Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski tidak sama persis dengan laporan Irjen Dephan, audit BPK menunjukkan indikasi yang sama bahwa telah terjadi korupsi di tubuh Mabes Polri dari 1992 sampai 1999. Audit itu menyebutkan antara lain tentang dana operasional surat izin mengemudi sebesar Rp 300 miliar, yang tidak jelas pertanggungjawabannya. Ada juga program darurat pada anggaran tahun 1999/2000 yang susut ditelan mark-up sebesar Rp 5 miliar. Angka itu belum termasuk pembelian ratusan mobil Timor untuk kendaraan operasional yang harganya didongkrak Rp 10 juta di atas harga resmi.
Tidak hanya itu. Indikasi adanya nepotisme melalui penunjukan langsung tanpa tender dalam pengadaan barang juga diungkap oleh laporan dua institusi negara tadi. BPK menghitung, akibat praktek tersebut ada pajak terutang yang masih tersangkut di rekanan Mabes Polri sebesar Rp 5,8 miliar.
Kasus paling menonjol yang diungkap BPK terjadi ketika Kapolri dijabat oleh Jenderal (Purn.) Roesmanhadi (1998-2000). Di antaranya pembangunan kantor Mabes Polri, yang sangat kental warna kolusi dan nepotismenya. Dari proyek tersebut diduga negara dirugikan Rp 1,8 miliar. Roesmanhadi menunjuk rekanan tanpa membuka tender secara terbuka. "Intinya memang ada penyimpangan dalam kasus tersebut," kata I Gde Artjana, anggota pembina utama BPK yang mengaudit kasus tersebut.
Polisi sendiri, begitu kasusnya mencuat ke pers, awal Maret silam, sebenarnya juga melakukan penyelidikan melalui Irjen Polri. Selain Roesmanhadi, beberapa perwira polisi sudah dimintai keterangan. Kesimpulan awal, menurut Kapolri ketika itu belum ditemukan adanya praktek korupsi dan kolusi.
Melihat gelagat kasus itu tidak kunjung diusut tuntas oleh polisi, DPR turun tangan. Pertengahan Juni lalu, Kapolri Jenderal Rusdihardjo diminta datang ke Senayan untuk menjelaskan kasus tersebut. Entah karena kuatnya desakan wakil rakyat itu atau karena hal lain, Rusdihardjo pun berjanji akan memanggil Roesmanhadi dan perwira tinggi yang terlibat. Kepada wartawan, ia menyebut satu dari tiga jenderal yang diperiksa menunjukkan indikasi terlibat korupsi. "Dia akan segera jadi tersangka," katanya.
Meski tidak menyebut siapa nama tiga perwira tinggi polisi itu, santer terdengar dua di antaranya adalah mantan Kapolri Jenderal (Purn.) Roesmanhadi dan mantan Asisten Perencanaan dan Anggaran (Asrena) Kapolri Mayjen Adang Dorodjatun, yang kini menjabat Kapolda Jawa Barat.
Belakangan, karena hasil Irjen Polri dan BPK berbeda, Kapolri atas perintah Dephan membentuk tim pemeriksa independen. Anggota tim terdiri dari gabungan Irjen Polri dan BPK, diketuai oleh Mayjen Ahwil Luthan, Gubernur Pendidikan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Namun, hingga kini tim tersebut belum menyimpulkan siapa tersangka. Menurut Kadispen Polri, Brigjen Dadang Garnida, tim tersebut sudah memeriksa beberapa perwira tinggi dan menengah Polri.
Polisi tampaknya tidak terlalu serius mengusut praktek korupsi di tubuhnya, paling tidak jika dilihat dari pengakuan para jenderal yang diduga terlibat. "Hingga kini saya belum diperiksa oleh tim gabungan itu," kata Adang Dorodjatun kepada Rinny Srihartini dari TEMPO.
Soal status tersangka yang sempat dituduhkan sudah melekat padanya, itu juga ditolak Adang. Kapolda Jawa Barat itu juga menyangkal telah terjadi penggelembungan harga Timor semasa ia menjabat Asrena Kapolri. Ketika didesak untuk menceritakan lebih lanjut kasus tersebut, ia menolak dan menghindar.
Roesmanhadi, yang disebut tokoh sentral dalam kasus itu, juga belum dipanggil tim gabungan polisi dan BPK tadi. Mantan Kapolri itu membantah dirinya melakukan mark-up dan berkolusi dalam proyek-proyek di lingkungan Mabes Polri. Meski mengaku sebagai pemutus kebijakan, kata dia, "Semua yang menentukan adalah tim teknis dan sudah melalui tender."
Melihat pengakuan kedua kandidat utama yang diduga kuat terlibat dalam kasus tersebut, kecil kemungkinan kasus itu terungkap tuntas. Artinya, akan masuk peti es. Apalagi bertiup isu ada surat dari Dephan yang minta agar beberapa mantan Kapolri dibebaskan dari kasus tersebut.
Jadi, supremasi hukum tampaknya masih sekadar impian.
Johan Budi SP, Arif A. Kuswardono, Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo