Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohoan gugatan yang diajukan oleh Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengenai ketentuan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold sebesar 4 persen dalam Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dilansir dari Antara, dalam pertimbangan MK yang dibacakan oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra menyebut bahwa kebijakan ambang batas parlemen telah mencederai kedaulatan rakyat, prinsip keadilan pemilu, dan kepastian hukum yang adil bagi semua kontestan pemilu, termasuk pemilih yang menggunakan hak pilih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karena itu, dalam Sidang Uji Materiil UU Pemilu yang digelar Kamis, 29 Februari 2024, MK mengabulkan sebagian permohonan dengan menyatakan ketentuan Pasal 414 ayat (1) yang mengatur ambang batas parlemen 4 persen itu masih berlaku untuk Pemilu 2024. "Mulai 2029 harus dihitung ulang," kata kuasa hukum Perludem, Fadli Ramadhanil, saat dihubungi pada Kamis, 29 Februari 2024.
Sebelumnya, Perludem mengajukan gugatan terkait ambang batas parlemen 4 persen yang selama ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Gugatan uji materiil itu disampaikan pemohon dengan nomor perkara 116/PUU-XXI/2023 dan tercatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) pada 11 September 2023.
Dalam gugatan itu, tercantum empat pokok perkara yang menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan yang dimohonkan oleh pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Pasal 414 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sepanjang frasa “paling sedikit 4 persen dari jumlah suara sah secara nasional” bertentangan dengan UUD RI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Partai politik peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara yang ditetapkan berdasarkan perhitungan rasional matematis dan dilakukan secara terbuka, jujur, dan adil sesuai dengan prinsip sistem pemilu proporsional”;
3. Memerintahkan kepada Presiden dan DPR sebagai Pembentuk Undang-Undang untuk segera melakukan perbaikan terhadap ketentuan ambang batas parlemen di dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, dengan merumuskan besaran angka ambang batas parlemen di dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum berdasarkan perhitungan rasional matematis dan dilakukan secara terbuka, jujur, dan adil sesuai dengan prinsip sistem pemilu proporsional;
4. Memerintahkan amar putusan Majelis Hakim Konstitusi Republik Indonesia untuk dimuat dalam Berita Negara.
Dilansir dari situs resmi MK, dalam sidang pendahuluan yang diselenggarakan pada 3 Oktober 2023, Fadhil Ramadhanil selaku kuasa pemohon menyampaikan bahwa ambang batas parlemen ini adalah salah satu variabel penting dari sistem pemilu yang akan berdampak langsung kepada proses konversi suara menjadi kursi.
Ia menerangkan, dalam sistem pemilu proporsional, perolehan suara dari partai politik itu harus sejalan atau selaras dengan jumlah perolehan kursi di lembaga legislatif. Sehingga, menurut dia, hal tersebut menimbulkan ketidakpastian antara ketentuan ambang batas parlemen yang 4 persen dan berakibat tidak terwujudnya sistem pemilu yang proporsional.
Fadhil juga menjelaskan bahwa Indonesia menerapkan sistem pemilu legislatifnya adalah proporsional. Namun hasilnya justru berkebalikan karena persentase suara yang diperoleh partai politik tidak selaras dengan persentase perolehan kursi di parlemen.
Karena itu, pihak pemohon dalam provisinya meminta MK menjadikan Perkara Pengujian Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu yang diajukan oleh Pemohon sebagai perkara yang diprioritaskan untuk diperiksa di Mahkamah Konstitusi.
IKHSAN RELIUBUN