Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Konglomerat tanpa dasi

Muhammadiyah organisasi islam yang cukup besar. amal usahanya merebak mulai dari sekolah, universitas sampai rumah sakit. punya aset milyaran rupiah. namun sayang belum didukung manajemen profesional.

15 Desember 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUNGKIN kurang tepat. Tapi predikat itulah yang kini melekat pada organisasi Muhammadiyah, sebuah organisasi keagamaan paling besar, dalam hal pemilikan amal usaha. Sejak lahirnya pada 1912 hingga sekarang ini, sudah ratusan amal usaha yang telah dikembangkannya. Andaikan saja K.H. Ahmad Dahlan masih hidup, barangkali dia akan terkesima melihat pesatnya laju organisasi yang didirikannya itu. Sebab, cita-cita awal yang dicanangkan penghulu Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat itu hanya ada dua: "Menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad saw. kepada penduduk bumiputra di dalam regentie Yogyakarta", dan "Memajukan hal agama Islam kepada anggota-anggotanya". Tapi, pada perjalanannya, ternyata Muhammadiyah menemukan lahan yang subur untuk berkembang. Para pemuda pribumi yang mulai mengenyam pendidikan Barat, kalangan priayi, menjadi salah satu kelompok penggerak proses dinamisasi. Eksklusivisme "kauman", sebuah stempel yang melekat pada organisasi yang memiliki cabang di 26 provinsi itu, secara perlahan melumer. Kini massa mereka lebih heterogen, mulai dari petani, pengusaha, sampai cendekiawan. Biar begitu, cap sebagai wadah "Islam perkotaan" tetap saja melekat. Namun, justru kelompok "perkotaan" itulah yang kemudian berandil besar melesatkan organisasi. Hadirnya para cendekiawan, seperti diucapkan Djarnawi Hadikusumo, Ketua I PP Muhammadiyah, bisa menjadikan organisasi ini tetap eksis. Tapi di satu sisi, muncul sebuah kesan, telah terjadi pergeseran orientasi. "Saking banyaknya amal usaha dalam bentuk sekolah dan rumah sakit, hingga banyak orang beranggapan bahwa Muhammadiyah sudah bergeser dari gerakan amar ma'ruf nahi mungkar, yang bersifat dakwah, menjadi gerakan amal usaha," tutur Djarnawi terus terang. Dalam usianya yang ke-78, organisasi keagamaan ini ironisnya cuma punya 22 pondok pesantren. Di lain pihak, jumlah sekolah umum terus meningkat. Hingga l990, Muhammadiyah sudah punya 79 buah perguruan tinggi, dengan jumlah mahasiswa 70 ribu orang. "Kontribusi Muhammadiyah pada perguruan tinggi di Indonesia mencapai 9~%, sedang untuk mahasiswa telah mencapai 6~%," kata Rusli Karim Sekretaris Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian, dan Pengembangan, kepada TEMPO. Sekolah yang dimiliki beragam. Mulai dari sekolah umum (TK sampai SMTA), kejuruan, sampai ke madrasah. Total 1.005 buah, dengan siswa 612.934 orang. Sementara itu, rumah sakit ada 19 buah, rumah sakit bersalin 9 buah, rumah bersalin 84 buah, poliklinik 123, dan Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA) tercatat 59 buah. Panti asuhan anak yatim sudah mencapai 251 buah (besar dan kecil), panti jompo 5 buah, sedang apotek baru 3 buah. Dalam bidang bisnis komersial, Senin pekan ini misalnya, telah ditandatangani kerja sama antara Muhammadiyah dan Matahari Group -- perusahaan yang bergerak di bidang eceran. "Lewat kerja sama ini, saya ingin agar warga Muhammadiyah bisa berdagang. Siapa tahu kelak mereka bisa membantu organisasi," kata Rahimy Sutan, 63 tahun, Ketua Majelis Ekonomi PP Muhammadiyah, kepada Andy Reza dari TEMPO. Tidak itu saja. Menurut Rahimy, pihaknya kini tengah merintis kerja sama dengan Lippobank dan BRI. "Kami ingin menimba teknik perbankan dari mereka. Dibanding Nahdlatul U~lama, misalnya, dalam soal perbankan, Muhammadiyah memang ketinggalan. Saat ini, Muhammadiyah baru memiliki sebuah BPR (Bank Perkreditan Rakyat) di Ciputat, Jakarta. Tapi dalam waktu dekat, kabarnya, akan segera dibentuk 100 buah BPR. Agaknya, dalam kaitan itulah kerja sama ini dirintis. Menggebunya Muhammadiyah melakukan diversifikasi ke lahan lain bukan semata-mata untuk meraup uang. Menurut Djarnawi, ada tujuan mulia yang terselip di situ. "Hasil keuntungan, kalau ada, akan digunakan untuk meningkatkan taraf hidup kaum duafa," tutur Djarnawi. Muhammadiyah ingin mengubah strategi pemberian bantuan kaum lemah yan~g selama ini dipakai. "Yang sudah-sudah, bantuan berwujud uang. Sekali pakai, habis." Tapi persoalan yang menghadang sekarang adalah bagaimana mengelola aset yang dimiliki. Masalah manajemen diakui sebagai titik lemah. Manajemen amal usaha yang dipraktekkan saat ini, menurut Rahimy, adalah manajemen lillahi ta'ala. Tapi sukses. Keberhasilan itu, menurut Djarnawi, tak lepas dari sikap hidup warganya. Mereka sangat menghayati anjuran K.H. Ahmad Dahlan, yang pernah berpesan: "Hidupilah Muhammadiyah, tapi jangan cari kehidupan di Muhammadiyah". Pemeo itu, katanya, masih melekat kuat. Segi positifnya, aset yang berupa amal usaha hampir semuanya tumbuh dari bawah. Ditopang lagi dengan tradisi yang ada di Muhammadiyah. PP tak akan meresmikan cabang atau ranting, jika di tempat itu tak ada kegiatan amal usaha seperti sekolah, poliklinik, atau perkumpulan pengajian. Dari sini bisa dimaklumi, mengapa badan amal usaha itu cepat berkembang biak. Menurut Rahimy, jika sistem itu sejak dulu dibenahi, tak mustahil jika sekarang organisasi Muhammadiyah sudah lebih maju. Bermula dari soal manajemen inilah kemudian muncul olok-olok, Muhammadiyah ibarat konglomerat tanpa dasi. Maksudnya, dalam organisasi yang demikian besar dan memiliki asel milyaran, pengelolaan manajemennya dilakukan dengan cara tradisional. Dari organisasi yan~g demikian besar, yan~g mengherankan, hingga sekarang tak satu pun pimpinan Muhammadiyah yang tahu persis, berapa aset yang dimiliki. "Ironis, saya sendiri tidak tahu berapa aset Muhammadiyah," kata Rahimy Sutan, pemilik biro perjalanan Natrabu itu, terus terang. Diperkirakan, aset Muhammadiyah sudah milyaran rupiah. Ambil contoh di sekolah-sekolah Muhammadiyah di Kodya Solo. Tahun ini ditaksir bakal memasukkan pendapatan kotor Rp 2,8 milyar. Ini belum termasuk Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Bukan soal pendataan aset kekayaan saja yang semrawut. Mekanisme pengawasannya pun perlu dibenahi. Selama ini, pengawasan diserahkan pada pimpinan wilayah atau cabang masing-masing. "Yang bekerja semuanya bertanggungjawab pada Tuhan," kata Rahimy. Tapi ternyata soal lemahnya sistem pengawasan itulah yang justru mengundang kerawanan. Pada beberapa proyek amal usaha mereka, telah terjadi mismanagement. Pembangunan kampus FPIPS IKIP Muhammadiyah Jakarta, di Pasar Rebo, misalnya. Terdapat selisih harga Rp 420 juta lebih, dari nilai kontrak yang besarnya Rp 1,682 milyar. Akibatnya, Rasjid Hamidi, dekan FPIPS yang bertindak sebagai penanggung jawab proyek, dicopot dari jabatannya. Hal yang serupa menimpa Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Dalam laporan hasil pemeriksaan TPP tertanggal 14 September 1988, tim menemukan beberapa kejanggalan. Misalnya soal rincian tanah milik UMS, dalam pembukuan UMS terdapat 37 ha. Sedangkan hasil pemeriksaan di lapangan, tanah UMS "membengkak" jadi 55 ha. Juga masalah adanya deposito milik UMS sebesar Rp 300 juta yang diatasnamakan pribadi, yaitu deposito atas nama Ibnu Salim sebesar Rp 250 juta, dan H.M. Djazman (Rektor UMS) Rp 50 juta. Lalu, soal pemilikan kendaraan UMS yang ternyata pemilikannya atas nama pribadi M. Djazman. Menanggapi percikan yang menyangkut nama beberapa anggota itu, Ketua PP Muhammadiyah A.R. Fakhruddin nampak hati-hati. "Masalah itu sifatnya sangat pribadi. Jangan tanya saya, karena saya tidak tahu secara tepat," katanya. Pak AR memandang persoalan itu mengarah ke fitnah. "Laporan yang sampai semuanya sudah jelas. Orang yang tidak senang sepertinya mau menyuntik-nyuntik, tambahnya. "Kenapa orang tidak melihat kebaikan-kebaikan Djazman?" Sebenarnya, persoalan-persoalan yang muncul itu tampaknya berpangkal karena hingga saat ini Muhammadiyah praktis tak memiliki lembaga semacam BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Betul, dua bulan lalu telah dibentuk Lembaga Pembinaan Pengawasan Keuangan (LPPK). Tapi yang jadi pertanyaan, kenapa LPPK (sudah diputuskan pada Muktamar di Solo) baru sekarang dibentuk. Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang cukup besar, dan boleh dibilang modern, manajemennya tradisional dan tak profesional. Aset Muhammadiyah bisa selamat dan tetap utuh adalah karena aturan main yang selama ini dipertahankan. Yaitu, setiap pembelian (tanah) dan pembangunan (gedung amal usaha) dilakukan dengan sentralisasi. Artinya, setiap penjualan harus lewat persetujuan PP Muhammadiyah. Dengan kata lain, aset Muhammadiyah sulit untuk "dimainkan". Cuma, repotnya, karena tak ada lembaga pengawasan, "permainan" masih dimungkinkan pada saat "pembangunan" berlangsung. Aries Margono, IWan Q.H., dan Heddy Lugito

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus