Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Indonesia masih dikategorikan sebagai negara dengan tingkat kebebasan pers yang rendah.
UU ITE masih menjadi undang-undang yang berbahaya bagi jurnalis online.
Pasal yang kerap melemahkan kebebasan pers adalah Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 28.
Reporters Without Borders (RSF) baru saja merilis indeks kebebasan pers bertepatan dengan Hari Kebebasan Pers Sedunia, 3 Mei 2023. Indonesia berada di peringkat ke-108 dari 180 negara. Peringkat ini naik sembilan tingkat dari tahun sebelumnya, yakni 117. Adapun tahun lalu (2022), indeks turun ke urutan 117 dari 113 pada 2021. Meski pada tahun ini peringkatnya naik, angka itu menunjukkan tingkat kebebasan pers di Indonesia masih payah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Secara keseluruhan, organisasi nirlaba internasional yang bergerak di bidang riset kebebasan media itu mencatat lingkungan untuk jurnalisme "buruk" di tujuh dari sepuluh negara dan hanya "memuaskan" di tiga dari sepuluh negara di dunia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam paparan riset yang dimuat di laman resminya kemarin, RSF, yang bermarkas di Prancis, memaparkan situasi "memuaskan" di 52 negara, "bermasalah" di 55 negara, "sulit" di 42 negara, dan "sangat serius" di 31 negara. Indonesia masih berada dalam kategori negara dengan tingkat kebebasan pers yang rendah alias kategori sulit.
RSF juga mencatat wartawan yang menyelidiki kasus-kasus korupsi lokal sering menjadi sasaran berbagai bentuk intimidasi, dari penangkapan hingga kekerasan fisik. Hal ini mengakibatkan tingginya tingkat penyensoran mandiri. Juga bisa berbahaya bagi jurnalis untuk meliput isu-isu lingkungan ketika isu-isu tersebut menyangkut kepentingan pribadi yang besar yang didukung oleh pejabat lokal.
Sebelumnya, tahun lalu, Dewan Pers merilis Indeks Kemerdekaan Pers 2022 secara nasional. Dari hasil survei Dewan Pers sepanjang Januari-Desember 2021 di 34 provinsi di Indonesia, indeks secara nasional sebesar 77,88 atau hanya naik 1,86 poin dibanding indeks pada 2021 sebesar 77,88. Menurut Dewan Pers, selama lima tahun terakhir (2018-2022), IKP nasional terus naik. IKP sebesar 77,88 itu mengindikasikan bahwa pers nasional berada dalam kondisi "cukup bebas" untuk mengekspresikan informasi dan berita yang disajikan.
Survei Dewan Pers mencatat tiga provinsi dengan IKP tertinggi, yakni Kalimantan Timur (83,78), Jambi (83,68), dan Kalimantan Tengah (83,23). Sedangkan yang terendah adalah Papua Barat (69 ,23), Maluku Utara (69,84), dan Jawa Timur (72,88).
Serangan dan Hambatan Kerja Jurnalistik
Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Ika Ningtyas, mengatakan, ada beberapa penyebab indeks kebebasan pers tak membaik tahun ini meski Indonesia sudah memulai transisi menuju demokrasi sejak 1998 dan Undang-Undang (UU) Pers Nomor 40 disahkan pada 1999. Dari aspek legislasi, salah satunya dengan adanya UU KUHP yang memuat sejumlah pasal yang mengancam kebebasan pers. Selain itu, menurut dia, sempat ada pemblokiran delapan platform pada akhir Juli 2022 yang berdampak pada kerja-kerja jurnalis.
Simak Pula: Sistematis Bungkam Kerja-kerja Jurnalistik
Sementara itu, serangan terhadap jurnalis hingga organisasi media terus muncul. AJI Indonesia mencatat jumlah serangan mencapai 61 kasus pada 2022. Sasarannya adalah 97 jurnalis menjadi korban dan 14 organisasi media. Angka itu naik dibanding pada 2021sebanyak 43 kasus. Selain itu, terdapat 33 kasus serangan dalam kurun waktu Januari 2023 hingga 30 April 2023. Angka ini meningkat dibanding periode yang sama pada 2022 yang hanya 15 kasus.
Menurut Ika, selama ini kasus-kasus serangan terhadap jurnalis kerap kali berakhir dengan impunitas. “Jadi, pelakunya melenggang bebas dan itu memicu kekerasan berikutnya,” kata Ika kepada Tempo, 2 Mei 2023.
Ika mengatakan bahwa pemerintah, Dewan Pers, bersama institusi negara lainnya, harus membuat mekanisme pelindungan holistik untuk jurnalis, yang meliputi aspek pencegahan, pelindungan, dan penegakan hukum. “Preventif dengan mensosialisasi UU Pers kepada semua lapisan masyarakat, seluruh tingkat kepolisian, dan pemerintah daerah.”
Mereka perlu memahami pentingnya pelindungan bagi jurnalis dan bagaimana jika ada sengketa pemberitaan. Selain itu, perusahaan media perlu melatih jurnalisnya dalam memitigasi seluruh risiko, dari ancaman fisik, digital, kriminalisasi, hingga kekerasan seksual.
Selain itu, pemerintah dan DPR perlu mencabut regulasi yang menghambat kerja-kerja jurnalis. Menurut Ika, regulasi itulah yang membuat catatan kebebasan media di Indonesia tak banyak berubah. Berbeda dengan beberapa negara tetangga, seperti Malaysia, yang dalam catatan RSF berada di urutan lebih baik, yakni 73, atau naik 40 poin dari tahun sebelumnya. Sedangkan Timor Leste berada pada urutan ke-10.
Ika mengatakan, dari aspek keamanan, di dua negara tersebut memang jarang ada kasus kekerasan, penahanan, dan pembunuhan terhadap wartawan. “Dari aspek legislatif di Timor Leste juga tidak ada undang-undang atau regulasi yang membatasi seperti UU ITE atau KUHP di Indonesia,” ujar dia.
Sebelumnya, Dewan Pers menyatakan bahwa kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi menghadapi upaya pembungkaman setelah UU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru disahkan pemerintah dan DPR. Sebab, UU KUHP dapat menjerat wartawan dan perusahaan pers sebagai pelaku tindak pidana ketika menjalankan tugas jurnalistik.
“Tidak hanya mengancam dan mencederai kemerdekaan pers, tapi juga berbahaya bagi demokrasi, kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta pemberantasan korupsi,” kata Arif Zulkifli, Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers, dalam keterangan tertulis, Kamis, 8 Desember 2022.
Mereka yang Dikebiri Regulasi
Indeks global versi RSF mencatat kenaikan, tapi dalam rilis tentang "Serangan terhadap Kebebasan Berekspresi dan Kebebasan Pers Indonesia" yang dikeluarkan AJI, disebutkan bahwa kebebasan pers justru mundur. Pemicunya adalah sejumlah regulasi yang tak ramah terhadap pers.
Beberapa regulasi itu di antaranya UU Nomor 1 Tahun 1946, UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 dan Peraturan Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Privat, UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana, serta UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
UU ITE masih menjadi undang-undang yang berbahaya bagi jurnalis online maupun mereka yang menyampaikan kritiknya di media sosial. AJI mencatat, sejak UU ITE lahir pada 2008 dan direvisi pada 2016, sedikitnya 38 jurnalis dilaporkan dengan pasal-pasal bermasalah di UU ITE, dan empat di antaranya dipenjara karena dinyatakan bersalah oleh pengadilan.
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik juga sempat menjadi jerat yang memerangkap Diananta Putra Sumedi. Jurnalis Benjarhits.co yang juga koresponden Tempo ini terjerat Pasal 28 ayat 2 UU ITE.
Diananta Putera Sumedi saat bebas di Kalimantan Selatan, 17 Agustus 2021. Dok Koalisi untuk Masyarakat Adat dan Kebebasan Pers
Kasus Diananta bermula dari berita yang ditayangkan Banjarhits.id/Kumparan.com berjudul "Tanah Dirampas Jhonlin, Dayak Mengadu ke Polda Kalsel", yang tayang pada 8 November 2019. “Saya menulis konflik lahan.” Karena perusahaan yang ia tulisnya keberatan, Diananta kemudian dilaporkan ke Dewan Pers, kemudian ke polda setempat.
Di Dewan Pers, ia sudah melalui mekanisme sesuai dengan UU Pers. Diananta ditetapkan melakukan pelanggaran kode etik. Ia kemudian diminta mencabut berita dan melayangkan permintaan maaf. “Itu semua sudah saya lakukan,” kata Diananta.
Ternyata pihak pengadu belum puas, sehingga laporan pidana terus jalan. Ia kemudian divonis 3 bulan 15 hari penjara dan bebas pada 17 Agustus 2020. Pria berusia 39 tahun itu tetap menjadi jurnalis hingga saat ini, tapi ia mengaku lebih berhati-hati dalam setiap proses menulis berita. "Mereka membungkam dengan membuat efek jera." Sehingga pewarta semakin berat melakukan kerja jurnalistiknya.
Akibat adanya regulasi ini, jurnalis jadi lebih rentan dikriminalkan, khususnya jurnalis di daerah. “Yang paling rentan, kalau di wilayah saya penulisan tentang konflik sumber daya alam,” tutur Diananta.
Diananta tak sendiri. UU ITE juga menjerat Muhammad Asrul, 38 tahun, mantan jurnalis Beritanews. Ia dilaporkan ke Kepolisian Darah Sulawesi Selatan oleh Farid karim Judas, Kepala BPKSDM Palopo, pada 17 Desember 2019 dan ditahan selama 36 hari di Rutan Polda Sulsel.
Pada 23 November 2021, majelis hakim Pengadilan Negeri Palopo memvonis Asrul bersalah dengan menggunakan Pasal 45 ayat 1 juncto Pasal 27 ayat 3 UU ITE. Asrul dan kuasa hukumnya sempat mengajukan memori banding ke Pengadilan Tinggi Makassar hingga permohonan kasasi ke Mahkamah Agung. “Namun semuanya ditolak,” ujar Asrul kepada Tempo, Selasa, 2 Mei 2023. Permasalahan kerja jurnalistik seharusnya ditangani dengan menggunakan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999. Namun kenyataannya, banyak jurnalis yang kerja jurnalistiknya harus berakhir di meja pengadilan akibat UU ITE.
Muhammad Asrul mengikuti sidang di Pengadilan Negeri Palopo, Sulawesi Selatan, 23 November 2021. Dokumentasi LBH Makassar
Nenden Sekar Arum, Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi Safenet, mengatakan, sejak UU ITE disahkan, kebebasan pers Indonesia semakin dikebiri. Sejak awal, ia dan rekan-rekan koalisi organisasi media sudah mencatat dan menginventarisasi pasal-pasal bermasalah yang melemahkan kerja media. “Revisi pertamanya tidak memberi dampak yang signifikan,” kata dia. Ia mengatakan, yang kerap melemahkan kebebasan pers adalah Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 28. “Tapi yang bermasalah bukan dua pasal itu saja,” ujarnya.
Baca Juga: Ancaman Berulang terhadap Kebebasan Pers
Ade Wahyudin, Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, mengatakan, tuntutan pencabutan pasal-pasal karet yang sempat dilayangkan koalisi dan organisasi-organisasi pers pada revisi pertama UU ITE hanya direspons dengan penurunan tahun masa tahanan. “Dari pidana 6 tahun menjadi 4 tahun,” kata dia.
Di sisi lain, revisi yang diundangkan pada 2016 juga memuat sisipan aturan baru, right to be forgotten—hak untuk dilupakan—yang tertuang dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016. Hal itu dapat mengganggu kebebasan pers. “Bisa saja ada yang meminta penghapusan konten berita dengan pasal ini.”
Pada 2022, LBH Pers mendampingi tujuh kasus jurnalis dan karya jurnalistiknya yang dijerat menggunakan UU ITE. “Kebanyakan Pasal 27 ayat 3,” tutur Ade. Untuk membantu menghadapi itu semua, menurut Ade, jurnalis perlu tetap patuh pada kode etik. “Dengan patuh, tentu pembelaannya lebih kuat dibanding ada celah-celah pelanggaran etik yang bisa dimanfaatkan untuk menyerang balik,” ujarnya.
Selain itu, ia berharap perusahaan pers, organisasi pers, dan Dewan Pers perlu lebih aktif lagi merespons pemidanaan. Dalam beberapa kasus, misalnya, ketika jurnalis dilaporkan, kerap kali jurnalis tersebut harus maju sendiri. “Pelindungan perusahaannya minim. Dari Dewan Pers juga secukupnya.” Seharusnya upaya pelindungan lebih dimaksimalkan.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan, Pasal 27 adalah pasal karet yang digunakan pemerintah untuk mempidanakan berbagai pihak yang kritis. Selama ini, upaya uji materi terhadap undang-undang ini juga ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Padahal, menurut Feri, pasal-pasal tersebut inkonstitusional. Secara eksplisit, pada Pasal 28 UUD 1945 disebutkan bahwa memperoleh data informasi merupakan hak konstitusional yang dilindungi. “Tapi MK menyatakan sebaliknya,” kata dia.
Pemerintah tampaknya menyadari bahwa pasal karet UU ITE menghalangi kebebasan pers. Pada 2021, misalnya, melalui tiga lembaga, yakni Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, serta Kepala Kepolisian Republik Indonesia, telah ditandatangani Surat keputusan Bersama Nomor 299 Tahun 2021 tentang Pedoman Implementasi atas pasal tertentu dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Keputusan yang ditetapkan pada 23 Juni 2021 tersebut memuat pedoman Pasal 27 ayat 3—tentang pencemaran nama—untuk pemberitaan Internet yang dilakukan institusi pers yang merupakan kerja jurnalistik, peraturan yang berlaku mengikuti mekanisme UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 sebagai lex specialious.
Namun, dalam penerapannya, kepolisian masih memproses beberapa laporan menggunakan UU ITE atas jurnalis dan karya jurnalistiknya. Feri beranggapan bahwa hal ini dilakukan tapi tidak dengan serius oleh pemerintah. “Mestinya pasal-pasal itu dihapuskan atau ditiadakan saja,” ujarnya.
Menurut Feri, kemerdekaan pers merupakan hal sangat penting dalam demokrasi. “Jika kebebasan pers diperoleh, demokrasi tentu lebih baik.”
ILONA ESTHERINA PIRI | DIDIT HARYADI (MAKASSAR)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo