MEMELIHARA mobil di mana-mana memang makan biaya. Ada sederet pengeluaran yang bagi orang kebanyakan bisa bikin pening kepala. Servis rutin, ganti suku cadang, asuransi, biaya surat kendaraan, belum lagi kalau ada musibah tabrakan atau kecelakaan. Yang bisa dicatat ialah kenyataan bahwa biaya administrasi surat kendaraan bermotor di Indonesia, yang Rp 4.500 saat ini, memang terhitung murah. Di sejumlah negara, tarif dan sistem pembayaran pajak mobil memang berbeda-beda. Pemerintah Thailand, lewat Departemen Transportasi Jalan Raya, misalnya, mengutip biaya administrasi 105 baht, sekitar Rp 8.400, untuk semua jenis STNK. Ongkos itu terdiri dari biaya formulir Rp 400, dan ongkos pemrosesan buku mobil Rp 8.000. Biaya pencetakan nomor pelat kendaraan di Thailand sama dengan di Indonesia, Rp 8.000. Untuk katagori mobil kodian, biaya perpanjangan STNK di Indonesia tak terpaut banyak dengan di Thailand kecuali kalau rencana kenaikan ongkos administrasi yang 1.500% diberlakukan. Sebuah jip Suzuki Caribean keluaran 1991, yang sedikit lebih mewah dari Suzuki Jimny, kena 1.800 baht, sekitar Rp 160.000, di Thailand. Di Jakarta tarif setinggi itu dikenakan untuk Suzuki Jimny 1991. Namun, untuk sedan yang bukan kodian, tarif STNK di Thailand lebih miring. Pajak kendaraan bermotor di Negeri Gajah Putih ini cuma dipungut 150 baht (Rp 15.000) sampai 3.600 baht (Rp 288.000), tergantung berat kendaraan. Merek dan harga tak berpengaruh. Suzuki Caribean kena pajak tahunan Rp 144.000, hanya sedikit di bawah sedan Mazda, Toyota Corolla, atau BMW. Sedangkan di Indonesia, sebuah Corolla Limited 1990 dipungut pajak Rp 374.000. Perbedaan biaya STNK ini akan semakin lebar bila dikaitkan dengan urusan balik nama. Di Thailand ongkos balik nama itu murah, cuma Rp 1.000 untuk sepeda motor dan Rp 8.000 untuk mobil. Merek, jenis, dan tahun produksi tak diperhitungkan. Sedangkan di Indonesia, ongkos balik nama untuk sebuah sedan Toyota Accord 1986 kini masih mencapai lebih dari Rp 1,1 juta. Dan jip Vitara 1993 sebesar Rp 3,3 juta. Di negeri mobil, Jepang, biaya untuk pembuatan STNK 2.100 yen atau Rp 35.000 untuk segala jenis kendaraan bermotor. Pungutan itu terdiri dari Rp 3.500 untuk biaya administrasi dan sekitar Rp 25.000 biaya nomor kendaraan. Enaknya, biaya pendaftaran ke kantor wilayah kementerian perhubungan setempat itu tak dipungut setiap tahun. STNK model Jepang ini berlaku sampai mobil itu tak dipakai lagi. Kecuali kalau pemiliknya pindah alamat atau mobil dijual ke orang lain, perlu mendaftarkan lagi untuk mendapatkan STNK baru. Tarif mobil baru atau lama sama saja. Di Malaysia lain lagi. Pengurusan STNK dikaitkan dengan asuransi. Yang belum melunasi asuransi tak bisa membajar pajak kendaraan, yang di sana disebut roadtax. Tanda bukti lunas asuransi diperlukan untuk membayar roadtax. Dengan slip pembayaran pajak ini, pemilik mobil mendapatkan nomor kendaraan dan surat-suratnya. Untuk memudahkan pemeriksaan di jalan, sebuah stiker tanda telah membayar STNK ditempel di kaca depan mobil. Tarif asuransi di Malaysia, yang mencakup jaminan kecelakaan dan kehilangan, hampir sama dengan di Indonesia, sekitar 2,5% dari harga jual mobil. Namun tarif ini bisa ditawar kalau si pemilik mobil telah membuktikan diri selama lima tahun tak mengajukan klaim. Sedangkan biaya roadtax di Malaysia agak lebih miring dibandingkan ongkos STNK di Indonesia. Sebuah sedan baru 1.500 CC di Kualalumpur dikenai roadtax 213 ringgit, sekitar Rp 170.000, kurang dari separuh pembuatan STNK di Jakarta. Urusan STNK di Australia mirip dengan Malaysia, dikaitkan dengan asuransi. Tarif registrasi mobil di Negeri Kanguru itu cukup murah. Dengan biaya A$ 140, sekitar Rp 210.000, seorang pemilik sedan Ford Laser buatan 1988 mendapatkan STNK baru berikut pelat nomornya. Tapi angka itu harus ditambah A$ 249 atau Rp 375.000 lagi untuk asuransi yang menjamin biaya pengobatan pengemudi dan korban yang jatuh bila mobil itu mengalami kecelakaan. Biaya perbaikan dan kehilangan? Itu ada asuransinya sendiri, yang tak digabung dengan tarif di atas. Komputerisasi untuk STNK juga dilakukan di Australia, khususnya di Negara Bagian Victoria, sejak 1 Maret 1993 silam. Untuk pengadaan perangkat kerasnya, pemerintah Victoria harus membelanjakan A$ 15 juta alias Rp 22 miliar. Seperti di Indonesia, komputerisasi itu dimaksudkan untuk mencegah kriminalitas di sektor permobilan. Namun, komputerisasi itu tidak membawa perubahan pada tarif STNK. Maklum seluruh investasinya dibiayai pemerintah, tak diswastakan. Lagi pula, kenaikan tarif STNK di Victoria harus melalui persetujuan parlemen negara bagian itu. Tarif dan sistem pengutan untuk STNK memang berbeda. Itulah, lain ladang lain pula pungutannya. PTH (Jakarta), Dewi Anggraeni (Melbourne), Ekram H. Attamimi (Kualalumpur), Yuli Ismartono (Bangkok), dan Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini