Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Petisi 50

50 ulama dari 7 ormas islam di yogyakarta mendukung dipertahankannya gelar sultan yaitu ngabdurahman sayidin panotogomo kalipatolah. pernyataan itu dibacakan hm muchlas abrar dari muhammadiyah.

25 Maret 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI juga "petisi 50", tapi isi dan sasarannya lain. Yang menyusun: 50 ulama Yogyakarta. Tujuannya: mendukung Hamengku Buwono X. Dalam pernyataan yang ditulis di atas selembar kulit lembu itu, mereka bersyukur karena raja Yogya yang baru itu meneruskan tradisi menyandang gelar berciri Islam. Yaitu Ngabdurahman Sayidin Panotogomo Kalipatolah. Artinya: Hamba Allah Yang Pemurah, Kepala dan Pengatur Agama, Khalifah Allah. Para ulama dari tujuh ormas Islam itu, Sabtu malam 11 Maret lalu, diterima Sri Sultan selama 20 menit di kantornya yang disebut Gedong Jene. Mereka duduk di karpet merah. Sri Sultan duduk di kursi pendek, mengenakan pakaian kebesaran Mataram: surjan biru muda, kain batik lereng gurda, lengkap dengan keris. Pernyataan itu dibacakan H.M. Muchlas Abrar, ketua pimpinan wilayah Muhammadiyah Yogya. Isinya antara lain menyampaikan tahniah (penghormatan)? bersyukur, dan mendukung gelar tersebut. Mereka berharap, "Sri Sultan memperoleh kemudahan dan kegembiraan dalam mewujudkan makna gelar itu dalam kehidupan pribadi, keluarga dan keraton." Usai dibaca, pernyataan itu digulung, dimasukkan ke dalam tabung, lalu diserahkan kepada Sri Sultan. Dalam sambutannya, Sri Sultan mengajak para ulama menjaga moral umat dan bangsa. "Terlepas dari gelar yang melekat pada diri saya, kita masing-masing punya tugas sama, memelihara dan menjaga moral umat dan bangsa," katanya. Menurut Muchlas, pernyataan itu tidak didasari motivasi politik. "Kami bertu juan menyampaikan tahniah dan doa, semacam dukungan moral," ujarnya. Hal itu juga ditegaskan oleh Dr. Kuntowijoyo, sejarawan UGM dan cendekiawan Muslim, yang ikut membubuhkan tanda tangan. "Itu sekadar ungkapan rasa bahagia," katanya. Kali ini umat Islam memang senang. H.B. X adalah satu-satunya raja Mataram yang sudah menunaikan ibadah haji, dan dalam pidato penobatannya pun Sri Sultan mengganti istilah kawulo dengan umat. "Ia melihat rakyat Yogya bukan lagi sebagai kawulo tapi umat, yang mengandung makna Islami," kata Kuntowijoyo. Sebab itu para ulama menyetujui gagasan ahli budaya Jawa, Karkono Kamadjaja, untuk memberi gelar baru kepada Sri Sultan: Sultan Haji. Gelar, dalam sejarah Jawa, nampaknya tak bisa dilepaskan dari pertimbangan pohtik. Menurut dosen sejarah IKIP Sanata Dharma, G. Mudjanto gelar Sultan yang panjang itu, dulu punya arti politis untuk memperkuat kekuasaan. Terutama menghadapi para wali penyebar agama Islam atau keturunannya yang sangat berpengaruh di kalangan rakyat. Juga menghadapi para adipati di daerah. Pendapat itu ia tulis dalam Konsep Kekuasaan Jawa terbitan Gama Press, Yogya, 1987. Perbandingan antara masa lalu dan masa kini nampaknya menarik. Karkono -- yang juga Wakil ketua Yayasan Lembaga Javanologi -- ini berpendapat bahwa gelar Sayidin Panotogomo dulu benar-benar dipraktekkan, karena raja punya kekuasaan. Tapi sekarang Sayidin Panotogomo tak berfungsi, sebab yang mengatur kehidupan beragama adalah pemerintah. Tapi ia berpendapat, pemakaian gelar itu tidak apa-apa, "sebab merupakan warisan turun-temurun", katanya. Rupanya Hamengku Buwono X sendiri bertekad menjadikan gelarnya "untuk kesejahteraan dan kemaslahatan umat" -- seperti terungkap dalam amanatnya pada peringatan Isra' Mi'raj di Pagelaran Kraton. "Saya mengharapkan dukungan dan doa segenap kaum muslimin, semoga saya dapat memperkuat iman dan ketakwaan dalam mengemban tugas," katanya. Bagi siapa pun yang hendak mengatur wilayah Yogyakarta, dukungan umat Islam nampaknya tak bisa dielakkan. Daerah Yogya -- di balik masih kuatnya kepercayaan lama, termasuk soal Nyai Roro Kidul, dewi penjaga pantai Selatan yang tersohor itu -- adalah daerah tempat gerakan Islam, khususnya Muhammadiyah, sangat tampil.Budiman S. Hartoyo, Aries Margono, Slamet Subagyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum