Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) akan mengkaji kembali berkas kasus dugaan pelanggaran HAM yang terjadi pada 27 Juli 1996. Pengkajian itu dilakukan setelah Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hasto Kristiyanto kembali melaporkan perkara penyerangan kantor PDIP itu ke Komnas HAM pada Kamis lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Komnas HAM lembaga terbuka. Tentu apa yang Hasto sampaikan akan kami pelajari dan proses sesuai dengan standar di sini," ujar Komisioner Komnas HAM, Amiruddin Al Rahab, di kantornya, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kamis lalu, Hasto bersama sejumlah pengurus PDIP mendatangi Komnas HAM untuk melaporkan insiden 27 Juli 1996. Peristiwa yang dikenal dengan sebutan kejadian Kudatuli itu adalah pengambilalihan secara paksa kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro 58, Jakarta Pusat. Saat itu, massa pendukung Soerjadi, Ketua Umum versi Kongres PDI di Medan, yang diduga dibantu oleh aparat dari kepolisian dan TNI, menyerbu kantor yang sedang dikuasai oleh para pendukung Megawati Soekarnoputri. Saat itu, lima orang tewas dan lebih dari 100 orang terluka.
Menurut Hasto, pelaporan tersebut dilakukan menyusul keputusan Kongres PDIP yang meminta supaya semua kasus pelanggaran HAM masa lalu dapat diungkap. "Tidak hanya kasus 27 Juli, tapi juga persoalan-persoalan pada awal reformasi, kasus Semanggi, Trisakti, dan Tanjung Priok," kata dia.
Sementara itu, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Rachland Nashidik mengatakan laporan Hasto tersebut bermotif politik. Ia menuding Hasto berupaya menyerang Ketua Umum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono, yang saat itu menjabat sebagai Kasdam Jaya. "Memanfaatkan kasus 27 Juli adalah ritual politik PDIP sejak Pak SBY mengalahkan Ibu Megawati dalam Pemilu 2004," ujar Rachland, kemarin.
Menurut Rachland, PDIP sebenarnya memiliki kesempatan untuk mengusut kasus tersebut saat Megawati menjadi presiden pada 2001. "Ia (Megawati) bisa menggunakan pengaruhnya untuk membuka jalan bagi investigasi, seperti kuat didesak masyarakat. Sayang, Mega memilih diam," ujarnya. ANDITA RAHMA | DEWI NURITA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo