Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Menggali Akar Masalah dalam Pelayanan Kesehatan

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tidak dilibatkan dalam penyusunan RUU Kesehatan. RUU tersebut tiba-tiba muncul dalam Prolegnas Prioritas 2023 sebagai usulan dari Badan Legislatif DPR.

13 Desember 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ketua Umum PB IDI Adib Khumaidi saat berkunjung ke kantor Tempo, Jakarta, 12 Desember 2022. TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA – Bergulirnya rencana pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan atau omnibus law kesehatan menuai pro dan kontra. Para pendukung berharap RUU ini dapat membenahi masalah kronis dalam sistem pelayanan kesehatan nasional, terutama setelah usulan perubahan Undang-Undang Pendidikan Kedokteran sudah lama mandek. Sementara itu, pihak yang berseberangan justru khawatir metode omnibus law bakal melahirkan masalah baru. Apalagi penyusunan draf RUU tak melibatkan partisipasi publik, mirip seperti yang terjadi pada Undang-Undang Cipta Kerja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUU Kesehatan disebut sebagai rancangan omnibus law karena mengubah beberapa undang-undang sekaligus, yaitu Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang Pendidikan Kedokteran, Undang-Undang Keperawatan, Undang-Undang Kebidanan, Undang-Undang Rumah Sakit, Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan, Undang- Undang Tenaga Kesehatan, Undang-Undang Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJSN), dan Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Pemerintah dan Badan Legislasi DPR beberapa waktu lalu menyetujui RUU Kesehatan ini masuk daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam satu bulan terakhir, usulan inisiatif DPR itu telah dibahas bersama berbagai organisasi profesi di bidang kesehatan. Bola panas saat ini bergulir ke Ikatan Dokter Indonesia (IDI). IDI dinilai menjadi akar dari berbagai masalah kesehatan atau kedokteran. Padahal, di satu sisi, porsi peran IDI hanya sebagian kecil dari ekosistem tata kelola kesehatan di Tanah Air. Sedangkan, di sisi lain, porsi terbesar berada di tangan Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan, pemerintah daerah, dan Konsil Kedokteran Indonesia. 

Tempo mewawancarai Ketua Umum PB IDI, Adib Khumaidi, pada Senin, 12 November 2022. Dalam wawancara itu, Adib didampingi Ketua Bidang Legislasi dan Advokasi IDI, Ari Kusuma Januarto, serta Ketua Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia, Setyo Widi Nugroho. Berikut ini petikan wawancara dengan Adib.

Aktivitas petugas kesehatan di RS Hasan Sadikin, Bandung, Jawa Barat, 19 Oktober 2022. TEMPO/Prima Mulia

Mengapa IDI mempersoalkan RUU Omnibus Kesehatan? 

Kami melihat RUU muncul dalam Prolegnas Prioritas 2023, usulan dari Badan Legislatif DPR. Kami bertanya-tanya, kenapa bisa masuk, padahal belum pernah ada diskusi mengenai ini. Kami kemudian menggelar konferensi pers soal itu.

Besoknya, kami diundang rapat dengar pendapat dengan DPR untuk membuat draf. Padahal, pada saat (RUU) itu muncul dalam Prolegnas Prioritas, seharusnya sudah ada draf. Tapi ini dibalik. Seolah-olah kami dilibatkan dalam penyusunan draf. Padahal tidak. Jadi, ada proses pembuatan undang-undang yang terkesan sembunyi-sembunyi.

Apakah draf RUU yang beredar itu menjawab permasalahan di bidang kesehatan?

Sebenarnya, kalau permasalahan-permasalahan kesehatan—seperti yang disampaikan Kementerian Kesehatan—jawabannya bukan RUU Kesehatan, melainkan bagaimana membuat aturan pelaksana dari UU existing. Itu yang lebih menjangkau ke bawah.

Bagaimana pembenahan sistem pelayanan kesehatan nasional yang semestinya dilakukan di mata IDI?

Kunci semua itu kan hulunya sumber daya manusia. SDM itu kan ada di Undang-Undang Pendidikan Kedokteran. Sudah ada proses (pembahasan) RUU Pendidikan Kedokteran tiga tahun lebih. Sudah di-legislasi di Baleg DPR dan sudah selesai. Kenapa enggak itu yang didorong? Kenapa malah ada undang-undang baru yang belum ada pembahasan, belum ada diskusi?

Ada yang menilai IDI sebagai organisasi memonopoli urusan kedokteran dari hulu ke hilir...

Produksi dan distribusi (dokter) jelas jauh sekali dari urusan IDI. Kami memang terlibat dalam pembuatan standar pendidikan karena di profesi (dokter) harus ada standar profesinya. Sementara itu, untuk pelaksanaan, semua menjadi kewenangan institusi pemerintah sampai saat ini, termasuk pendidikan dokter spesialis, dari hulu hingga hilir.

Syarat rekomendasi IDI dalam penerbitan Surat Izin Praktik dianggap mempersulit dokter. Sebetulnya yang terjadi seperti apa?

Untuk praktik (surat izin praktik/SIP) memang dibutuhkan rekomendasi (bahwa dokter itu) menjadi anggota IDI. Kenapa perlu rekomendasi, karena kami tahu masalah profesi dan masalah etik itu harus dijaga sehingga kami harus memberikan rekomendasi. Yang tahu masalah etik dan profesi tentunya adalah profesi itu sendiri. Syarat lainnya harus mempunyai serkom (sertifikat kompetensi) dan STR (surat tanda registrasi). Jika tiga itu ada, pasti keluar rekomendasi. SIP dikeluarkan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota.

Berapa biaya untuk mendapatkan rekomendasi IDI?

Setiap anggota diwajibkan membayar iuran Rp 30 ribu per bulan. Itu kami sampaikan supaya menghindari persepsi negatif bahwa IDI banyak duitnya. Eksklusivisme organisasi ini sekarang kami ubah menjadi transparan inklusif supaya kami lebih terbuka dengan masukan di internal maupun di luar.

IDI selama ini terkesan eksklusif?

Itu kami akui dan semua pasti melihatnya seperti itu. Ini sekarang kami buat lebih terbuka, transparan, termasuk masalah keuangan pun transparan. Kami selama ini sudah melakukan audit keuangan. Walaupun nama Ikatan Dokter Indonesia ada dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran, pengelolaan organisasi tidak pernah mendapat anggaran dari negara. Pengurus IDI enggak digaji.

Penyakit kronis pada sistem pelayanan kesehatan seolah-olah sengaja dipelihara. Bagaimana menurut Anda?

Di hulu, universitas yang selama ini menjadi tumpuan untuk mencetak dokter umum dan spesialis. Program pendidikan dokter umum dan spesialis membutuhkan waktu yang panjang dan biaya (besar). Tentunya itu harus diselesaikan. Saya kira Kementerian Pendidikan-lah yang harus menjelaskan.

Bertahun-tahun perbandingan antara jumlah dokter dan populasi penduduk Indonesia kurang dari standar 1:1.000 yang ditetapkan WHO. Ini relevan di Indonesia?

Jumlah dokter saja tidak cukup untuk menyelesaikan perbaikan sistem kesehatan nasional. Harus diikuti berbagai komponen seperti pemerataan sebaran dokter dan fasilitas kesehatan supaya itu bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat di bidang kesehatan. Untuk itu, perlu juga ada pemetaan yang lebih detil berapa kebutuhan dokter dan fasilitas kesehatan di setiap daerah. 

HENDARTYO HANGGI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus