Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Kerukunan di Sela Rumpun Bambu

Di Yogya, ada tempat ibadat yang bisa digunakan untuk pemeluk beberapa agama. Sebuah upaya membangun silaturahmi lintas agama.

21 Juni 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bangunan beratap kerucut mirip joglo itu tak terlalu besar. Luasnya hanya 8 x 8 meter. Uniknya, dinding bangunan tidak saling bersambung. Celah di sudut sekaligus berfungsi sebagai pintu. Setiap dinding yang penuh ornamen berdiri sesuai dengan arah mata angin. Ada pepohonan dan dedaunan bambu dengan gradasi warna—semakin ke atas semakin memudar.

"Warna daun bambu yang semakin pudar itu menggambarkan bahwa Tuhan itu satu; dan bahwa di atas sana tidak ada sekat-sekat agama. Semakin ke atas, semakin menyatu dengan alam. Sementara itu, di sini, kita beribadat dengan cara berbeda," kata Romo Isworo, Direktur Studio Audio-Visual Pusat Kateketik (Puskat).

Tempat ibadat ini dibangun di tengah hutan bambu, berbaur dengan rumah penduduk di Sinduarjo, dekat kawasan wisata Kaliurang, Yogyakarta. Bangunan ini punya fungsi religius yang menakjubkan. Di sana, para pemeluk yang berbeda agama bisa beribadat menurut ajaran agama masing-masing tanpa terganggu oleh yang lain.

Beberapa tokoh pernah beribadat atau menggelar lokakarya antaragama di sana. Antara lain Abdul Munir Mulkhan (Islam), mendiang Th. Sumartana (Kristen), mendiang Ibu Gedong Bagoes Oka (Hindu), Biksu Panyavaro dari Mendut (Buddha), dan beberapa uskup Katolik.

Selain hiasan pohon bambu, setiap dinding diberi lukisan lambang pemujaan tiap-tiap agama. Dinding sebelah timur, untuk pemeluk Buddha, bertuliskan "Biarlah Setiap Makhluk Bersorak Sorai". Sisi selatan, untuk pemeluk Kristen dan Katolik, dihiasi gambar burung merpati yang di bawahnya tercantum tulisan "Pandanglah Burung-Burung di Langit". Sisi barat, untuk umat Islam, dindingnya berhiaskan kaligrafi yang terjemahannya "Dan Allah Tidak Menyukai Kebinasaan". Sedangkan sisi utara untuk umat Hindu, dengan simbol Hindu disertai tulisan "Aku Hidupi Semua Tumbuh-Tumbuhan".

Rumah ibadat bersama itu dibangun 10 tahun lalu oleh Ruedi Hofmann S.J., seorang pastor Katolik dari Swiss. Ia tidak cuma penggagas, tapi sekaligus arsitek seluruh bangunan di lahan seluas 3,3 hektare itu. Di antara rumpun bambu di tepian Sungai Boyong itu terdapat pula bangunan lain dan rumah-rumah panggung yang biasa disewakan untuk pelatihan atau lokakarya.

Romo Isworo mengaku hanya melanjutkan pekerjaan yang telah dirintis oleh Romo Ruedi. Sebagai rohaniwan Katolik, ia merasa diilhami oleh perintah Yesus untuk mengasihi sesama manusia. Sebab, menurut dia, Yesus selalu membuka diri terhadap semua orang. "Beliau bahkan sering memberi contoh mengenai orang beriman dari golongan lain," ujarnya. Dengan landasan teologis itu, Romo Isworo menganggap bergaul dengan penganut agama di luar Katolik itu penting.

Tapi, upaya menjalin silaturahmi antarpemeluk agama itu tak selalu lancar. Berbagai protes sempat mewarnai kehadiran rumah ibadat bersama itu. "Waktu itu protes keras justru datang dari umat Katolik," tutur Romo Isworo. Mereka mempersoalkan, mengapa gambarnya burung merpati, bukan salib. Bahkan ada kelompok Katolik yang mempertanyakan pembangunan tempat ibadat untuk berbagai agama itu.

Sementara itu, ada umat Islam yang keberatan dengan adanya gambar, hal yang tidak lazim di dalam masjid. Mereka lebih menyukai kaligrafi ayat-ayat Al-Quran. "Kami tidak memaksa. Tapi, setelah banyak orang bisa menerima, bahkan kemudian melakukan ibadat di sini, lama-kelamaan ya tidak apa-apa," ujar Romo Isworo.

Rumah ibadat bersama di Yogyakarta itu tidak sendirian. Di Kampung Percik, Desa Turusan, Salatiga, Jawa Tengah, juga berdiri sebuah bangunan yang fungsinya sama: dapat digunakan untuk beribadat oleh penganut agama yang berbeda. Namun, tidak seperti di Yogyakarta, di rumah ibadat di Salatiga ini sama sekali tidak ada simbol-simbol agama. Di sana, umat Kristen atau Katolik yang mau melakukan misa bersama dipersilakan membawa salib sendiri. "Tapi, setelah misa selesai, salib harus dibawa pulang," kata Prajarka, Direktur Eksekutif Persemaian Cinta Kemanusiaan (Percik), yang mengelolanya.

Amin Abdullah, Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, menilai pembangunan rumah ibadat seperti itu merupakan simbol ketulusan dalam berinteraksi positif untuk mendewasakan umat. "Itu upaya mendekatkan diri dalam arti komunikasi sosial," ujarnya. Dalam Islam, menurut Amin, ada anjuran untuk bersilaturahmi dan
bersikap tasamuh alias saling menghargai atau toleran.

Amin benar. Rumah ibadat bersama seperti itu niscaya merupakan salah satu upaya pendidikan untuk mendewasakan umat. Karena itu, seperti kata Uskup Semarang, Ignatius Suharyo, jangan sampai rumah ibadat bersama itu cuma artifisial, bahkan kemudian menimbulkan kebingungan umat. Ia menyadari, "Membangun kerukunan antar-umat beragama memang bukan pekerjaan sederhana."

Nugroho Dewanto, L.N. Idayanie, Saiful Amin (Yogyakarta), Sohirin (Semarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus