PARA peserta tes cuma bisa melongo. Mereka sama sekali belum pernah mencicipi bahasa Jepang, bahkan bilang haik saja belum pernah, tiba-tiba disuruh mengarang dalam bahasa Musashi. Tapi kebingungan itu cuma semenit. Pengawas tes segera menenteramkan peserta, mereka cuma diminta mengisi nama dalam lembar tes. "Tes bahasa Jepang ini hanya formalitas," kata Ali Indranegara, Kepala Bagian Penerangan Konsulat Jepang di Surabaya. Itulah yang terjadi di empat kota (Jakarta, Surabaya, Medan, Ujungpandang) Selasa pekan lalu, ketika pihak Kedubes dan Konsulat Jepang di Indonesia menyeleksi calon penerima beasiswa dari Monbusho, Departemen P dan K-nya Nippon. Dan ini bukan peristiwa biasa, karena peserta tes para lulusan SMA. Artinya, beasiswa dari Monbusho untuk lulusan SMA, yang berlangsung sejak 1960 tapi pada 1972 dihentikan, dibuka lagi, tutur Eiji Hiranaka, Sekretaris Bidang Pendidikan Kedubes Jepang di Jakarta. Bagi siswa dan mahasiswa Indonesia yang berminat belajar ke luar negeri, universitas di Jepang memang pilihan nomor sekian setelah AS, Inggris, Australia, Prancis, dan negara Eropa yang lain. Itu pun sebagian besar adalah mereka yang memang belajar di Jurusan Bahasa Jepang. Hal itu bukan disebabkan kurikulum perguruan tinggi Jepang kurang relevan dengan kebutuhan kita. Tapi karena sulitnya mengikuti kuliah di Negeri Kanji. Keluhan umum mahasiswa Indonesia di Jepang, mereka susah menangkap ilmu dari para dosen Jepang yang ngomong Jepang. Lebih dari itu, mencari buku teks berbahasa Inggris di Jepang sungguh susah. Demi kelancaran kuliah mahasiswa sendiri, Jepang mengkanjikan semua buku teks yang mereka butuhkan dari bahasa asing. Dari hampir 1.000 perguruan tinggi hanya dua yang menggunakan pengantar bahasa Inggris. Tapi dalam seleksi pekan lalu itu soal-soal tes disajikan dalam bahasa Inggris. Bahkan ada tes mengarang dalam bahasa Inggris pula, dengan judul: What should we do for the development of our country in the future -- apa yang bisa kami kerjakan di masa depan untuk negeri kami. Karena itu, tes tersebut, menurut Ali Indranegara, dikerjakan dengan baik. "Bahasa Inggris peserta tes membanggakan,"katanya. Ini bisa dimaklumi, sebab dari 164 yang dipanggil mengikuti tes (yang hadir kemudian 110) mereka sudah merupakan kelompok pilihan. Setidaknya, mereka diseleksi berdasarkan nilai ujian akhir SMA. Selain itu, mereka kebanyakan memang sudah duduk di universitas tahun pertama atau kedua. Tarmizi, umpamanya, adalah mahasiswa semester II Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara (USU) Medan. Pemuda ini tampaknya memang sudah siap. "Tes bahasa Inggris itu gampang," ujarnya. Tapi optimisme Tarmizi nanti harus menghadapi kenyataan, yakni cas-cis-cusnya berbahasa yes dan no di Tetap tak banyak manfaatnya. Dalam tahap kemudian, bahasa Jepang bukan lagi formalitas, tapi keharusan. Untuk itu, akan ada kursus selama setahun. Gunanya menyiapkan para calon mahasiwa (ya, mereka masih calon meski sudah berada di Jepang), untuk mengikuti tes penempatan -- di universitas mana mereka bisa diterima. Tes penempatan memberi peluang setahun lagi bagi yang gagal. Kalau tetap tak lulus, mereka segera diminta ber-sayonara. Begitu berat? Oh, ada keringanannya, tentu. Yakni, "Tes untuk mereka tersendiri, tak perlu bersaing dengan mahasiswa Jepang," kata Hiranaka lagi. Dan bila mereka lulus, fasilitas memang berlimpah. Coba saja, dalam masa kuliah lima setengah tahun, per bulan mereka mendapat beasiswa 135.000 yen, atau lebih dari Rp 1,5 juta. "Itu besar. Lebih besar dari gaji saya," kata Hiranaka sambil tertawa. Tapi awas, tuturnya lagl, mereka harus tetap hemat. Biaya hidup di Jepang tinggi, "Supermi di sini Rp 200, di Jepang bisa Rp 2.000." Ada yang perlu dicatat, tes penempatan itu sangat penting. Sebab, bagi orang Jepang nama universitasnyalah yang menentukan bobot seorang mahasiswa. Lebih baik menjadi jebolan sebuah universitas ternama daripada menjadi sarjana perguruan tinggi tak terkenal. "Kalau hasil tes mereka tinggi, mereka bisa memilih," kata Hiranaka dari Kedubes Jepang itu. Pilihan itu, antara lain, Universitas Hokkaido, Universitas Tohoku Universitas Tsukuba, Universitas Kyoto, Universitas Tokyo, dan Tokyo Institute of Technology. Bagi yang sekadar lulus, harus mau ditempatkan di universitas setaraf dengan nilai mereka. Tapi, memang, apa ruginya mencoba ikut tes, demikian kira-kira kata para peserta. "Ini kesempatan, langsung belajar di pusat industri. Kemajuan Jepang dalam ilmu pengetahuan dan teknologi 'kan sejajar dengan Amerika Serikat," kata Tarmizi, mahasiswa USU Medan itu. Kawannya, Helena Delima, yang kini tingkat II di Fisipol USU, menambahkan, "Beasiswa itu sangat menggiurkan, hingga kami nanti hanya perlu belajar keras." Yang bisa menenteramkan, perguruan tinggi di Jepang biasanya menjamin mahasiswa bisa lulus bergelar sarjana. Para profesor pembimbing malu bila mahasiswa mereka tak lulus. Tentu saja, itu ada batasnya. Dan itu sebabnya, untuk tahap kini hanya akan diterima empat calon. "Kami ingin memilih bibit yang benar-benar jago," kata Hiranaka. Selama ini ada suara-suara bahwa alih teknologi dari ahli Jepang kepada orang Indonesia berjalan seret. Bila ini benar, tampaknya, dibukanya kembali program beasiswa ini bisa menjadi jalan lain untuk alih teknologi tersebut. Putu Setia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini