Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kesaksian Setya, Keraguan KPK

Setya Novanto mengajukan diri menjadi justice collaborator kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dalam membongkar bancakan proyek KTP elektronik. Tak ada nama baru penerima suap. Setya juga memosisikan diri sebagai orang yang bukan pelaku utama, syarat utama kolaborator pengungkap perkara besar.

28 Januari 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IDE menjadi kolaborator pengungkap kasus disampaikan Setya Novanto kepada Firman Wijaya, pengacaranya, saat bertemu di penjara Komisi Pemberantasan Korupsi pada Selasa tiga pekan lalu. Kepada Firman yang membesuk, mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat itu menulis sendiri draf naskah permohonan menjadi justice collaborator.

Ada empat halaman surat permohonan yang ditulis Setya yang berisi nama-nama penerima suap proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) di Kementerian Dalam Negeri pada 2010-2011. Setya menyerahkan surat itu kepada penyidik yang memeriksanya pada esok harinya sebagai saksi untuk terdakwa lain perkara ini. "Nama-nama itu akan diungkap Pak Setya dalam sidang sebagai terdakwa kasus ini," kata Firman, pekan lalu.

Surat permohonan menjadi kolaborator itu berisi beberapa poin penting. Pertama, Setya meminta agar hukuman yang bakal ditimpakan kepadanya bisa lebih ringan. Kedua, KPK menjamin keamanan istri dan anak-anaknya. Ketiga, Setya berjanji memberikan nama-nama anggota Dewan penerima uang e-KTP.

Seseorang yang mengetahui isi surat permohonan justice collaborator tersebut mengatakan para penerima uang e-KTP yang berasal dari DPR tak jauh berbeda dengan nama yang tertuang dalam dakwaan di pengadilan. Ada tiga nama teratas yang ditulis Setya dan mereka adalah koleganya di Partai Golkar: Ade Komarudin, Markus Nari, dan Chairuman Harahap. Lalu legislator Partai Hanura, Miryam S. Haryani, dan Gubernur Jawa Tengah dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Ganjar Pranowo.

Menurut Setya, nama-nama itu menerima uang e-KTP dari cerita beberapa orang kepadanya sebelum ia ditahan dan masuk penjara sebagai terdakwa perkara ini. Di antara mereka yang bercerita kepada Setya adalah Andi Agustinus alias Andi Narogong, kolega Setya yang sudah divonis delapan tahun penjara dalam perkara e-KTP; Made Oka Masagung, pemilik PT OEM Investment sekaligus teman bisnis Setya; Direktur Utama PT Quadra Solution, rekanan e-KTP, Anang Sugiana Sudihardjo; dan Miryam.

Setya, yang dimintai konfirmasi di pengadilan soal nama-nama itu, hanya mengangguk sambil tersenyum. Firman tidak membantah keberadaan nama-nama itu dalam surat permohonan justice collaborator kliennya. "Nanti diungkap Pak Setya," ujarnya.

Menurut Firman, Setya akan membukanya saat diperiksa sebagai terdakwa. Ia belum memastikan waktunya. Saat ini baru belasan saksi yang diperiksa di pengadilan dari total 99 orang. Dalam perkara ini, Setya didakwa menerima uang sebesar US$ 7,3 juta melalui Oka Masagung dan Irvanto Hendra Pambudi Cahyo, keponakannya. Uang tersebut berasal dari rekanan proyek e-KTP senilai Rp 5,7 triliun itu.

Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif telah membaca surat permohonan justice collaborator Setya. Ia mengatakan tak ada nama baru penerima besel proyek raksasa ini. "Semua nama yang disebutkannya sudah diketahui oleh KPK," kata Syarif.

KPK bahkan sudah memeriksa nama-nama tersebut, termasuk Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Ganjar bersumpah tak menerima uang sepeser pun dari suap proyek KTP elektronik ketika masih duduk sebagai anggota Komisi Pemerintahan DPR. Lagi pula, kata Syarif, dalam permohonan itu Setya seolah-olah tidak mengetahui langsung pemberian uang tersebut, tapi berdasarkan cerita orang ke orang.

KESAKSIAN para terdakwa dan penggangsir proyek ini dalam pengadilan pada Kamis pekan lalu sekaligus menegaskan informasi Setya Novanto tak baru-baru amat. Hakim memanggil dua pejabat Kementerian Dalam Negeri yang bertanggung jawab atas proyek ini, Irman dan Sugiharto.

Irman memberi kesaksian dengan menceritakan peristiwa pada 2013. Ketika menjelang pemilihan umum legislatif, Irman mengaku ditelepon Ade Komarudin, politikus Golkar asal Purwakarta, Jawa Barat. Kepada Irman, Ade mengatakan butuh menggalang kepala desa, camat, dan tokoh masyarakat Bekasi. "Berapa yang harus saya bantu?" kata Irman.

Ade Komarudin mengatakan butuh Rp 1 miliar. Ade meminta Irman memberikan uang tersebut kepada keponakannya. Keponakan Ade itu muncul di kantor Irman di lantai 1 kantor Kementerian Dalam Negeri, kawasan Kalibata, Jakarta Selatan. Irman lalu mengenalkan laki-laki muda itu kepada Sugiharto, bawahannya.

Irman juga meminta Sugiharto mencarikan uang untuk Ade Komarudin tersebut. Irman menegaskan agar Sugiharto menyerahkan uangnya kepada kerabat Ade tersebut.

Di ruang kerjanya, Sugiharto menyimpan US$ 100 ribu. Uang itu pemberian Andi Narogong, pengusaha yang mengatur pemenang tender proyek ini. Sugiharto juga menyerahkan US$ 300 ribu kepada Irman dan Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri waktu itu, Diah Anggraeni.

Setelah uang siap, Sugiharto mengaku tidak bisa mengantarkan duit itu kepada kerabat Ade Komarudin dengan alasan sedang sibuk. Dia meminta anak buahnya menyerahkan uang tersebut. Setelah uang itu diterima istri keponakan Ade Komarudin, Irman mengontak lagi Ade untuk mengecek kirimannya. "Sudah, terima kasih," ujar Ade kepada Irman. Ade kini terbaring sakit karena stroke di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta.

Irman dan Sugiharto mengaku Ade Komarudin hanya sekali meminta uang kepada mereka. Ketika diperiksa sebagai saksi di pengadilan tahun lalu, Ade membantah pernah menerima uang e-KTP. "Saya tidak pernah meminta bantuan untuk kegiatan yang dimaksud," katanya, tahun lalu.

Selain Ade Komarudin, ada tiga nama anggota Dewan yang disebut Irman dan Sugiharto menerima uang e-KTP. Nama-nama yang disebut keduanya sejalan dengan penuturan Setya Novanto di dalam permohonan justice collaborator-nya. Ketiga nama itu adalah Markus Nari, Chairuman Harahap, dan Miryam S. Haryani. Uang yang sampai kepada Markus diantarkan langsung oleh Sugiharto pada sekitar Mei 2012.

Sugiharto dan Markus bersepakat bertemu di depan Stasiun TVRI, kawasan Senayan, Jakarta Selatan. Sugiharto berangkat dari kantornya di Kalibata sekitar pukul 9 pagi dengan membawa Rp 4 miliar. Duit itu merupakan permintaan Markus kepada Irman. Lalu Irman meminta Sugiharto menyediakannya. Dari Rp 5 miliar yang diminta Markus, Sugiharto hanya sanggup menyediakan Rp 4 miliar, yang ia dapatkan dari Anang Sugiana Sudihardjo, Direktur Utama PT Quadra Solution.

Sugiharto menyerahkan uang tersebut kepada Markus Nari di sebuah kantor di sekitar Senayan. "Saya menyerahkannya di dekat-dekat Stasiun TVRI itu," ucap Sugiharto. Ihwal pemberian uang ini, Markus membantahnya. "Saya tidak pernah menerima uang itu," ujar Markus ketika menjadi saksi di pengadilan.

Soal Miryam Haryani, Irman dan Sugiharto konsisten menyebut Miryam menerima uang empat kali dengan total sekitar Rp 12 miliar. Sugiharto pernah sekali mengantarkan langsung uang buat Miryam ke rumahnya di Perumahan Tanjung Mas Raya, Tanjung Barat, Jakarta Selatan. Tiga kali pemberian lainnya diantar anggota staf Irman dan diterima seorang perempuan tua. "Miryam mengaku itu ibunya," kata Irman.

Menurut Irman dan Sugiharto, Miryam meminta uang karena diminta oleh kolega-koleganya di DPR. Irman pernah mendengar Miryam mengaku menjadi utusan khusus Chairuman Harahap, waktu itu menjadi Ketua Komisi Pemerintahan.

Bagi-bagi uang e-KTP ini pernah dibeberkan Miryam kepada penyidik KPK saat diperiksa sebagai saksi perkara Irman dan Sugiharto. Tapi Miryam mencabut keterangan itu ketika di pengadilan. "Bu Miryam masih tetap pada keterangannya bahwa ia tidak pernah menerima uang e-KTP dan membagi-baginya," ujar Dedi Firdaus, pengacara Miryam, Jumat pekan lalu.

Di luar catatan itu, Andi Narogong mengatakan ada fee kepada anggota DPR dan Kementerian Dalam Negeri yang sudah terealisasi. Ia menyebut nilainya masing-masing lima persen dari nilai proyek.

Setya membantah ada fee lima persen yang mengalir ke Dewan. Selebihnya, ia membenarkan jika Andi pernah melaporkan pembagian fee itu kepadanya. "Saatnya saya akan kasih tahu apa yang dilaporkan Andi ke saya," kata Setya.

Setya mengatakan semua nama penerima uang e-KTP seperti yang dilaporkan Andi kepadanya telah ditulis dalam buku catatan berwarna hitam miliknya. Buku itu ia peroleh dari seorang politikus Golkar yang membesuknya saat meringkuk di rumah tahanan KPK. Di buku hitam itu, Setya menulis segala aktivitasnya di dalam penjara KPK. Ia juga menuliskan semua kesaksian di dalam persidangan. "Apa yang saya tulis ini akan saya berikan kepada jaksa penuntut umum," ujar Setya.

Karena tak ada informasi baru, kata Laode Muhammad Syarif, KPK masih ragu menerima permohonan justice collaborator Setya Novanto. Soalnya, jika KPK menerima permohonan itu, hakim akan memotong hukumannya kendati kesaksiannya tak banyak berguna.

Rusman Paraqbueq, Arkhelaus Wisnu Triyogo, Lani Diana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus