Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

"Kumpul Kerbau" Gaya Yogya

Berdasarkan penelitian dari kelompok diskusi dasakung, bahwa mahasiswa di yogyakarta banyak yang melakukan samenleven.(nas)

16 Juni 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KOTA Kebudayaan dan Kota Pelajar Yogyakarta bikin geger lagi. Satu setengah tahun lampau, seorang pelajar SMTA, Sulisto Eko, membuat gempar dengan "angket seks"-nya, yang antara lain mengungkapkan bahwa 8,5% responden remaja mengaku bersanggama bila berpacaran. Kini "Kelompok Diskusi Dasakung" muncul dengan hasil penelitian mereka. banyak mahasiswa Yogyakarta yang melakukan praktek samenleven (hidup bersama), tanpa ikatan pernikahan sah, di tempat pemondokan. Selama 40 hari (24 Maret hingga 20 Mei 1984), sepuluh mahasiswa anggota Dasakung yang melakukan penelitian di sembilan kampung di Yogya menemukan 29 pasangan (58 mahasiswa, pelajar, dan karyawan) yang - hidup bersama. "Kalau penelitian mencakup seluruh kota dan dilaksanakan Iebih cermat, kasus tadi pasti bertambah. Tanpa upaya pencegahan, dikhawatirkan citra Yogyakarta sebagai Kota Pelajar akan luntur," begitu tulis kesimpulan penelitian itu. "Pengertian samenleven yang dipakai berbeda dengan yang di Barat," kata Bambang Sigap Sumantri, ketua kelompok diskusi Dasakung, yang juga penanggung jawab penelitian. Di Barat, katanya, samenleven adalah hidup bersama sebagai suami-istri tanpa ikatan pernikahan. Sedangkan samenleven gaya Yogya ini: "pasangan pacar biasa, tetapi mempunyai kelebihan dibanding pasangan pacar umumnya", antara lain melakukan kegiatan bersama: makan, mencuci, rekreasi,dan tidur bersama. "Tapi kami tidak meneliti apakah mereka melakukan hubungan seks," kata Bambang mahasiswa tingkat sarjana lulusan Sosiologi Fisipol UGM. Penelitian itu menggunakan metode wawancara dan pengamatan. Tidak semua pelaku samenleven yang 29 pasang itu di wawancarai. "Hanya separuh yang kami wawancarai," kata Bambang. wawancara itu pun secara informal. "Kami tidak mengatakan untuk kepentingan penelitian," katanya. Alasan: masalah ini sangat peka, menyangkut masalah pribadi. "Jadi, wawancara dilakukan secara informal, misalnya sambil pura-pura meminjam bolpoin tambah Djoko Krisanjoyo, 22, salah seoranng peneliti. Informasi lain diperoleh dengan mewanwarai kawan si pelaku hidup bersama, sekurang-kurangnya dua orang yang bersebelahan kamar. "Sebagai kontrol, kami juga mengamati pelaku samenleven itu," kata Bambang. Hasil penelitian: Iebih dari separuh (16 pasang=55%) pelaku yang hidup bersama selalu makan bersama, 10,35% (3 pasang) sering makan bersama dan 34,48% (10 pasang) kadang-kadang. Penelitian juga menunjukkan 16 pasang selalu mencuci bersama, dan 12 pasang kadang-kadang. Tidur bersama? Ada 3 pasang yang selama 1-2 hari dalam seminhggu tidur bersama. Sebanyak 8 pasang tidur bersama 3-4 hari dalam seminggu. Yang paling banyak 62,07% (18 pasang) tidur bersama sclama 5-7 hari dalam seminggu. Dari mana tahu bahwa mereka tidur bersama? "Di kamar itu hanya ada satu tempat tidur," kata Yohanes Sumadya Widada, salah seorang peneliti."Dari pengamatan, mereka pulang malam, bahkan ada yang sampai pagi, dan ternyata tempat tidurnya lusuh," ujarnya sembari tertawa. Meski banyak pasangan yang tidur bersama dengan frekuensi yang tinggi, sebanyak 16 pasangan tinggal lain rumah. Hanya 24,14', (7 pasang) yang tinggal dalam satu kamar, dan 20,69% (6 pasang) tinggal dalam satu rumah tapi lain kamar. Dari 29 pasang pelaku hidup bersama itu, 60,34% berasal dari luar Yogya tapi masih di Pulau Jawa. Sisanya: 22,42% dari luar Jawa dan 17,24% berasal dari 'Yogya. Agama: 56,90% Islam, 18,97 Katolik, 8,62% Kristen, 6,89% Hindu, dan sisanya tidak diketahui. Sebagian besar, 40 orang (68,97%) berpendidikan perguruan tinggi dan 7 orang (12,07%) SMTA. Umur yang tertinggi 27 tahun, paling rendah 19 tahun, dan yang terbanyak antara 21 -24 tahun. Masih ada lagi. Tercatat ada 10 pasang yang hidup bersama selama kurang dari setengah tahun, 11 pasang antara setengah sampai dua tahun, dan hanya 7 pasang yang hidup bersama lebih dari dua tahun. "Ditemuinya kasus hidup bersama di antara mahasiswa dan pelajar Yogyakarta itu menunjukkan terjadinya perubahan tata moral pergaulan setempat," begitu kesimpulan Dasakung. Tapi dampaknya belum sampai merusakkan tata kelembagaan bermasyarakat. Penelitian hanya menunjukkan adanya penyimpangan umum dalam pergaulan bermasyarakat. Dasakung juga menyebarkan 120 kuesioner (yang kembali 105) di antara penduduk tempat pelaku hidup bersama. Ada 17 pertanyaan yang diajukan. Jawaban yang masuk antara lain: 95,24% sama sekali tidak setuju dengan hidup bersama tanpa menikah" 72,38% menganggap bersanggama sebelum menikah "sangat tidak wajar". Dari sini peneliti berkesimpulan, "Masyarakat sebenarnya masih menjunjung nilai-nilai pernikahan." Kelompok diskusi Dasakung terbentuk Oktober 1983. Dasa artinya sepuluh (sesuai dengan jumlah anggota), kung berasal dari koong, sebutan untuk burung perkutut yang baik suaranya. Kelompok ini memang lahir di rumah seorang penggemar burung perkutut. Topik samenleven dipilih karena terangsang diskusi di Universitas Islam Indonesia mengenai "Hamil sebelum Nikah". "Jadi, penelitian itu kami lakukan karena rasa ingin tahu lebih jauh tentang kehidupan Yogya," ujar Bambang Sumantri. Kebetulan di antara anggota Dasakung, terdapat anak sulung P. Swantoro, wakil pemimpin redaksi Kompas. "Mereka menginginkan penelitian tentang kehidupan mahasiswa. Saya mendorong," kata Suwantoro. Ia tertarik karena, "Sejak dulu saya punya pendirian bahwa Yogya itu kelihatannya tenang, tapi di bawah permukaan 'kan macam-macam. Ada gairah lain yang bisa diteliti," ujarnya. Biaya penelitian ditanggung Kompas. Menurut Dasakung, yang dihabiskan cuma sekitar Rp 200.000. Tapi kebenaran hasil penelitian Dasakung ternyata diragukan. Menteri P & K Nugroho Notosusanto, misalnya, meragukan nilai ilmiah penelitian itu, dan menganggapnya terlalu dibesar-besarkan. "Masalah itu sebenarnya sejak dulu sudah ada. Tetapi apa yang dijadikan ukuran kalau disimpulkan kian meningkat? Apakah pernah diteliti tentang pola hidup seperti itu sejak 1945 sampai sekarang?" ujar Menteri Nugroho pekan lalu. Prof. Soedjito Sosrodihardjo, kepala Lembaga Pengabdian Masyarakat UGM. menganggap bahwa masalah Kumpul Kebo (hidup bersama tanpa menikah seperti kerbau) sangat peka, hingga menelitinya harus hati-hati. Diakuinya, sulit menilai valid tidaknya hasil penelitian. "Saya belum melihat daftar pertanyaannya dan apa saja yang ditanyakan," katanya. Untuk menentukan responden, seharusnya dilakukan secara acak. Status mereka harus dibedakan: sewa kamar saja, makan di dalam, atau anak kos yang mcncmpati kamar tanpa ditunggui induk semangnya. "Ini untuk mencegah gambaran yang nggebyah uyab (menyamaratakan)," katanya. Karena ini masalah rawan, status kependudukan dan hubungan sosial di wilayahnya juga harus ditanyakan. "Saya yakin, para pelaku itu tidak memiliki KTP Yogya. Paling tidak, mereka menetap di kampung itu tanpa memberitahu resmi kepada pengurus kampung," katanya. Peranan RT atau pengurus kampung di Yogya, katanya, cukup besar. "Kalau mereka lapor secara rcsmi paling tidak ketua RT pasti memperingatkan," kata Soedjito. Untuk memilih kampung tempat tinggal sampling, sebelumnya harus didata dulu, berapa jumlah anak pondokan di kampung itu. "Ini penting, agar penelitian itu representatif. Kalau itu tidak dilakukan, mungkin mereka hanya melakukan pengamatan," katanya. Agaknya "penelitian" itu memang lebih bersifat pengamatan. Beberapa mahasiswa Yogya yang ditanya mengakui melihat kecenderungan untuk samenleven memang tumbuh. Tapi banyak juga yang kaget. Doddy, mahasiswa UII yang indekos di Kampung Kuningan - salah satu dari sembilan kampung yang diteliti - bersama 20 rekannya, putra-putri, terkejut dan meragukan hasil penelitian itu. "Kami memang bergaul dengan bebas, tapi itu bukan berarti kami bebas ber-samenleven seperti diberitakan penelitian itu. Kalau ada penelitian di sini, masa kami tidak tahu. Padahal, rumah kos ini termasuk paling, banyak penghuninya di kampung ini," katanya. "Kami di sini sudah seperti saudara sendiri, ujar Eeng, salah seorang cewek penghuni di situ. "Artinya, kami saling menjaga diri," katanya. Kebanyakan temannya serumah, katanya, berasal dari Kediri, Jawa Timur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus