MAUT terus bergentayangan di Maluku Utara. Senin pekan lalu, pertikaian kembali meletup di Desa Duma, Kecamatan Galela, Halmahera Utara. Darah lagi-lagi tumpah. Data korban sungguh memilukan: 180 orang tewas (termasuk satu aparat), puluhan luka-luka, dan 1.500 warga mengungsi. Sebuah gereja dan 300-an rumah penduduk tinggal puing-puing dibakar massa. Duma, kini, rata dengan tanah.
Sumbu rusuh dengan cepat merembet. Hanya dua hari setelahnya, Ambon, yang telah relatif tenang, kembali bergolak. Tak kurang dari 20 korban tewas (lima di antaranya aparat militer dan polisi). Tiga bangunan ibadah, sejumlah instalasi militer dan kantor pemerintah, serta puluhan rumah habis dilalap api.
Menurut sosiolog Thamrin Amal Tomagola, prahara ini menandai jilid kedua konflik berdarah di Maluku Utara. Jilid pertama pecah akhir Desember tahun lalu. Kala itu, ribuan massa merah—sebutan kelompok Kristen—menyerbu tiga kecamatan kantong muslim: Tobelo, Galela, dan Jailolo. Hasilnya mengerikan, tak kurang dari 800 jiwa melayang.
Kesumat berkecamuk. Spiral kekerasan berpilin. Kini giliran pasukan putih—kelompok Islam—menuntut balas. ''Hak kami telah diambil, keluarga kami dibantai dan terusir," kata Muhran, 45 tahun, warga Galela. Sebiji mata untuk sebiji mata, itulah satu-satunya ''hukum" yang saat ini berlaku di sana.
Maka, Duma, yang dianggap sebagai markas pasukan merah, menjadi sasaran. Sejak 25 Mei, desa Kristen ini diserang secara bergelombang. Senin pagi itu adalah puncaknya.
Menurut Pendeta S. Dugaer, S.Th. dari Gereja Masehi Injil Halmahera, penyerbu yang berjumlah 7.000-an orang telah menyusup ke Galela tiga hari sebelumnya. Sempat tersiar kabar, 4.000 di antaranya merupakan anggota Laskar Jihad. Tapi berita itu diluruskan Tomagola. Menurut dia, anggota Laskar Jihad di kawasan itu cuma 100 orang dan tidak diterjunkan untuk bertempur di Galela. ''Mereka dikirim ke Sanana dan Bacan untuk berdakwah saja," kata Tomagola.
Masalahnya ada pada aparat yang lagi-lagi seperti tak punya daya. Soal ini dikeluhkan Pendeta Dugaer. Sebelumnya, kabar bakal ada penyerangan telah dilaporkannya ke Batalyon Infanteri 512 Kostrad yang bertugas di sana. Cuma, laporan itu dianggap sepi. Pihak keamanan tak bergerak. Buntutnya, ketika ribuan penyerbu merangsek, aparat yang cuma berkekuatan dua peleton (sekitar 60 personel) itu terpaksa mundur meninggalkan pos. Aksi brutal pun leluasa berlangsung. Keluhan yang sama datang dari para pemuka Islam saat penyerbuan Desember lalu.
Dan perdamaian pun kian menjauh saja. Jalan ke meja perundingan makin berliku. Dalam perundingan terakhir, pihak muslim di Ternate telah menetapkan sejumlah tuntutan. Mereka menuntut wilayah Halmahera Utara segera disekat menjadi dua: kawasan dari ujung Tanjung Jere hingga Desa Wosia di pinggiran Tobelo sebagai area Islam, sedangkan Wosia sampai Kao untuk kelompok Kristen (lihat peta). Tuntutan lain, para pengungsi muslim dipulangkan ke alamat semula, seperti yang tercantum dalam kartu tanda penduduk (KTP) masing-masing. ''Sesudah itu terjadi, baru kita bisa duduk berbicara di satu meja," kata Muhran.
Tapi pihak Kristen—minoritas di Maluku Utara (13 persen)—berkeberatan. Pendeta Hadi, Wakil Ketua Sinode Tobelo, melihat tuntutan itu mustahil mereka penuhi. Selama ini, permukiman warga Kristen tersebar di area yang kini diklaim pihak muslim. Di Galela, misalnya, setidaknya ada lima kampung Kristen.
Repot memang. Padahal, menurut Tomagola, untuk jangka pendek, penyekatan wilayah adalah jalan keluar yang mesti diambil untuk menuju perundingan—sebelum semuanya menjadi terlalu terlambat.
Karaniya Dharmasaputra, Darmawan Sepriyossa (Jakarta), Friets Kierlely (Ambon)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini