Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Ke jepang lewat tes

Monbusho, jepang memberikan bea siswa bagi lulusan sma untuk belajar di 10 universitas di jepang. tes dalam bahasa inggris, disana dites lagi dalam bahasa jepang. memang dicari bibit-bibit unggul.

19 September 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARA peserta tes cuma bisa melongo. Mereka sama sekali belum pernah mencicipi bahasa Jepang, bahkan bilang haik saja belum pernah, tiba-tiba disuruh mengarang dalam bahasa Musashi. Tapi kebingungan itu cuma semenit. Pengawas tes segera menenteramkan peserta, mereka cuma diminta mengisi nama dalam lembar tes. "Tes bahasa Jepang ini hanya formalitas," kata Ali Indranegara, Kepala Bagian Penerangan Konsulat Jepang di Surabaya. Itulah yang terjadi di empat kota (Jakarta, Surabaya, Medan, Ujungpandang) Selasa pekan lalu, ketika pihak Kedubes dan Konsulat Jepang di Indonesia menyeleksi calon penerima beasiswa dari Monbusho, Departemen P dan K-nya Nippon. Dan ini bukan peristiwa biasa, karena peserta tes para lulusan SMA. Artinya, beasiswa dari Monbusho untuk lulusan SMA, yang berlangsung sejak 1960 tapi pada 1972 dihentikan, dibuka lagi, tutur Eiji Hiranaka, Sekretaris Bidang Pendidikan Kedubes Jepang di Jakarta. Bagi siswa dan mahasiswa Indonesia yang berminat belajar ke luar negeri, universitas di Jepang memang pilihan nomor sekian setelah AS, Inggris, Australia, Prancis, dan negara Eropa yang lain. Itu pun sebagian besar adalah mereka yang memang belajar di Jurusan Bahasa Jepang. Hal itu bukan disebabkan kurikulum perguruan tinggi Jepang kurang relevan dengan kebutuhan kita. Tapi karena sulitnya mengikuti kuliah di Negeri Kanji. Keluhan umum mahasiswa Indonesia di Jepang, mereka susah menangkap ilmu dari para dosen Jepang yang ngomong Jepang. Lebih dari itu, mencari buku teks berbahasa Inggris di Jepang sungguh susah. Demi kelancaran kuliah mahasiswa sendiri, Jepang mengkanjikan semua buku teks yang mereka butuhkan dari bahasa asing. Dari hampir 1.000 perguruan tinggi hanya dua yang menggunakan pengantar bahasa Inggris. Tapi dalam seleksi pekan lalu itu soal-soal tes disajikan dalam bahasa Inggris. Bahkan ada tes mengarang dalam bahasa Inggris pula, dengan judul: What should we do for the development of our country in the future -- apa yang bisa kami kerjakan di masa depan untuk negeri kami. Karena itu, tes tersebut, menurut Ali Indranegara, dikerjakan dengan baik. "Bahasa Inggris peserta tes membanggakan,"katanya. Ini bisa dimaklumi, sebab dari 164 yang dipanggil mengikuti tes (yang hadir kemudian 110) mereka sudah merupakan kelompok pilihan. Setidaknya, mereka diseleksi berdasarkan nilai ujian akhir SMA. Selain itu, mereka kebanyakan memang sudah duduk di universitas tahun pertama atau kedua. Tarmizi, umpamanya, adalah mahasiswa semester II Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara (USU) Medan. Pemuda ini tampaknya memang sudah siap. "Tes bahasa Inggris itu gampang," ujarnya. Tapi optimisme Tarmizi nanti harus menghadapi kenyataan, yakni cas-cis-cusnya berbahasa yes dan no di Tetap tak banyak manfaatnya. Dalam tahap kemudian, bahasa Jepang bukan lagi formalitas, tapi keharusan. Untuk itu, akan ada kursus selama setahun. Gunanya menyiapkan para calon mahasiwa (ya, mereka masih calon meski sudah berada di Jepang), untuk mengikuti tes penempatan -- di universitas mana mereka bisa diterima. Tes penempatan memberi peluang setahun lagi bagi yang gagal. Kalau tetap tak lulus, mereka segera diminta ber-sayonara. Begitu berat? Oh, ada keringanannya, tentu. Yakni, "Tes untuk mereka tersendiri, tak perlu bersaing dengan mahasiswa Jepang," kata Hiranaka lagi. Dan bila mereka lulus, fasilitas memang berlimpah. Coba saja, dalam masa kuliah lima setengah tahun, per bulan mereka mendapat beasiswa 135.000 yen, atau lebih dari Rp 1,5 juta. "Itu besar. Lebih besar dari gaji saya," kata Hiranaka sambil tertawa. Tapi awas, tuturnya lagl, mereka harus tetap hemat. Biaya hidup di Jepang tinggi, "Supermi di sini Rp 200, di Jepang bisa Rp 2.000." Ada yang perlu dicatat, tes penempatan itu sangat penting. Sebab, bagi orang Jepang nama universitasnyalah yang menentukan bobot seorang mahasiswa. Lebih baik menjadi jebolan sebuah universitas ternama daripada menjadi sarjana perguruan tinggi tak terkenal. "Kalau hasil tes mereka tinggi, mereka bisa memilih," kata Hiranaka dari Kedubes Jepang itu. Pilihan itu, antara lain, Universitas Hokkaido, Universitas Tohoku Universitas Tsukuba, Universitas Kyoto, Universitas Tokyo, dan Tokyo Institute of Technology. Bagi yang sekadar lulus, harus mau ditempatkan di universitas setaraf dengan nilai mereka. Tapi, memang, apa ruginya mencoba ikut tes, demikian kira-kira kata para peserta. "Ini kesempatan, langsung belajar di pusat industri. Kemajuan Jepang dalam ilmu pengetahuan dan teknologi 'kan sejajar dengan Amerika Serikat," kata Tarmizi, mahasiswa USU Medan itu. Kawannya, Helena Delima, yang kini tingkat II di Fisipol USU, menambahkan, "Beasiswa itu sangat menggiurkan, hingga kami nanti hanya perlu belajar keras." Yang bisa menenteramkan, perguruan tinggi di Jepang biasanya menjamin mahasiswa bisa lulus bergelar sarjana. Para profesor pembimbing malu bila mahasiswa mereka tak lulus. Tentu saja, itu ada batasnya. Dan itu sebabnya, untuk tahap kini hanya akan diterima empat calon. "Kami ingin memilih bibit yang benar-benar jago," kata Hiranaka. Selama ini ada suara-suara bahwa alih teknologi dari ahli Jepang kepada orang Indonesia berjalan seret. Bila ini benar, tampaknya, dibukanya kembali program beasiswa ini bisa menjadi jalan lain untuk alih teknologi tersebut. Putu Setia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus