Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ancaman terhadap kebebasan pers masih terjadi hingga kini. Peneliti media, Eriyanto, menyatakan, dari tahun ke tahun, ancaman terhadap kebebasan pers di Indonesia terus mengalami peningkatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia berujar, selama 2010-2017, per tahun rata-rata ada 70 bentuk kekerasan terhadap pers dengan kasus tertinggi adalah bentuk kekerasan fisik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Ini akan berdampak pada kualitas pemberitaan, juga terhadap penyampaian aspirasi masyarakat,” ucap Eriyanto dalam Diskusi Publik bertema “Ancaman terhadap Kebebasan Pers” di Universitas Indonesia, Jumat, 23 Maret 2018.
Diskusi yang diselenggarakan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia tersebut turut dihadiri Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo dan pengajar jurnalistik, Masmimar Mangiang.
Eriyanto menuturkan kebebasan pers sangat penting mengingat peran media sebagai kontrol jalannya pemerintahan dan sarana penyalur aspirasi masyarakat.
“Kalau intimidasi media masih berjalan, ini akan berdampak pada pemberitaan yang dikeluarkan media itu,” katanya.
Melihat hal itu, Eriyanto menyimpulkan, kondisi kebebasan pers di Indonesia masih di posisi yang tidak bebas dan tidak merdeka. “Kebebasan pers di Indonesia masih di tengah-tengah,” ucapnya.
Jika pada masa Orde Baru tekanan terhadap kebebasan pers datang dari pemerintah yang berkuasa, kini tekanan tersebut datang dari kelompok-kelompok masyarakat yang merasa memiliki kekuatan untuk mengabaikan begitu saja prinsip supremasi hukum di Indonesia.
“Aksi tersebut mencerminkan masih kurangnya pemahaman di sebagian kelompok masyarakat terhadap arti penting kebebasan berpendapat sebagai bagian dari hak asasi manusia yang dijamin UUD 1945,” ucapnya.
Sebelumnya, kantor Tempo didemo Front Pembela Islam. FPI menuntut Tempo meminta maaf atas pemuatan kartun bergambar seseorang bersurban yang kelompok ini anggap melecehkan pemimpinnya, Rizieq Shihab. Aksi tersebut dianggap sebagai bagian dari ancaman kebebasan pers.