T~AKBIR Allahu Akbar menyentak kantor harian Pedoman Rakyat di wilayah pantai Kota Madya Parepare, Sulawesi Selatan. Takbir yang dikumandangkan sekitar 700 santri Pondok Pesantren Puteri Darul Dakwah Wal Irsyad (DDI) Ujung Lare, Parepare, Sabtu pekan lalu itu benar-benar membelah curah hujan deras. Pengunjuk rasa juga didukung puluhan mahasiswa Fakultas Ushuluddin IAIN DDI, Parepare. Keduanya memang bagian dari organisasi DDI dan berada di satu kompleks. Pamflet digelar dan batu pun dilemparkan. Kaca-kaca kantor Pedoman Rakyat yang terletak di lantai atas sebuah bangunan bertingkat dua itu pun berkeping. Begitu pula kaca-kaca toko buku "Pedoman Ilmu" di lantai bawah. Hujan tak menghentikan aksi para dara berjilbab itu. Batu beterbangan. Takbir pun terus menggema. Mereka baru bisa dijinakkan setelah aparat keamanan dari Polwil dan Polresta Parepare menghalau dengan tembakan peringatan. Seorang mahasiswa IAIN, Rachmat, yang dianggap sebagai "komandan", diangkut ke kantor polisi, sekitar dua kilometer dari kantor PR. Penguniuk rasa pun solider, menyusul R~achmat ke markas polisi di Polresta dengan jalan kaki. Massa pun bubar setelah polisi berjanji akan menyelesaikannya sesuai dengan hukum. Mereka pulang tanpa Rachmat. Unjuk rasa itu adalah buntut sebuah berita berjudul "Pagar Ingin Makan Tanaman", dimuat PR 5 Desember lalu. Koran yang berkantor pusat di Ujungpandang itu memuat pengakuan seorang gadis santri yang juga mahasiswa IAIN bernama Hindun -- bukan nama sebenarnya -- tentang perbuatan Drs. H. Muiz. Muiz adalah-pimpinan Pondok Pesantren Puteri DDI merangkap dekan Fakultas Ushuluddin TAIN DDI dan Wakil Ketua Pengurus Besar DDI. Hindun, dara ayu berusia 22 tahun, kembang pesantren, menurut PR, mengaku dua kali hampir diperkosa oleh Muiz. Pertama, suatu malam ia dipanggil Muiz ke kantor pondok pesantren. Di situ Muiz mencoba merayu Hindun dengan kata-kata kotor agar "menyerah". Untung, tulis koran itu, Hindun bisa lolos. Percobaan kedua terjadi 29 November 1990, juga malam hari. Muiz, masih menurut berita itu, mendatan~i Hindun yang sedang pulas di kamar pondoknya. Kali ini Hindun pun berhasil mempertahankan kehormatannya. PR juga menulis bahwa sejumlah gadis pesantren pernah mengalami perlakuan serupa. Bahkan, esoknya, 6 Desember, PR sempat memuat ucapan sejumlah pembina dan penasihat Pengurus Besar DDI yang mengusulkan supaya Muiz dipecat dari keanggotaan dan semua jabatan yang dipegangnya. Tulisan itulah yang membangkitkan amarah santri dan mahasiswa IAIN DDI. Dalam aksi protes itu,mereka menuding PR telah mencemarkan nama baik DDI. Dua buah poster berbunyi "Berita Pedoman Rakyat Bohong" dan "Inilah Fitnahan yang Merusak Citra DDI". Muiz yang diisukan itu bersikap tenang. "Itu fitnah," katanya. Bahkan Muiz yakin, di balik berita itu terdapat tokoh-tokoh DDI sendiri yang sengaja memperalatnya dengan isu Hindun itu. "Perempuan itu telah membuat cerita bohong," katanya. Muiz lalu menyinggung adanya konflik intern antara kelompok muda dan kelompok tua di kalangan DDI. "Saya dari kelompok muda yang moderat. Saya ingin mengadakan pembaruan. Dan itu ditolak oleh kelompok tua yang berpikiran kolot." Maka, selain PR, tokoh-tokoh itu juga akan dia ajukan ke pengadilan. "Kami siap menghadapinya," ujar Nurdin Mangkana, Wakil Pemimpin Redaksi PR. Ia siap mempertahankan kebenaran berita itu di pengadilan. P~riyono B. Sumbogo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini