DEWAN Perwakilan Rakyat bukan departemen. Maka, anggota Dewan banyak mengeluh dengan adanya wajib lapor, yang mereka anggap "membatasi kebebasan dan hak" anggota. Belakangan ini para anggota Dewan mencoba mengajukan kompromi agar wajib lapor bagi anggota Dewan yang mau ke luar negeri - bahkan ke luar kota juga - dipertimbangkan kembali. Ini ramai dibicarakan beberapa waktu lalu, sesudah rencana kunjungan Komisi X DPR ke Jerman Barat dibatalkan pimpinan DPR, karena rencana tak dilaporkan. Dari pihak pimpinan DPR, adanya kewajiban itu bukanlah tanpa alasan. Setidaknya ada dua kasus yang dianggap mencoreng citra anggota DPR, sehingga perlu ada wajib lapor itu. Kasus pertama, kunjungan sebuah tim DPR ke Jawa Timur yang diberitakan minta "uang siluman." Lalu kunjungan tim ekonomi dan keuangan ke Malaysia dan Singapura yang, konon, dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi para anggota tim. Yang sudah sukses diperjuangkan anggota Dewan Yakni soal prosedur penyusunan kembali pimpinan fraksi. Dulu, ditentukan bahwa penyusunan kembali atau restrukturisasi pimpinan fraksi harus disepakati dalam sidang pleno. Ini menimbulkan pertanyaan seberapa jauh sebenarnya fraksi boleh mengatur rumah tangganya sendiri. Sebab, fraksi bukanlah semacam direktorat jenderal sebuah departemen, hingga segala sesuatu harus disetujui pimpinan. Kini, soal restrukturisasi pimpinan fraksi cukup sah hanya dengan membentahukan kepada pimpinan DPR. Bagaimana sebenarnya beleid pimpinan DPR sendiri? Berikut ini wawancara TEMPO dengan Ketua DPR Amirmachmud dua pekan lalu: Ada yang menganggap, cara Anda memimpin DPR mirip cara memimpin departemen. Model kepemimpinan apa sebenarnya yang akan dilaksanakan di DPR? Setiap pemimpin di tingkat apa pun dan organisasi mana pun harus menerapkan kepemimpinan Pancasila. Namun, sccara mikro, dalam pelaksanaannya perlu diselaraskan dengan ciri dan sifat lembaga atau organisasi itu. DPR jelas mempunyai ciri yang berbeda dengan, misalnya, departemen atau organisasi ABRI. DPR adalah suatu lembaga politik, sebagai wadah fraksi yang menjadi bayangan organisasi induknya yang, tentu saja, mempunyai garis politik berbeda. Karenanya, pimpinan DPR tidak bisa dan tidak mempunyai wewenang untuk memaksakan garis politiknya. Walaupun saya tidak bisa memaksakan garis politik sava, saya harus membina anggota Dewan dengan baik, demokratis, dan sesuai dengan Pancasila, UUD 45, dan ketentuan perundang-undangan. Bagaimana menyelaraskan hak otonomi fraksi dan model kepemimpinan Anda? Otonomi dapat diartikan sebagai hak untuk mengurus dirinya sendiri. Ini lazim digunakan dalam pengertian sistem pemerintahan. Daerah Yang punva otonomi dapat mengeluarkan peraturan daerah sendiri untuk menghimpunkan dana dengan pajak atau retribusi guna pembiayaan keperluannya sendiri. Tentu saja, ini tidak tepat kalau dikaitkan dengan fraksi di DPR. Fraksi tidak mempunyai hak untuk mengeluarkan peraturan yang mengikat masyarakat dan memungut dana untuk keperluan rumah tangganya. Dalam peraturan tata tertib pasal 40 disebutkan bahwa fraksi bertugas menentukan dan mengatur sepenuhnya segala sesuatu yang menyangkut urusan fraksl masin-masing. Namun, perlu diketahui bahwa kebebasan yang dimiliki fraksi bukannya kebebasan yang seratus persen bebas. Sebab, dalam demokrasi Pancasila tidak dikenal adanya kebebasan seratus persen seperti liberalisme itu. Ada yang berpendapat, pimpinan DPR juga berada di bawah pimpinan fraksi yang dapat diganti bilamana perlu? Masa jabatan pimpinan DPR sama dengan masa keanggotaan DPR, yaitu lima tahun. Calon ketua dan wakil ketua diusulkan para anggota dalam satu paket. Jadi, siapa yang menjadi pimpinan Dewan dipilih dan diputuskan dalam rapat pleno oleh seluruh anggota Dewan, dan bukan cuma dari fraksinya. Dengan demikian, sekalipun fraksi ingin menarik atau menggantikan pimpinan DPR yang berasal dari fraksinya, bila tidak disetujui oleh rapat pleno, maka penggantian itu tidak akan berlaku. Perlu diketahui, sekalipun pimpinan DPR juga anggota fraksi, tidaklah berarti dalam menjalankan tugas dan fungsinya berada di bawah wewenang fraksi. Dalam melaksanakan tugas, pimpinan DPR hanya bertanggung jawab kepada DPR, dan bukan kepada fraksinya. Untuk meningkatkan bobot, DPR perlu dilengkapi staf ahli. Ada yang berpendapat, anggota DPR sering tinggal setuju saja, misalnya dengan RUU yang disodorkan pemerintah. Adanya staf ahli bukan satu-satunya jalan untuk meningkatkan kualitas anggota DPR. Yang penting ialah anggota sendiri yang mesti belajar dan meningkatkan mutunya sendiri. Dan saya menolak anggapan bahwa anggota Dewan cuma menerima jadi RUU yang disampaikan pemerintah. Dalam pembicaraan menjelang persetujuan, sering terjadi perdebatan tajam. Sebagai contoh ketika saya menjadi menteri dalam negeri membicarakan masalah RUU Pemilu. Diskusi hebat. Bahkan ada yang menggebrak meja segala. Saya sampai mengancam bahwa masalah itu bisa menjadi dead lock. Cuma, hal-hal semacam ini tidak kita beritahukan ke luar. Kita tetap menyelesaikan masalahnya secara demokratis, menghindari voting atau beda pendapat yang tajam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini