RUDINI nampaknya kini menjadi salah satu tempat yang nyaman untuk mengadu. Misalnya Jumat pekan lalu. Sekitar 50 mahasiswa mendatangi kantor Menteri Dalam Negeri itu untuk menyampaikan pengaduan dan protes. Pengunjuk rasa yang berasal dari berbagai universitas datang dengan pakaian rapi. Selembar kain merah muda bertuliskan Gemapakasi (Gerakan Mahasiswa Pembela Keadilan Sosial) dililitkan pada pergelangan tangan kiri sebagai identitas. Mereka berbaris sembari membentangkan spanduk dan sejumlah poster terbuat dari kain dan kertas manila. "Pak Rudini, pecat Bupati Mojokerto", "Kalau mau bakar-bakaran, jangan di perahu rakyat dong", begitu antara lain bunyi poster yang mereka gelar. Ada apa sebenarnya dengan Bupati Mojokerto? Rupanya, para pengunjuk rasa ingin membertahukan penderitaan para penambang pasir dan batu kali di sepanjang Kali Brantas, Mojokerto, Jawa Timur. Menurut mereka sekitar 3.800 keluarga dari 9 desa di 4 kecamatan sepanjang kali itu sebagian besar menggantungkan hidupnya dari menambang pasir dan batu kali. Namun, sumber rezeki mereka terguncang setelah ada SK Bupati Koento Soetedjo, 1 November 1987. Para penggalang, penambang, pengangkut, dan penggali pasir dilarang mengangkat pasir dan batu kali di sepanjang 4 buah sungai di wilayah daerah aliran Sungai Brantas tengah dan hilir. Para mahasiswa juga memprotes eksekusi barang sitaan -- dua perahu milik Somadi dan Mujayanto -- yang dibakar dalam suatu acara resmi oleh bupati dan pejabat tinggi lainnya 13 Februari lalu. Protes keprihatinan itu mereka sampaikan kepada Menteri Rudini setelah gagal di DPRD I Jawa Timur. Dalam pertemuan dengan staf ahli menteri, Moch. Barir, selama 45 menit, Gemapakasi menyatakan menolak kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh Bupati Mojokerto. Kisah itu mula-mula menimpa Somadi, 48 tahun, dan Mujayanto, 35 tahun. Keduanya dipersalahkan melanggar SK Bupati dengan tetap menambang pasir dan batu. Keduanya ditangkap lalu dihadapkan ke Pengadilan Negeri Mojokerto. Mereka dinyatakan bersalah melanggar Perda 40 Tahun 1981, dan dijatuhi denda masing-masing Rp 20 ribu atau kurungan 20 hari. Barang bukti berupa 10 truk pasir dikembalikan kepada Pemda Mojokerto dan dua buah perahu milik mereka disita. Dua perahu seharga Rp 3,5 juta itu dibakar dalam suatu upacara eksekusi. Para mahasiswa juga mempersoalkan SK Bupati yang melarang penambangan pasir dan batu oleh rakyat, sementara penambangan dengan mesin modern kini justru diperbolehkan. Ketika ditemui TEMPO, Bupati Mojokerto Koento Soetedjo mengatakan bahwa pelaksana eksekusi itu adalah Kejaksaan Negeri Mojokerto. Kedua perahu itu digergaji dan diremukkan sebelum dibakar. "Ketika itu, pihak kejaksaan meminta tamu kehormatan untuk menyulutkan api ke badan perahu," kata Koento kepada Wahyu Muryadi dari TEMPO. "Saya hanya diminta sebagai pembakar kehormatan." Mengenai pelarangan penggalian pasir, menurut Koento, itu memang ada dasar yang kuat. "Karena makin hari timbul akibat yang merugikan kepentingan orang banyak," katanya. Kondisi Sungai Brantas disebutkan makin memprihatinkan. Dasar sungai turun 1,7 hingga 3,7 meter. Bangunan pengambil air dan tanggul-tanggul terkena erosi berat. Ini menimbulkan gangguan irigasi dan bahaya banjir di musim hujan. Contohnya, 4.500 ha sawah di daerah Brantas utara tahun 1987 kekurangan air gara-gara rusaknya bangunan pengambil air itu. Bupati yang dituntut mahasiswa agar dipecat itu juga membantah jumlah 3.800 keluarga yang dirugikan oleh SK Bupati itu. "Hanya 400 jiwa penggalang. Itu pun dari luar Mojokerto," ujar Koento, yang belum pernah didatangi para mahasiswa Gemapakasi yang memprotesnya. Setelah soal pembakaran perahu ini, entah apa lagi yang hendak diadukan pada Rudini lewat demonstrasi.Bunga S., Tri Budianto S., (Jakarta), dan Wahyu Muryadi (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini