Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KARTU NU menjadi senjata baru Setya Novanto untuk bertandang ke pesantren-pesantren Nahdlatul Ulama. Ketua Umum Golkar yang menjabat Ketua Dewan Perwakilan Rakyat ini selalu memamerkan kartu anggota NU itu tiap kali mengunjungi para kiai.
Seperti pada 3 Juni 2017, saat ia bertemu dengan ratusan kiai dan santri Pondok Pesantren Nurul Qur'an Al-Istiqomah di Gresik, Jawa Timur. Juga ketika Setya menyambangi Pondok Pesantren Sabilil Muttaqien di Magetan sepekan kemudian. "Dengan Kartu NU ini, saya ingin bersama-sama memberi kontribusi membangun bangsa," katanya memberi alasan saat ditanyai wartawan pada Kamis pekan lalu.
Setya menerima kartu tersebut saat menghadiri peringatan hari lahir NU ke-91di kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, akhir Januari lalu. Kartu itu ia terima dari Rais Am NU Ma'ruf Amien disaksikan Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj. "Saya kaget saat menerima kartu anggota itu, karena datang ke sana hanya undangan harlah," ujarnya.
Said Aqil mengaku berinisiatif memberikan kartu tersebut kepada Setya. Menurut dia, dengan pemberian Kartu NU itu, Setya telah sah menjadi nahdliyin. Sebelum ada kartu itu, kata Said, NU dan Setya ibarat pasangan yang baru nikah siri. Namun ia enggan menjelaskan mengapa memilih Setya sebagai politikus yang menerima kartu itu. "Yang jelas, itu hak saya," katanya.
Agaknya, pemberian kartu itu bukan tanpa upaya. Kolega Setya di Golkar mengatakan pemberian kartu anggota itu berkat lobi-lobi para politikus Golkar kepada petinggi PBNU sejak 2016. Mereka yang disebut getol melobi Kiai Said dan kawan-kawan adalah Yahya Zaini dan Noor Achmad.
Kedua politikus ini dikabarkan menjadi pintu masuk Setya bertemu dengan para kiai NU di Jawa Timur. Tujuannya adalah menaikkan citra Golkar di kalangan nahdliyin dalam Pemilihan Umum 2019. Tapi keduanya membantah melobi kiai NU demi kartu anggota. "Saya kaget juga ada kartu itu," ujar Yahya, Ketua Koordinator Golkar Jawa Timur. "Saya juga baru tahu beberapa hari ini," Noor menimpali.
Di bawah Setya, Golkar ingin mendapat 30 persen suara atau naik dua kali lipat dari perolehan suara pada 2014. Menurut survei-survei yang disewa Golkar, dari 14,75 persen suara Golkar tiga tahun lalu, sebanyak 12 persen adalah suara nahdliyin. "Ya, tapi tidak hanya untuk NU," kata Setya. "Golkar harus dekat dengan kiai."
Target lain menjadi anggota NU adalah keinginan Setya menjadi calon wakil presiden bersama Joko Widodo. Setahun setelah pemilihan presiden 2014, Golkar satu-satunya partai yang terbuka mengumumkan akan mencalonkan Jokowi sebagai presiden kembali pada 2019.
Usul Setya menjadi pendamping Jokowi pada pemilihan 2019 bergema dalam Rapat Pimpinan Nasional Golkar tahun lalu dan menguat dalam rapat pimpinan partai itu pada Mei lalu. Meski masuk Islam tiga tahun lalu dan naik haji berkali-kali, Setya dikabarkan menganggap modal itu tak cukup buat menggaet pemilih nahdliyin untuk menyokong karier politiknya.
Setya Novanto melesat menjadi elite politik Indonesia dengan menduduki jabatan-jabatan penting di Golkar. Pelbagai perkara korupsi yang membelitnya tak mempan membawanya ke dalam penjara. Ia selalu lolos. Tapi Setya membantah dugaan bahwa ia ingin menjadi wakil presiden. "Menjadi Ketua DPR saja saya sudah bersyukur," ujarnya.
Meski sudah lima bulan mengantongi Kartu NU, Setya baru benar-benar agresif memanfaatkannya sejak awal Juni lalu. Bahkan, di kalangan internal Golkar, ia baru mengumumkan memiliki kartu itu pada Rabu dua pekan lalu. Agung Laksono, mantan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat yang menjadi Ketua Dewan Pakar Golkar, berseloroh ketika Setya mengumumkan hal itu. "Kalau boleh, saya panggil dia Gus Nov," katanya.
"Gus" adalah panggilan hormat para nahdliyin kepada tokoh NU, umumnya kiai, yang karismatis.
Anton Aprianto, Hussein Abri, Yohanes Paskalis
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo