Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada saat semua pasangan calon presiden dan wakil presiden menjanjikan pemerintahan yang bersih dalam kampanye pemilu presiden, para birokrat dan anggota DPR menunjukkan perilaku yang sebaliknya. Mereka terang-terangan mempertontontan akal licik untuk menggunakan uang rakyat bagi kepentingan diri mereka sendiri, bahkan tanpa malu berbohong seolah-olah rakyat ini hanya kambing congek yang dungu.
Dari awal, kasusnya sudah amburadul. Syahdan, Pertamina, BUMN besar yang sudah biasa dijadikan lahan korupsi, membeli tanker raksasa yang dalam istilah teknisnya disebut tanker very large crude carrier (VLCC). Tanker itu dibuat di Korea Selatan tanpa tender. Penyimpangan yang sudah biasa, tapi sorotan kita bukan masalah ini.
Kini Pertamina mengalami krisis keuangan. Berbagai hal dijadikan alasan untuk menjelaskan bahwa Pertamina perlu uang segar. Lalu direksi Pertamina yang baru punya kebijakan yang berbeda dengan direksi lama. Tanker VLCC yang dibuat Pertamina itu tak ada gunanya, kurang efisien untuk bisnis Pertamina pada masa depan. Kesimpulannya, tanker yang belum jadi itu dilego saja dan ini salah satu cara untuk mendapatkan uang segar.
Pemerintah, dalam hal ini Menteri Negara BUMN yang juga Komisaris Pertamina, setuju. Tapi, supaya hal itu lebih mulus lagi, agar tak ada kritik dari siapa pun, DPR perlu dimintai persetujuan. Kalau cuma dimintai persetujuan tanpa ada apa-apanya, mana mau begitu mudah anggota DPR bilang setuju? Maka berangkatlah 16 anggota DPR ke Korea Selatan?lima di antaranya membawa istri. Dalam perjalanan, mereka singgah dulu di Hong Kong dan menginap semalam di sana.
Perjalanan mirip tamasya inilah yang kemudian bocor ke media masa. Kenapa untuk bilang "setuju" saja harus meninjau ke tempat tanker itu dibuat? Yang lebih menghebohkan adalah biaya perjalanan itu ternyata ditanggung oleh Pertamina. Nota internal untuk itu ada.
Sebenarnya hal ini pun soal biasa. Sudah jamak anggota DPR dibiayai mitra kerjanya dalam kunjungan ke daerah ataupun luar negeri. Tapi, karena ini "dibocorkan", rupanya anggota serta pemimpin DPR jadi kesal. Tak kurang dari Ketua DPR Akbar Tandjung yang membantah perjalanan ke Korea Selatan itu dibiayai Pertamina. Menurut Akbar, semua biaya perjalanan dinas anggota DPR ada anggarannya. Karena perjalanan ini mendadak, sementara proses mencairkan dana butuh waktu, biayanya ditalangi dulu oleh Pertamina. Jadi, DPR meminjam ke Pertamina, silakan nanti Pertamina menagihnya.
Yang menarik, Ketua Tim Divestasi VLCC Andri Hidayat membantah mengeluarkan dana untuk membiayai ke-16 anggota DPR ke Korea Selatan, meskipun mengakui ada nota internal yang menjelaskan pembiayaan itu. Jadi, menurut Andri, Pertamina tak perlu menagih piutangnya ke DPR. Kalau begitu kasusnya, ini hal baru dan luar biasa, berarti ada tuyul atau jin yang membiayai anggota DPR pelesir ke luar negeri.
Bagaimana ending kasus ini? Ternyata DPR menyimpulkan, tanker VLCC itu tak perlu dijual karena pada masa depan bisnis tanker masih bagus. Artinya, DPR tidak menyetujui penjualan tanker raksasa untuk menutup krisis keuangan Pertamina.
Apakah ini keputusan yang murni atau karena kesal biaya ke luar negeri itu "dibocorkan", tak perlu dilacak. Pertamina dan Kementerian BUMN pun rupanya tak lagi memerlukan suara setuju atau tidak dari anggota DPR. Penjualan tanker jalan terus. Lo, kalau ujungnya begitu, kenapa harus pakai jalan berliku?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo