Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sejumlah daerah menetapkan status kejadian luar biasa (KLB) penyakit difteri.
Angka kasus campak di beberapa daerah juga melonjak.
Kementerian Kesehatan mengintensifkan imunisasi massal.
SUDAH hampir sebulan Ruang Cempaka di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Slamet, Garut, Jawa Barat, disulap menjadi unit isolasi pasien difteri. Tenaga medis yang bertugas di ruangan itu harus memakai baju hazmat lengkap sebagai alat pelindung diri. Mereka juga telah mendapat vaksin difteri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wakil Direktur Pelayanan Medis RSUD dr. Slamet, Muhammad Willy Indrawilis, menuturkan manajemen rumah sakit juga membentuk tim khusus untuk menangani penyakit infeksi akut yang sangat menular tersebut. Saat ini tersisa seorang pasien suspek difteri yang masih dalam perawatan. Namun, sebelumnya, rumah sakit itu merawat sepuluh pasien dengan gejala difteri. Tiga orang di antaranya positif. "Kebanyakan masih berusia anak-anak," kata Willy kepada Tempo, Rabu, 15 Maret lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Willy, pasien anak dengan gejala difteri itu rata-rata belum mendapat vaksin difteri. "Mungkin waktu kejadian Covid-19 kemarin, kegiatan imunisasi sedikit terganggu," ujarnya.
Pemerintah Kabupaten Garut menetapkan kejadian luar biasa (KLB) penyakit difteri selama 10 bulan ke depan, terhitung sejak 22 Februari 2023. Keputusan itu dibuat setelah tujuh warga Desa Sukahurip, Kecamatan Pangantikan, Garut, meninggal dengan dugaan akibat terserang difteri. Belakangan, Dinas Kesehatan Pemerintah Kabupaten Garut mencatat jumlah pasien meninggal bertambah menjadi delapan orang. Satu pasien yang meninggal dinyatakan positif difteri. Sebaran kasus difteri juga meluas ke beberapa kecamatan lain di Kabupaten Garut, seperti Tarogong Kidul, Cisurupan, dan Cibalong.
Willy menyatakan telah menyiapkan skenario jika difteri mewabah di Garut. Satu di antaranya adalah menambah ketersediaan ruang isolasi dan obat-obatan. Saat ini tersedia 16-32 unit ruang isolasi. Manajemen RSUD dr. Slamet, kata dia, juga telah berkoordinasi dengan Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung untuk mengantisipasi lonjakan angka kasus.
Siswa mengikuti imunisasi massal untuk anak usia 2 bulan-15 tahun di SDIT Miftahul Huda, Kampung Cicapar, Kabupaten Garut, Jawa Barat, 1 Maret 2023. ANTARA/Adeng Bustomi
Sekretaris Dinas Kesehatan Pemerintah Kabupaten Garut, Leli Yuliani, menuturkan pemerintah daerah juga terus berupaya menurunkan angka kasus suspek difteri di Garut. Distribusi vaksin difteri diintensifkan sejak akhir Februari lalu. Targetnya, vaksinasi diberikan kepada 11 ribu bayi berusia di bawah 5 tahun dan anak usia sekolah. Menurut Leli, hingga pekan ini, vaksinasi telah mencapai 63 persen dari target tersebut. "Kami berharap sebelum puasa vaksinasi bisa tuntas,” ujarnya.
Garut hanyalah satu di antara tujuh daerah yang telah menetapkan KLB difteri. Enam daerah lainnya meliputi Lampung Tengah, Jakarta Utara, Sukabumi, Malang, Probolinggo, dan Sampang. Khusus di wilayah Jawa Barat, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat mengidentifikasi 55 kasus suspek difteri. Sebanyak 13 kasus di antaranya terkonfirmasi positif.
Ketua Tim Kerja Surveilans dan Imunisasi Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, Dewi Ambarwati, mengatakan orang yang dinyatakan suspek bisa dinilai 90 persen terkena difteri. “Secara klinis sudah mengarah ke difteri,” ujarnya.
Gejala pada pasien yang terinfeksi berupa demam dan susah menelan. Status KLB, kata dia, ditetapkan di beberapa daerah yang intensitas kasusnya meningkat lantaran penyakit ini mudah menular lewat udara dan tergolong mematikan. Orang yang terinfeksi harus mendapat penanganan kurang dari 72 jam. “Potensi kematian difteri cukup tinggi sehingga berbahaya karena bakterinya mengeluarkan racun yang bisa sampai ke jantung,” kata Dewi.
Difteri disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae. Bakteri ini paling sering menginfeksi bagian hidung dan tenggorokan. Setelah menginfeksi, bakteri ini melepaskan zat berbahaya yang kemudian menyebar melalui aliran darah dan menyebabkan lapisan abu-abu tebal, umumnya di area hidung, tenggorokan, dan lidah. Dalam beberapa kasus, racun ini juga dapat merusak organ lain, termasuk jantung, otak, dan ginjal, sehingga berpotensi menimbulkan komplikasi yang mengancam nyawa.
Difteri juga mudah menyebar karena penularannya dapat melalui partikel di udara, air liur, benda pribadi, seperti peralatan rumah tangga yang terkontaminasi, atau bersentuhan dengan luka yang terinfeksi kuman difteri. Orang yang terinfeksi difteri bahkan masih bisa menularkan bakteri tersebut hingga enam pekan setelah infeksi awal.
Angka Kasus Penyakit Campak Juga Melonjak
Ketua Tim Kerja Surveilans dan Imunisasi Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, Dewi Ambarwati, mengatakan angka kasus campak juga melonjak di Jawa Barat. Pada Januari lalu, jumlah suspek campak tercatat sebanyak 985 orang, dengan 289 orang di antaranya terkonfirmasi positif. Jumlahnya meningkat pada Februari lalu, yakni mencapai 2.307 orang suspek campak dan 800 orang di antaranya positif.
Menurut Dewi, sebagian besar pasien positif campak berasal dari Kabupaten Bogor, Kota Bogor, dan Kota Bekasi. “Kenapa di situ tinggi? Penyakit yang menular itu berhubungan dengan perpindahan orang,” ujarnya.
Dewi mengatakan, hingga saat ini, belum ada kematian akibat campak di Jawa Barat. Walau begitu, ia menegaskan, pemerintah daerah mewaspadai penyakit campak karena bisa berdampak buruk hingga menyebabkan kematian jika diderita oleh pasien yang memiliki penyakit penyerta lain.
Selain Jawa Barat, beberapa daerah telah menetapkan status KLB campak, seperti Kabupaten Luwu Timur di Sulawesi Selatan, Kabupaten Nunukan di Kalimantan Utara, serta Kabupaten Paniai, Nabire, dan Mimika di Papua Tengah. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mencatat, per 7 Maret 2023, jumlah kasus infeksi campak di Papua Tengah mencapai 83 orang, dengan 15 pasien di antaranya meninggal.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Luwu Timur, Adnan D. Kasim, mengatakan campak serupa dengan sarampa. Penyebabnya adalah virus. "Virus yang tidak terlihat. Saya sarankan masyarakat, terutama anak-anak, tetap menjaga kondisi tubuhnya,” ujarnya.
Upaya Kementerian Kesehatan Meredam Difteri dan Campak
Kementerian Kesehatan menuding penurunan cakupan vaksinasi pada masa pandemi Covid-19 sebagai penyebab meluasnya penyebaran difteri dan campak di beberapa daerah. Untuk mencegah penularan makin meluas, Direktur Pengelolaan Imunisasi Kementerian Kesehatan, Prima Yosephine, mengatakan lembaganya akan berupaya menggeber pemberian imunisasi massal di lokasi yang terkena dampak. “Kami juga melakukan surveilans yang ketat untuk memantau kemungkinan kasus tambahan atau kasus baru, juga melakukan identifikasi dan tata laksana kontak erat kasus,” ujar Prima seraya mengimbau masyarakat tetap mengenakan masker untuk mengurangi risiko penularan.
Saat ini, cakupan vaksinasi di beberapa wilayah di Indonesia memang masih rendah. Sebanyak 10 provinsi berada di daftar paling rendah, yakni Aceh, Sumatera Barat, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Papua Barat, dan Papua.
Siswa didampingi orang tua antre mengikuti imunisasi massal untuk anak usia 2 bulan-15 tahun di SDIT Miftahul Huda, Kampung Cicapar, Kabupaten Garut, Jawa Barat, 1 Maret 2023. ANTARA/Adeng Bustomi
Prima menjelaskan, penting untuk membedakan pengertian "memenuhi kriteria KLB" dengan "penetapan KLB". Suatu daerah dianggap telah memenuhi KLB difteri jika ditemukan kasus positif difteri di laboratorium. Sementara itu, untuk campak, kriteria KLB berupa temuan minimal dua kasus positif campak yang memiliki hubungan epidemiologis dalam kurun empat pekan berturut-turut atau temuan lima kasus suspek dalam waktu empat minggu berturut-turut.
Menurut Prima, status KLB difteri dan campak tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di India, Nepal, Bangladesh, dan Afganistan. Data Kementerian Kesehatan mencatat terdapat 132 kasus difteri di Indonesia, dengan 14 pasien terkonfirmasi uji laboratorium. Adapun campak telah mencapai 4.340 suspek kasus, dengan 388 kasus di antaranya terkonfirmasi laboratorium.
Pakar epidemiologi dari Griffith University Australia, Dicky Budiman, mengatakan lonjakan angka kasus campak dan difteri semestinya bisa dicegah melalui imunisasi campak. “Semestinya ini bisa diantisipasi karena tahun lalu sudah terjadi KLB campak, tapi sekarang justru menyebar,” ujarnya.
Dicky tidak menampik bahwa salah satu penyebab meluasnya penyebaran campak dan difteri adalah pandemi Covid-19, yang membuat program vaksinasi terhambat. Dia berharap masalah ini ditangani serius. Dia mengingatkan, satu orang yang terinfeksi penyakit ini bisa menularkan ke 18 orang lainnya. Mereka yang dapat tertular bukan hanya anak-anak, tapi juga orang dewasa berusia di atas 30 tahun. “Untuk antisipasi campak, cakupan vaksinasinya harus 95 persen,” ujarnya.
JIHAN RISTIYANTI | IMAM HAMDI | SIGIT ZULMUNIR | DIDIT HARIYADI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo