Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Menggugat majelis tarjih

Majelis tarjih muhammadiyah dianggap belum mampu memberi jalan keluar terhadap beberapa masalah kemasyarakatan. misalnya mengenai perbankan dan zakat profesi. belum sepakat dengan majelis ekonomi.

15 Desember 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENGGUGAT kemandekan Muhammadiyah sama dengan mengadili Majelis Tarjih. Apa pasal? Soalnya, institusi yang bertanggung jawab dalam menentukan kepastian hukum bagi warga M~uhammadiyah itu dianggap tak mampu oleh anggota organisasi tersebut dalam memberikan jalan keluar terhadap beberapa masalah kemasyarakatan~~~ ~~~~~~~~~~~~~~~yang berkembang. Ambil contoh, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Muhammadiyah, Ciputat, Jakarta, yang menganut sistem bank umum (memakai asas bunga) dan bank Islam (memakai asas bagi hasil). Keputusan pemakaian asas ganda itu - nasabah boleh memilih salah satu di antaranya - berdasarkan keputusan Majelis Ekonomi. Padahal, Muktamar Tarjih di Sidoarjo, 1969, sudah memutuskan bank dengan sistem bunga hukumnya haram. Ketua Majelis Tarjih, Achmad Azhar Basyir, mengaku telah menegur pimpinan BPR Ciputat, dan mengingatkan mereka bahwa memakai sistem bunga itu tidak cocok dengan keputusan Majelis Tarjih. Tapi teguran itu kelihatan tak punya dampak kuat. BPR Ciputat tetap~ saja menjalankan kebijaksanaan yang digariskan Majelis Ekonomi. "Akibatnya, Muhammadiyah jadi tidak menentu," kata Azhal lagi. Diduga, BPR model Ciputat bakal banyak dibicarakan peserta Muktamal Muhammadiyah di Yogyakarta, minggu ini. Gagasan lain yang juga bakal mengguncan~ Muhammadiyah adalah gagasan Ketua Majeli~ Tablig, Amien Rais, tentang perlunya redefinisi pengertian ulama. Menurut Amien, ulama adalah orang yang menguasai ilmu pengetahuan, dan tak terbatas kaum agamawan yang ahli di bidang fikih saja. Maka, Amien menggolongkan ahli nuklir, kedokteran dan sejumlah keahlian lain sebagai "ulama putih", dan perlu duduk di Majelis Tarjih. Kalau pakar-pakar ilmu umum bisa dikategorik~an sebagai ulama, tambahnya, tak tertutup kemungkinan penafsiran baru terhadap ayat-ayat Quran. Azhar kelihatan bisa menerima pemikiran Amien. Pengertian ulama dalam Quran, katanya, tak cuma sebatas ahli hukum Islam. Sebab itu, bisa saja warga Muhammadiyah. seperti Ir. Sahirul Alim, disebut sebagai ulama kimia fisika, dan Dr. Fuad Amsyari sebagai ulama kedokteran. Tapi apa perlu ulama-ulama putih itu dimasukkan dalam Majelis Tarjih? Agaknya tak begitu perlu. Apalagi, kata Azhar, selama ini Majelis Tarjih selalu mengundang pakar-pakar ilmu umum bila lembaga itu membicarakan masalah kedokteran, seperti vasektomi dan tubektomi. Sejak diusulkan Kiai Mas Mansjur pada Kongres Muhammadiyah di Pekalongan, 1972, Majelis Tarjih dibentuk ~~~sebagai institusi yang memberikan kepastian hukum dalam soal ibadah serta muamalah. Sejak berdiri hingga sekarang, sudah banyak hasil kerja Majelis Tarjih yang dijadikan acuan kerja organisasi - termasuk peninjauan keputusan pengharaman pemajangan gambar pendiri Muhammadiyah, Kiai Haji Ahmad Dahlan, sebagai perhiasan. Mengenai zakat profesi, Majelis Tarjih kelihatan mengalami kesulitan dalam menetapkan batas-batas profesi yan~g ~berpenghasilan berapa yang harus dizakati. Adanya anggota Muhammadiyah, seperti Amien, yang menentukan zakat profesi 20%, menurut Azhar, tidak mempunyai landasan hukum yang kuat. Azhar, yang sejak 1949 bergelut di Majelis Tarjih, penentuan 20%~ diberlakukan bagi barang temuan (rikaz). Bagi profesi tertentu yang keahliannya diperoleh dari proses belajar, tentu angkanya tak sama. Soalnya, keahlian itu memakan waktu, biaya, dan menyangkut tanggung jawab profesi. Keputusan hukum Majelis Tarjih yang masih tak mantap, sekalipun sudah mengacu pada anggota majelis, adalah penetapan hukum untuk menentukan bunga bank. Kasus ini tak juga kunjung selesai. Padahal, Majelis Tarjih, seperti halnya Syuriah NU, selalu menghadirkan pakar-pakar tertentu guna dimintai pendapat untuk kasus-kasus khusus tersebut. Upaya Majelis Ekonomi yang mencoba mencarikan jalan keluar bagi BPR (lewat sistem bank umum dan bank Islam) tetap dianggap keluar dari rel keputusan Majelis Tarjih yang ditetapkan. Sementara itu, di tubuh NU, seperti dikatakan Ma'ru Amin, bunga bank dapat diterima karena alasan hajiyat - sudah setengah darurat. "Hal-hal yang dilarang saja dalam keadaan darurat dibenarkan," alasan Katib Am Syuriah NU itu. Tak aneh bila NU tampak lebih mulus menjalin hubungan kerja sama dengan Bank Summa guna pendirian BPR di berbagai daerah. Selain itu, mereka juga lebih berani menetapkan suatu hukum tertentu karena illat (sebab tertentu). Sedangkan Muhammadiyah justru masib bersitegang. Di satu pihak mempertahankan putusan Majelis Tarjih, di pihak lain Majelis Ekonomi - dengan alasan mencari alternatif mencoba dengan jalannya sendiri. Hal-hal keorganisasian ini tentu saja kian meruwetkan posisi ~Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid. Tapi, kalau ulama putih masuk ke dalam Tarjih boleh jadi Muhammadiyah akan mampu mengembalikan dirinya sebagai gerakan tajdid. Karena dimungkinkan akan terjadi penafsiran-penafsiran baru terhadap Quran dan sunah. ~Agus BAsri dan Wahyyu Muryadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus