Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apa sebetulnya konsep teritorial menurut perwira tamatan Akabri 1970 ini? Di ruang kerjanya di Mabes TNI, Cilangkap, putra Pahlawan Revolusi Mayjen Sutoyo Siswomiharjo ini menjelaskan kepada wartawan TEMPO Tiarma Siboro, Johan Budi Sp., Arief Zulkilfi, dan fotografer Robin Ong. Berikut petikannya:
Bagaimana sebenarnya timbulnya konsep teritorial TNI itu?
Konsepsi itu dulu diturunkan dari keadaan darurat, SOB, yang resmi dinyatakan Bung Karno pada 1940-an. Kala itu, banyak desa di Jawa Barat, misalnya, dikuasai oleh gerombolan DI/TII Kartosuwiryo. TNI butuh waktu 13 tahun untuk mengatasai pemberontakan itu.Tapi kini semuanya sudah lewat. Sekarang kita harus kembali lagi pada tertib sipil.
Perbedaan pemikiran di kalangan internal TNI kenapa bisa begitu kencang?
Tidak ada perubahan yang bisa berjalan lancar hanya dalam satu hari. Kita harus meyakinkan secara terus-menerus bahwa ada cara baru yang akan lebih baik dari cara-cara lama. Bagi sebuah organisasi militer profesional yang baru saja memasuki alam supremasi sipil, reformasi ini memang berat .
Sebetulnya TNI serius atau tidak untuk menarik peran teritorial ini?
Fungsi itu tetap akan ditarik, tapi secara bertahap.Target waktunya belum dapat dipastikan, sangat bergantung pada peta masukan tentang daerah-daerah. Ada indikasi bahwa beberapa daerah tertentu masih menghendaki keberadaan TNI. Satu daerah berbeda dengan daerah lainnya. Kita tidak bisa membuat penyeragaman dalam pelaksanaan penarikan itu. Kami mintakan masukan dari kodam-kodam, dan ini sedang dikoordinasi pada tingkat Angkatan Darat.
Dalam konsep teritorial yang baru, kodam-kodam bakal "back to barrack"?
Jangan selalu menggunakan istilah back to barrack, deh. Itu bisa menimbulkan kesan kurang menghargai peran militer. Mari kita lihat semua itu sebagai suatu konsekuensi logis dari suatu kebijakan politik pemerintahan sipil tentang pertahanan negara.
Di masa Orde Baru, fungsi teritorial dimanfaatkan untuk politik .
Ya. Itu memang kemudian malah bablas menjadi sarana memobilisasi potensi daerah untuk kekuatan politik tertentu, padahal peran teritorial hanya ketika suatu wilayah mendapat ancaman.
Bisa lebih diperjelas definisi an- caman itu?
Ancaman itu terutama berasal dari luar negeri, bukannya gerakan separatis yang sesungguhnya adalah pelanggaran hukum dari dalam. Untuk yang terakhir, responsnya harus datang dari polisi. Jika polisi tidak mampu, mereka bisa meminta bantuan militer. Tetapi harus ada payung hukum yang memberikan kewenangan militer bertindak. Sebab, di situ KUHAP bisa dikesampingkan, HAM bisa dikesampingkan .
Tempo hari, anggota dewan mempertanyakan kenapa di Aceh dan Irian masih dikedepankan Polri. Tetapi di Ambon dan Poso justru TNI masuk duluan?
Yang mendapatkan mandat menjalankan negara ini siapa, sih? Presiden. Selama presiden belum memutuskan menggunakan militer, kita belum punya kewenangan bertindak. Di Irian, misalnya, Papua Merdeka masih dianggap masalah politik. Jika mereka angkat senjata dan pemerintah merasa ada ancaman fisik, baru kami bisa masuk.
Membentuk Kepala Staf Gabungan (Kasgab) dirasa lebih cocok sekarang ini .
Kasgab ini badan staf yang tidak punya kewenangan komando. Ia bertugas memberikan rekomendasi kepada Menteri Pertahanan. Menhan adalah orang sipil pada lapis pembuat kebijakan, bukan lapis operasional. Sebagai orang sipil, bisakah dia mengomando militer? Tidak bisa. Kita masih memerlukan Panglima TNI. Sebetulnya apa, sih, yang ditakuti dari seorang Panglima TNI? Toh, dia juga hanya akan tetap beroperasi berdasarkan keputusan politik. Kita lihat Australia, di sana tidak ada perang, tetapi punya Chief of Defense Force.
Banyaknya kodam membuat AD kesulitan menghapus peran teritorialnya?
Ya memang tidak bisa sekaligus. Bagaimanapun, kalau pengurangan kodam itu dilakukan, akan terjadi defisit perwira. Karena itu, perubahan tidak bisa drastis. Harus gradual .
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo