Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sulitnya Mewujudkan Jeda

Pelaksanaan kesepakatan gencatan senjata di Aceh terancam buntu.

25 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DAMAI di bumi Aceh tampaknya bukan sesuatu yang mudah terwujud. Untuk waktu yang lama, pertentangan antara Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) mungkin belum bisa dihentikan. Buktinya, meski kesepakatan gencatan senjata—atau yang disebut pula sebagai "Jeda Kemanusiaan"—antara Indonesia dan GAM telah diteken di Swiss, 12 Mei lalu, pelaksanaannya di lapangan masih seret. Sabtu dua pekan lalu, misalnya, Komite Bersama Modalitas Keamanan (KBMK)—forum bersama GAM dan Indonesia yang mengatur aspek keamanan Jeda Kemanusiaan—gagal menyetujui sebagian kesepakatan rincian dari perundingan Swiss. Hal yang tidak disepakati itu adalah masalah penarikan pasukan TNI dari proyek vital di kawasan industri Lhokseumawe, larangan membawa senjata api bagi tentara kedua belah pihak, penarikan pasukan ke barak, penghentian berbagai operasi oleh aparat keamanan, dan penarikan pasukan non-organik TNI dari Aceh. Dalam pertemuan di Swiss, kedua belah pihak memang hanya menyetujui kesepakatan makro, yakni akan mengurangi ketegangan di Aceh. Sedangkan pernak-pernik teknis lainnya akan dibicarakan dalam forum KBMK. Pihak GAM, dalam debat yang sengit selama dua pekan di Hotel Kuala Tripa, Banda-aceh, berkeras agar operasi keamanan oleh TNI, seperti razia dan penyisiran, dihentikan. Persoalannya, operasi aparat itu dianggap sebagai salah satu biang keladi kekerasan. Tidak bisa dibedakannya pasukan GAM dengan penduduk menjadikan militer sering khilaf: bogem mentah dan sepakan sepatu lars kerap mendarat di tubuh penduduk tanpa pandang bulu. Selain itu, banyaknya pasukan non-organik TNI di Aceh dipandang sebagai penyebab kekerasan. Tapi Indonesia membantah. Menurut Ketua Delegasi Indonesia, Kolonel (Pol.) Ridwan Karim, operasi militer yang akan digelar TNI di era Jeda Kemanusiaan ini adalah razia biasa dan bukan penyisiran. "Ini merupakan fungsi polisional, jadi merupakan tugas normal polisi," katanya. Selain itu, Indonesia berkeras tidak akan menarik pasukan apa pun dari Aceh. Menurut Ridwan, Aceh adalah wilayah Indonesia yang sah. "Tidak ada satu jengkal pun tanah dalam wilayah RI, termasuk Aceh, yang haram dimasuki TNI atau polisi," katanya. Karena argumen itu pulalah TNI menolak menarik tentara dari kawasan industri strategis di Lhokseumawe. GAM, sebaliknya, menuduh bahwa pos penjagaan industri strategis tadi sering digunakan sebagai pos operasi militer. Indonesia tampak ekstra-hati-hati dalam merumuskan kesepakatan KBMK. TNI khawatir, jika jumlah dan ruang gerak pasukannya di Aceh dikurangi, penetrasi GAM akan intensif. "Momen Jeda Kemanusiaan ini telah digunakan untuk konsolidasi GAM. Dengan kondisi ini, tidak mungkin kita menarik pasukan," kata Komandan Komando Resor Militer 011/Lilawangsa, Kolonel Sjafnil Armen, kepada wartawan TEMPO Zainal Bakri. Karena kekhawatiran itu pulalah TNI menolak usul GAM agar pasukan kedua belah pihak ditarik ke barak. TNI curiga, GAM akan sulit mematuhi kesepakatan itu, mengingat tidak semua pasukan GAM berseragam—sehingga sulit dikontrol—dan tidak teridentifikasinya markas yang akan dijadikan GAM sebagai barak. Sejauh ini, penyelesaian kebuntuan itu akan dikembalikan kepada "Forum Bersama" yang berkedudukan di Jenewa, Swiss, dan beranggotakan perwakilan GAM, Indonesia, dan mediator konflik, Henry Dunant Center. "Forum Bersama sedang mengkaji apakah kesepakatan Komite Bersama Modalitas Keamanan itu sesuai dengan kesepakatan Buvois atau tidak," kata Hassan Wirajuda, Duta Besar/Perwalian Tetap Indonesia untuk PBB, yang mewakili Indonesia di Forum Bersama tersebut. Persoalannya, kesepakatan Swiss memang tidak tegas-tegas mengatur bagaimana pengurangan ketegangan di Aceh itu bakal dilaksanakan. Itulah sebabnya GAM dan Indonesia sama-sama bertahan dengan tafsirnya sendiri-sendiri. Hassan Wirajuda, misalnya, menilai dasar kesepakatan Swiss adalah pengurangan ketegangan yang berdasarkan pada pengurangan aksi militer dan bukan pada pengurangan personel militer. Sedangkan tafsir GAM sebaliknya. "Kesepahaman Swiss pada intinya adalah lima hal (yang dituntut GAM) itu," kata Ketua Delegasi GAM dalam KBMK, Teungku Nashiruddin Ahmad. Artinya, kedua belah pihak masih mencari peluang untuk "memenangi" pertarungan atas kesepakatan yang samar-samar tersebut. Belum jelas memang apa yang selanjutnya akan terjadi. Tapi, kalau kebuntuan ini berlanjut, yang akan terancam adalah pelaksanaan Jeda Kemanusiaan. Soalnya, di lapangan, kekerasan belum sepenuhnya bisa distop mesti jeda itu resminya telah dimulai 2 Juni lalu. Puluhan orang hilang atau tewas terbunuh akibat bentrokan antara TNI dan GAM. Tak jarang bentrokan juga menyertakan sipil bersenjata yang tidak bisa diidentifikasikan afiliasi politiknya. Jika ini terus terjadi, yang dirugikan tentu saja rakyat jelata. Arif Zulkifli, J. Kamal Farza (Banda-aceh), Bambang Soedjiartono (Medan), Tomi Lebang (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus