Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Komputer yang tak anticalo

Komputerisasi pembuatan sim tak mengurangi percaloan. tarifnya naik, ongkos calo pun naik. pt citra yang menang tender memetik 90% lebih dari biaya pembuatan sim.

24 April 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NASIB komputerisasi STNK kalau jadi jangan-jangan akan seperti SIM (surat izin mengemudi). Tujuannya mulia, yakni untuk memberantas calo dan memangkas proses yang berbelit-belit. Namun, yang terjadi tampaknya tak beda jauh dengan keadaan sebelum teknologi komputer diperkenalkan. Gagasan komputerisasi, seperti pernah dicanangkan Brigjen Polisi Sony Harsono, yang ketika itu masih menjabat Direktur Lalu Lintas Mabes Polri, sebenarnya di samping untuk mempercepat pelayanan, juga agar pemberian SIM lebih selektif dan objektif. Pemohon tak diloloskan dengan serampangan, dan sekaligus tentunya untuk memberantas calo. ''Ini penting, agar pemegang SIM benar-benar orang yang paham aturan lalu lintas,'' katanya (TEMPO, 17 Oktober 1992). Namun, hanya pada awal-awal tampak ada tekad mencapai tujuan itu. Misalnya saja pelamar SIM di Medan, Palembang, atau kota-kota besar di Jawa, turun drastis. Sebanyak 510% saja yang lolos ujian dan seleksi lewat komputer. Namun, beberapa pekan kemudian, komputer pun rupanya bisa diajak ''komporomi''. Jumlah yang lulus pun merangkak naik menjadi 4050%. Dan kini pelayanan memang lebih cepat. Tapi calonya pun merajalela lagi. Program komputerisasi itu sendiri dilaksanakan setelah PT Citra Permata Persada terpilih sebagai pemenang, menyisihkan 17 perusahaan lain yang mengajukan penawaran. ''Hanya perusahaan itu yang bisa menawarkan sistem komputer seperti yang diinginkan polisi,'' kata Sony. Dana yang ditanam Citra sekitar Rp 90 miliar untuk komputerisasi pembuatan SIM di tujuh kota besar seperti Surabaya, Bandung, Jakarta, Semarang, Medan, dan Palembang. Dan ini kemudian akan dikembangkan di 276 kantor polisi di seluruh Indonesia. Untuk kerja sama ini, Citra, yang disebut-sebut masih punya hubungan dengan PT Citra Lamtorogung Persada milik Ny. Siti Hardiyanti Rukmana, bisa memetik untung selama lima tahun. Setelah itu, sistem dan hasilnya menjadi milik polisi. Selama kerja sama lima tahun itu, Citra mendapatkan bagian Rp 48.500 dari tarif pembuatan SIM Rp 52.500. Sisanya, yang kurang dari 10% itu, masuk ke kas polisi. Namun, polisi rupanya tak kurang akal dengan ''bagian yang kecil'' itu. Seperti yang diamati TEMPO di berbagai tempat pengurusan SIM yang sudah dikomputerkan, beberapa calo kelihatan berkeliaran lagi. Kecepatan proses pengurusan menjadi salah satu daya tarik untuk ditawarkan. ''Dengan bantuan kami, dijamin lulus dan cepat selesai,'' kata seseorang menawarkan jasa di Jakarta. ''Percuma saja ngurus sendiri, komputernya suka ngadat,'' kata orang lain di Bandung. Menurut laporan wartawan TEMPO, ada yang menawarkan bahwa dengan membayar Rp 200.000, seorang pemohon dijanjikan tinggal difoto serta membubuhkan tanda tangan dan cap jempol. Semua dijamin beres, diurus oleh yang menawarkan jasa itu. Boleh dibilang, sistem komputerisasi memungkinkan pendapatan calo lebih besar. Sebutlah misalnya pencari SIM, Kurnain, dari Bandung. Ia mengaku terpaksa ''menembak'' polisi dengan Rp 110.000 untuk mendapatkan SIM sepeda motor. Padahal, sebelum komputerisasi, biaya ''SIM tembak'' cuma Rp 30.000 sampai Rp 50.000. Begitu pula pengalaman Jono dari Palembang. Sebelum komputerisasi, ia cukup mengeluarkan biaya tembak Rp 75.000 untuk SIM A. Namun kini tarifnya sedikitnya Rp 100.000. ''Ternyata, komputer bisa dibohongi juga,'' kata seorang pencari SIM yang enggan disebut namanya di Jakarta. Ini diakui seorang polisi yang ikut mengatur para ''penjual jasa'' mempercepat pembuatan SIM itu. Kepada TEMPO ia mengaku, sejak komputerisasi, perolehan calo justru tambah. Kenaikan tarif SIM, katanya, berarti pula menambah biaya ''tembak''. Berapa SIM bisa diurusnya setiap hari? ''Tergantung nasib saja,'' katanya. Yang jelas, tambahnya, ''Ini memang lahan basah buat saya,'' kata seorang polisi di Polda Jakarta. ''Soalnya, kalau cuma mengandalkan gaji, mana cukup?'' kata rekannya. Namun, menurut Kolonel Polisi Hotman Siagian, Kepala Ditlantas Polda Metro Jaya, masih beroperasinya calo bukan semata salah polisi yang menjadi calo atau ''mempekerjakan'' calo. ''Masih ada prosedur yang tak dikomputerkan,'' katanya. Ia menunjuk ujian praktek yang masih bersifat manual. Lagi pula, kata seorang polisi di Bogor, tenaga polisi tak akan cukup untuk melayani pemohon kalau semua sesuai dengan prosedur. Apa pun alasannya, tampaknya alat dan sistem canggih seperti komputerisasi SIM itu saja masih bisa diakali. Sebab, yang memberi masukan data ke alat dengan teknologi tinggi itu toh manusia pula. Kecepatan proses atau percaloan tentunya bergantung pada manusia yang mengoperasikannya. Boleh dibilang, alat bisa canggih, tapi ada calo atau tidak, sangat bergantung pada orang yang menggunakannya. Orang pula yang harus memberantas calo itu. Agus Basri, Bambang Sujatmoko (Jakarta), dan Aina Rumiyati Aziz (Palembang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus