Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rekor itu bakal makin tak tertandingi. Dalam lawatannya ke Kairo, Mesir, 20 Juni kemarin, Presiden Wahid mengaku pusing kepala atas kinerja kabinetnya yang amburadul. Karena itu, setelah sidang tahunan Agustus depan, kabinet akan disusunnya ulang. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini ia akan penuh menggunakan hak prerogatifnya. Para pemimpin partai politik tak akan dilibatkan. ''Alhamdulillah, Akbar Tandjung, Megawati, dan sebagainya sudah menyatakan saya bebas mengadakan reshuffle kabinet untuk mengganti siapa pun yang saya kehendaki tanpa berunding dengan mereka," katanya. Mandat untuk itu, katanya lagi, telah diperoleh dari tiga partai besar: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Golkar, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Awal dari ini semua adalah sebuah pertemuan di kediaman Wakil Presiden, 6 Juni lalu. Ketika itu, kepada Mega dan Akbar, Ketua Umum PKB Matori Abdul Djalil menyampaikan sebuah pesan penting, sebuah permintaan agar Presiden Wahid diberi keleluasaan merombak kabinet, khususnya pada tim ekonomi dan politik-keamanantermasuk rencana perampingan kabinet. Esoknya, pembicaraan mereka berlanjut dengan Presiden Wahid sambil sarapan pagi di Wisma Negara. Hasilnya? ''Kami bertiga sepakat, jika Presiden ingin melakukan reshuffle, silakan," kata Matori.
Sebelum melangkah, berbagai upaya mengukuhkan daya topang dari ketiga kaki ituPDI-P, Golkar, plus PKBterus dilakukan. Forum Langitan, kumpulan kiai Nahdlatul Ulama (NU) yang disegani, bahkan sampai perlu turun gelanggang. Para kiai ini kian cemas akan nasib Presiden Wahid dan makin meningginya tensi politik menjelang sidang tahunan Agustus depan. Maka, Senin hingga Selasa pekan lalu, 43 kiai secara khusus bertemu dengan Megawati dan Akbar di Pondok Pesantren Al-Hikam, Malang, milik Ketua Pengurus Besar NU Hasyim Muzadi.
Ada dua pokok yang ditanyakan: arah sidang tahunan dan rencana perombakan kabinet. Kepada Mega dan Akbar, para ulama minta agar mereka merelakan Presiden Wahid membongkar kabinet demi kemaslahatan negara. Kabarnya, Mega memberikan jawaban positif. Begitu pula Akbar. Menurut Wakil Ketua Golkar Jawa Timur yang juga ikut hadir, Ridwan Hisyam, Akbar pun menegaskan komitmennya untuk mempertahankan pemerintahan Presiden Wahid hingga 2004.
Cuma, ini soal politik, Bung. Perkembangan di lapangan sering tak semanis yang dipidatokan. Kenyataannya, sejumlah gerilya politik sampai kini makin intens dilakukan.
Pengajuan interpelasi dalam kasus pemecatan Jusuf Kalla dan Laksamana Sukardi adalah satu contoh. Diteken 277 anggota parlemenlebih dari setengah anggota dewanhak bertanya ke pemerintah itu terus bergulir. Meski telah ditegaskan tak diniatkan merontokkan Presiden Wahid, manuver ini jelas mesti dihitung. Apalagi, menurut Ade Komaruddin, Wakil Sekretaris Fraksi Golkar yang juga menjadi motor interpelasi, pendapat akhir parlemen akan sudah dikeluarkan sebelum Agustus. Artinya, kalau ternyata Senayan menolak penjelasan Presiden, ini akan menjadi batu sandungan Presiden Wahid di sidang tahunan mendatang.
Begitu pula PDI-P. Lain statemen Mega, lain pula sikap Fraksi PDI-P. Mereka masih saja gencar mendesak agar kabinet dirombak sebelum sidang tahunan. Di mata Heri Akhmadi, Sekretaris Fraksi PDI-P, pemerintahan Wahid sekarang ibarat mobil apkiran. Karena itu, mesti segera ganti mesin. Jika tidak, katanya, ''Agustus nanti mobil itu bakal mogok." Kalau Presiden Wahid bersikukuh merombak kabinet setelah Agustus? ''Ya, silakan saja kalau Gus Dur merasa mampu dan tak kewalahan menghadapi serangan politik di sidang tahunan nanti," katanya lagi.
Jumat kemarin, Fraksi PPP pun sudah bertekad menggunakan hak angket untuk menyelidiki skandal Bulog, yang diduga melibatkan banyak lingkaran dalam Istana. Jika jadi dilaksanakan, ini satu lagi ganjalan untuk sang Presiden.
Di balik berbagai manuver itu, pengamat politik Arbi Sanit menduga bahwa Golkar dan PDI-P tengah memainkan politik dua muka. ''Di depan Gus Dur pura-pura sopan, tapi manuvernya jalan terus, tergantung mana yang berhasil," katanya.
Kecurigaan serupa disuarakan Arifin Junaedi, anggota Fraksi PKB yang dekat dengan Presiden. ''Itu retorika belaka," ujarnya menanggapi statemen sejumlah elite politik yang menyerahkan sepenuhnya perombakan kabinet kepada Presiden. Sejatinya, katanya lagi, mereka terus berupaya melakukan barter politik. Manuver yang antara lain getol dimotori Ketua Fraksi PDI-P Arifin Panigoro ini, kata Arifin Junaedi, bertujuan membagi kabinet berdasarkan komposisi perolehan suara pemilu. Untuk menaikkan posisi tawar, mereka terus menggoyang kursi Presiden Wahid sambil terus mendesak agar rotasi kabinet dilakukan sebelum sidang tahunan.
Karena itulah, kata Junaedi, Presiden Wahid lebih suka membongkar kabinet setelah sidang tahunan usai. Jika itu dilakukan setelah Agustus, Abdurrahman tak perlu masuk arena dagang sapi. Lagi pula, kata Junaedi, format kabinet anyar itu ''masih berupa kabinet pelangi." Meski tak lagi melibatkan para pemimpin partai, kata dia, Presiden Wahid tetap akan memperhatikan perimbangan kekuatan politik, kewilayahan, dan profesionalisme sekaligus.
Model ini didukung pengamat politik dari Universitas Indonesia, Imam Prasodjo. Menurut dia, dengan penuh ditentukan Presiden Wahid, loyalitas ganda para anggota kabinetterhadap presiden dan partainyaseperti yang menjadi problem sekarang ini akan bisa dihilangkan.
Memang, dari perkembangan terakhir, sidang tahunan akan berjalan sesuai dengan agenda: sebatas mendengarkan laporan kerja presiden. Cuma, di mata Imam, hasil sidang tahunan itu tetap mesti dihitung Presiden Wahid. Soalnya, hasilnya akan berpengaruh secara signifikan terhadap legitimasi pemerintah. Karena itulah, jika Wahid mampu merancang kabinet dengan komposisi yang pas, profesional, dan memuaskan harapan banyak kalangan, rotasi itu akan lebih menguntungkan dilakukan sebelum Agustus. Momentum sidang tahunan justru bisa melahirkan kesepakatan baru di antara kekuatan politik yang ada.
Pemilihan model kabinet presidensial murni pun bukan tanpa risiko. Menurut Arbi Sanit, tingkat keberhasilannya separuh-separuh. Dengan model ini, semua tanggung jawab juga otomatis berada di pundak Presiden Wahid sendiri. Tidak kompaknya para menteri karena unsur tarik-menarik partai tak lagi bisa dijadikan dalih.
Apalagi, ''politik lepas tangan" agaknya akan dipilih banyak elite Senayan. Sikap itu telah ditegaskan Amien Rais, motor pencalonan Wahid ke kursi presiden. Sambil mengutip sebuah ayat, Amien menyatakan, ''Saya sudah bersih, tidak ikut-ikut yang engkau kerjakan. Sekarang saya jadi penonton yang baik saja, sambil berdoa." Suara senada datang dari PDI-P. ''Ini semacam test case untuk Gus Dur," kata Arifin Panigoro. Bahkan, Ade Komaruddin dari Golkar telah menarik garis tegas. Kalaupun dalam kabinet anyar nanti ada kader Golkar yang diikutkan, ''Mereka itu sebatas pribadi yang tak ada kaitannya dengan Partai Golkar," katanya.
Karena itulah, kata Imam Prasodjo, Presiden Wahid harus jeli melangkah. Presiden Wahid tak lagi boleh tergoda menempatkan konco-konconya di kabinet tanpa mempedulikan tolok ukur keahliannya, seperti yang telah ditunjukkannya ketika mendongkrak Rozy Munir dan Luhut Panjaitan ke kursi kabinet baru lalu. Hal lain adalah kesediaan Presiden Wahid untuk mengoreksi gaya kepemimpinannya sendiri yang merupakan salah satu penyumbang terbesar bagi rapor merah pemerintahannya.
Ibaratnya, katanya lagi, kini Presiden Wahid tengah didorong para lawan politiknya untuk menembak sendiri bola ke gawang. Jika meleset, bola muntah itu tak ampun lagi bakal digiring menjadi serangan balik yang bisa membobol pemerintahan Abdurrahman.
Karaniya Dharmasaputra, Rommy Fibri, Levi Silalahi, Biro Surabaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo