PENAMPILANNYA masih tetap sederhana. Langgam bicaranya perlahan. Namun, kalimat-kalimat yang meluncur dari mulutnya terdengar jelas dan tegas - kadang diselipi humor. ~Begitulah sosok A.R. Fakhruddin Ketua PP ~Muhammadiyah ~sejak 1969. Ketika dijumpai Siti Nurbaiti dari TEMPO, ia mhanya mengenakan sarung warn merah ~~~hati dan haju putih yang biasa digunakan untuk salat. Di tengah kesibukannya menghadapi muktamar, ia toh masih mau meluangkan waktunya untuk sebuah wawancara khusus. Berikut petikannya: Tentang pencalonannya kembali? Begini. Dulu saya sudah minta, kalau bisa, saya mundur. Tapi, pimpinan-pimpinan Muhammadiyah wilayah dan provinsi masih minta agar saya jangan mundur. Baik kalau begitu, ya sudah, saya mundur tapi dari ketua saja. Tapi, sebagai anggota, boleh. Apalagi kalau nanti Allah menakdirkan kesehatan saya kembali baik. Insya Allah saya tetap, tapi sebagai anggota. Tentang pencalonan tokoh muda sebagai Ketua PP Muhammadiyah. Setuju saja. Cuma yang memilih ketua kan Muktamar. Yang muda sekali, dan belum pernah bekerja untuk Muhammadiyah, tentu tak bisa. Soal ketua tidak harus dari Kauman. Tapi, Pak Malik Ahmad, orang Padang, menganjurkan agar Ketua PP bagaimanapun sebaiknya orang Yogyakarta. Tentang profesionalisme. Apa sih arti profesional sesungguhnya? Artinya betul-betul ahli, kan? Nah, memang harus dicari orang yang ahli. Tapi, tidak semua keahlian itu harus mendapat gaji. Sebab, di dalam hadis dikatakan Idza wudidal amru ila ghoiri ahlihi, fantadiris sa'ah, artinya, kalau suatu urusan diserahkan pada yang bukan ahlinya, tunggu saja hancurnya. Karena itu, pimpinan-pimpinan Muhammadiyah itu harus punya keahlian. Selain itu, yang penting, karena Muhammadiyah itu organisasi Islam, pimpinan-pimpinan organisasi itu harus yang sekurang-kurangnya paham betul agama Islam. Namun, Muhammadiyah juga sudah lama menggaji guru, dokter, dan perawat. Yang tidak digaji itu, seorang mubalig, seorang yang bertablig. Kalau Muhammadiyah sudah bisa memberi ongkos jalan, ya dikasih ongkos jalan. Bahkan, seperti saya sebagai ketua PP, sekarang, ke Jakarta pakai pesawat. Pulang pergi pakai pesawat. Cuma, sebagai ketua PP, saya memang tidak digaji. Itu semua berdasarkan keikhlasan. Jadi, jangan sampai, misalnya, orang mengatakan, ketua PP untuk tahun 1990-1995, akan digaji Rp 1 juta sebulan. Di dalam Muhammadiyah, diusahakan, jangan sampai orang mau menjadi Ketua PP Muhammadiyah hanya karena soal Rp 1 juta. Jangan. Sebab, tanggung jawabnya pada Allah. Tentang definisi ulama. Ulama itu berarti orang yang pandai, orang yang berilmu. Biasanya, di masyarakat Indonesia, yang disebut kiai itu yang keluaran pesantren. Lalu disebut kiai. Kalau disebut kiai, gambarannya ulama. Padahal, kan tidak semua. Sarjana dari Barat juga tidak mau kalau dipanggil ulama. Tapi, ya~, ~cuma sebagai sarjanal~h. Wala~upun dari McGill (maksudnya: McGill University, Kanada) misalnya, itu pengetahuan agamanya juga cukup luas. Tapi, biasanya yang sering disebut kiai itu kalau dari poodok, pesantren, IAIN, atau sekolah Timur Tengah. Tentang kekerabatan dan "Kauman sentris". Kekerabatan itu tidak ada. Dulu, Muhammadiyah lahir di Kauman. Tentu saja, Kiai Dahlan mengambil orang di sekitar Kauman. Setelah Muhammadiyah tersebar di seluruh Indonesia, tentu lain. Pimpinan Muhammadiyah di Solo, semua orang Solo. Pimpinan Muhammadiyah di Padang atau Aceh, semua, ya, orang Padang dan Aceh. Malah, dulu, yang paling fanatik dengan kata-kata Kauman justru orang Padang. Sampai di Pandangpanjang itu, ada kampung yang dinamakan Kauman, sampai sekarang. Tahun 1937, yang menjadi Ketua PP Muhammadiyah justru Kiai Mas Mansur dari Ampel, Surabaya. Tahun 1959, dipegang Buya Sutan Mansur dari Minangkabau, ada pula Dokter Syamsuddin, dari Padang, K.H. Faqih Usman dari Surabaya. Saya bukan orang Kauman. Wakil Ketua I, Pak Djarnawi, memang Kauman. Wakil Ketua II, Saudara Lukman, orang Padang. Wakil Ketua III, Ismail Suni, dari Aceh. Wakil Ketua IV, Projokusumo dari Turi, Sleman. Lalu Wakil Ketua V, Djindar Tamimi, itu memang orang Kauman. Sekretaris, Pak Rosyad, dari Blora, Bojonegoro. Tidak ada Kaumanisme. Itu cuma guyon, bergurau. Tentang adanya mismanagement dalam pembangunan sekolah-sekolah Muhammadiyah. Sudah diadakan pemeriksaan oleh ahli yan~g lain, dan sudah beres. Agar jangan terjadi lagi, kalau misalnya pembangunan SMA Muhammadiyah I Yogyakarta, tak dikerjakan oleh SMA Muhammadiyah sendiri~ tapi oleh panitia pembangunan dari BP3 dan wali murid. Jadi, ada kontrol. Dan itu untuk pembangunan di atas ratusan juta rupiah. Betul saya ketua PP. Tapi, apa saya disuruh tahu semua. Tak mungkin itu. Orang-orang Muhammadiyah sekarang itu banyak yang berasal dari golongan akademis dan lulusan perguruan tinggi. Keuangan Muhammadiyah kini juga sudah besar. Karena itu, kini Muhammadiyah membentuk BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). BPK ini terdiri dari orang-orang yan~g bisa menyimpan rahasia dan tak memasukkan ke surat kabar. Penyelewengan itu kan karena banyak hal. Karena tidak tahu, tidak sengaja, atau karena sengaja. Baru tiga bulan lalu BPK selesai dibentuk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini