnya jumlah korban sindikat ini," kata Hengki.
Menurut Hengki, sindikat ini memanfaatkan media sosial untuk memburu calon korban yang bersedia mendonasikan ginjalnya. Dua grup komunitas di media sosial Facebook diduga menjadi salah satu mediumnya, yakni "Donor Ginjal Indonesia" dan "Donor Ginjal Luar Negeri". "Ada dari mulut ke mulut juga," ujar Hengki.
Penyidik masih mendalami sejumlah metode yang dipakai sindikat ini untuk menarik minat korban agar mau mendonasikan ginjalnya. Yang jelas, menurut Hengki, setiap donor dijanjikan mendapat imbalan Rp 200 juta. Duit itu kelak harus dibagi, dengan Rp 65 juta di antaranya kudu diberikan kepada jaringan yang membantu pemberangkatan.
Adapun latar belakang para korban beragam, seperti guru privat, pedagang, buruh, dan petugas keamanan, yang kebanyakan juga berasal dari kelompok dengan kemampuan ekonomi rendah. "Bahkan calon donor ini ada yang S-2 dari universitas ternama karena tidak ada pekerjaan akibat dampak pandemi," kata Hengki.
Melibatkan Aparat Kepolisian dan Petugas Imigrasi
Komisaris Besar Hengki Haryadi menuturkan dua tersangka lainnya dalam kasus ini adalah anggota kepolisian berpangkat ajun inspektur dua (aipda) berinisial M dan petugas Imigrasi berinisial A. Aipda M merupakan anggota Kepolisian Resor Bekasi Kota yang ditangkap dengan dugaan menerima setoran dana senilai Rp 612 juta untuk mengamankan sindikat tersebut. "Dia menyarankan agar membuang gawai dan tinggal berpindah-pindah untuk lari dari kejaran polisi," ucap Hengki. Dia memastikan timnya akan menelusuri pelaku lain yang terlibat dalam sindikat perdagangan organ Indonesia-Kamboja ini.
Berbeda dengan sepuluh tersangka anggota sindikat penjualan organ ginjal, dua penyelenggara negara itu dijerat dengan pasal lain. Aipda M diancam dengan hukuman penjara paling lama 5 tahun, sebagaimana diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 juncto Pasal 221 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP), atas tindakannya yang diduga merintangi penyidikan. Adapun pegawai Imigrasi dengan inisial A terancam hukuman paling lama 5 tahun karena diduga melanggar Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 perihal penyalahgunaan kekuasaan yang mengakibatkan TPPO.
Menurut Hanim, sindikatnya memang menggunakan jasa petugas Imigrasi untuk memuluskan proses keberangkatan di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng, dan Bandara Internasional Ngurah Rai, Denpasar. "Di Soetta, petugas yang membantu kami bernama Septian. Sedangkan yang di Bali bernama Andi," kata Hanim. "Saya enggak tahu jabatannya apa. Saya tahunya pokoknya anak-anak (donor) harus lancar."
Hanim kudu merogoh kocek Rp 3,5-3,7 juta untuk meloloskan setiap calon donor organ ginjal. Biasanya, tujuan keberangkatan disamarkan dengan dalih hendak pergi berjudi. "Karena di situ yang bisa bantu kami," kata dia.
Petugas mengemas barang bukti saat rilis pengungkapan perkara tindak pidana perdagangan orang (TPPO) jaringan internasional Indonesia-Kamboja berupa penjualan organ tubuh di Polda Metro Jaya, Jakarta, 20 Juli 2023. TEMPO/Febri Angga Palguna
Sebelum sampai di tahap pemberangkatan ke Phnom Penh, Hanim bercerita, setiap calon donor organ harus melalui pemeriksaan kesehatan di Indonesia. Mereka harus dipastikan memenuhi sejumlah persyaratan, seperti kadar kreatinin tidak boleh lebih dari 1,1; serta tidak menderita asam urat, darah tinggi, dan hepatitis. Nantinya, pemeriksaan kesehatan lebih lengkap diulang di Kamboja. "Proses operasi ginjal ditanggung seluruhnya oleh broker yang ada di Kamboja," ujarnya.
Karena itu, Hanim memastikan kelompoknya juga melibatkan jaringan internasional di sejumlah negara. Sepengetahuan dia, orang yang mengatur operasi pengambilan ginjal berasal dari Cina. Adapun dokternya berasal dari Vietnam, Kamboja, dan Cina. Dia menyebutkan operasi dilakukan di Rumah Sakit Militer Preah Ket Mealea, Kamboja. "Ginjal donor itu dibeli oleh orang-orang dari Malaysia, Jepang, Korea, Singapura, termasuk Indonesia," Hanim mengungkapkan.
Dari seluruh proses tersebut, Hanim menyatakan tak selalu untung. Ia beberapa kali juga merugi karena kadung menanggung biaya calon donor ginjal yang ternyata tidak lolos pemeriksaan atau gagal operasi di Kamboja. Hanim juga mengaku memiliki utang kepada rumah sakit sebesar Rp 700 juta sehingga sempat berniat berhenti menjalankan bisnis penjualan organ ini. Dia berdalih bahwa niat tersebut diurungkan karena dibujuk oleh Miss Huang, yang meyakinkannya bahwa jasa sindikat ini dibutuhkan banyak orang. "Kasihan. Bagaimana kalau ibarat mereka enggak sampai berangkat kemudian gagal ada yang bunuh diri atau jadi copet?" tutur Hanim.
Hengki Haryadi memastikan penyidik tengah memburu anggota sindikat perdagangan organ ginjal ini di Kamboja, tak terkecuali sosok Miss Huang yang disebut Hanim sebagai orang yang mengurus operasi di rumah sakit setempat. "Kami bekerja sama dengan kepolisian Kamboja untuk mengembangkan kasus ini," ujarnya.
ANDI ADAM FATURAHMAN | DESTY LUTHFIANI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo