Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Manuver Kepolisian Republik Indonesia menarik enam bekas personelnya yang kini bertugas sebagai penyidik di Komisi Pemberantasan Korupsi tak bisa dibiarkan. Keputusan ini tak hanya keliru secara administratif, tapi juga berpotensi mengancam efektivitas kerja KPK sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi di negeri ini.
Keputusan kontroversial yang disampaikan Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Idham Azis kepada pimpinan KPK pada Januari lalu itu terasa janggal karena setidaknya dua alasan. Pertama, urusan pengelolaan personalia di Kepolisian biasanya ditangani bagian sumber daya manusia, bukan perwira tinggi setingkat Kapolda Metro Jaya.
Kedua, salah seorang penyidik KPK yang hendak ditarik polisi justru penyidik yang dengan gemilang berhasil membongkar kasus suap pengusaha impor daging Basuki Hariman. Penarikan ini jadi mencurigakan karena ada kabar- ketika diperiksa KPK- Basuki bernyanyi. Dia tak hanya menyetorkan duit ke hakim konstitusi seperti Patrialis Akbar, tapi juga mengaku menebarkan besel kepada sejumlah pejabat, termasuk petinggi Kepolisian.
Karena itu, sulit untuk tidak mengaitkan keputusan penarikan enam penyidik KPK ini dengan kasus suap Basuki. Apalagi penyidik yang sama adalah saksi kunci perusakan barang bukti di KPK. Dialah yang memergoki dua koleganya, Roland dan Harun, ketika mereka sedang sibuk menghapus 15 halaman buku kas keuangan Basuki. Buku ini penting karena di dalamnya ada sejumlah nama penerima uang suap dari perusahaan importir daging milik Basuki. Wajar jika ada kekhawatiran bahwa penarikan penyidik ini ke Markas Besar Polri bakal menghentikan penelusuran KPK atas skandal suap Basuki.
Secara hukum, kebijakan penarikan enam penyidik ini juga bermasalah. Polri berkeras berpegang pada aturan bahwa setelah seorang polisi menyelesaikan sepuluh tahun masa tugasnya di instansi lain, ia harus kembali ke lembaga asalnya. Kalaupun polisi tersebut beralih status menjadi pegawai instansi lain, pimpinan Polri harus menyetujui perubahan itu sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2012.
Persoalannya, perubahan status keenam polisi ini menjadi penyidik KPK menggunakan aturan lama, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2005 tentang Manajemen Sumber Daya Manusia KPK. Aturan ini tidak mensyaratkan izin dari instansi lama untuk bergabung menjadi pegawai KPK. Pada Oktober 2012, bersama 22 penyidik polisi lain, termasuk Novel Baswedan, enam orang ini resmi diangkat menjadi pegawai KPK, yang waktu itu dipimpin Abraham Samad.
Fakta bahwa sampai sekarang Polri belum menerbitkan surat persetujuan pensiun dini untuk keenam penyidik ini tak bisa dijadikan alasan untuk menarik mereka ke Markas Besar Polri. Pasalnya, 17 penyidik lain sudah resmi diberhentikan dari Korps Bhayangkara. Dengan kata lain, perlakuan berbeda dari Polri akan menguatkan tudingan bahwa ada "udang di balik batu".
Yang sungguh disayangkan, upaya Polri mengganggu penyidikan KPK atas kasus yang berkaitan dengan petinggi polisi semacam ini bukanlah yang pertama. Sebelumnya, ketika KPK menyidik kasus korupsi dalam pengadaan simulator surat izin mengemudi yang menyeret Kepala Korps Lalu Lintas Inspektur Jenderal Djoko Susilo, Polri juga menarik penyidiknya. Jika pola ini terus berulang, jangan heran jika tingkat kepercayaan publik kepada integritas Polri tak pernah beranjak dari titik nadir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo