Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fyan, 9 tahun, dan Ryan, 10 tahun, terlihat gembira bermain di Taman Prestasi di Jalan Ketabang Kali, Surabaya, Selasa sore pekan lalu. Dekat dengan rumah, taman itu langganan mereka, entah untuk bermain sepak bola entah petak umpet. "Di sini enak," ujar Fyan, murid kelas IV SD Kaliasin I. Sesekali ibunya mengantar dan menemaninya. Tapi tak jarang dia pergi sendiri bersama teman-temannya.
Seorang remaja, Fika, juga biasa menemani adiknya, Riris, ke sana. Tak hanya di Taman Prestasi, ia juga kerap mengajak adiknya nglencer ke Taman Bungkul di Jalan Raya Darmo dan Taman Lansia di Jalan Biliton. Sayang, kondisi taman acap tidak memungkinkan untuk adiknya. "Banyak orang pacaran, kami cari tempat yang lebih aman."
Taman sudah seperti rumah kedua bagi para precil—sebutan untuk anak-anak. Kadang, sepulang sekolah, mereka mampir ke taman. Tapi waktu yang paling favorit adalah sore atau hari libur. Tak ada taman yang lolos dari serbuan mereka.
Keberadaan taman-taman kota yang aman dan nyaman bagi bocah di seantero kota ini ikut mengantar Surabaya menjadi kota ramah anak kategori Nindya 2013, Rabu pekan lalu. Kota lain yang mendapat penghargaan serupa adalah Denpasar, Surakarta, dan Bandung.
Bagi Surabaya, penghargaan ini yang kedua setelah tahun lalu. Kategori Nindya adalah penghargaan di atas kategori Pratama dan Madya. Setahun sebelumnya, Surabaya meraih kategori Madya. Dua kategori teratas adalah Utama dan Kota Layak Anak.
"Sejak 2009 sudah ada program responsif untuk anak," kata Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat Surabaya Antik Sugiharti. Konsep diwujudkan dalam pengadaan taman untuk arena bermain dan perpustakaan atau taman bacaan. Ada 980 perpustakaan atau taman bacaan di RT/RW di 31 kecamatan.
Inti konsep ramah anak, kata Antik, adalah terpenuhinya hak dan kebutuhan anak. "Pembangunan dan ekosistemnya harus berpihak pada anak." Termasuk akses pendidikan untuk anak-anak tidak mampu. Soal ini, Surabaya memberlakukan kuota lima persen di setiap sekolah untuk warga miskin agar bisa bersekolah tak jauh dari rumahnya.
Menurut Antik, Pemerintah Kota memfokuskan pada kemiskinan, kesehatan, dan pendidikan. Surabaya mengalokasikan lebih dari 30 persen anggarannya atau sekitar Rp 3,5 triliun, di antaranya untuk memutuskan kemiskinan struktural melalui pendidikan.
Anggaran kesehatan yang cukup besar, Rp 2,9 triliun, membuat pemerintah bisa mengalokasikan lebih banyak dana untuk kesehatan dasar dan kesejahteraan anak seperti pemberian makanan bergizi, imunisasi, dan penanggulangan penyakit.
Konsep berkembang setiap tahun. Kali ini Surabaya mengembangkan puskesmas ramah anak. Inovasi lainnya adalah rumah perlindungan bagi anak berkebutuhan khusus di Kalijudan, rumah untuk bibit unggul buat mereka yang tidak mampu dan putus sekolah, serta shelter khusus perempuan untuk korban dan pelaku perdagangan anak.
Meski berjuang memuliakan harkat anak-anak, Surabaya berkali-kali kecolongan kejahatan human trafficking. Terakhir, terungkap seorang pelajar ingusan menjadi germo bagi rekan-rekannya sendiri.
Untuk pelaku perdagangan anak di bawah umur, dilakukan pendekatan restorasi hukum. Selama menjalani proses hukum, mereka tidak ditahan tapi dibina sambil tetap menjalani hukuman dengan merawat para jompo, orang gila, dan mantan pekerja seks tua dan sakit-sakitan. "Kami tunjukkan kepada mereka, 'Ini lho kalau tetap kerja seperti itu'," kata Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini.
Untuk pencegahan, pemerintah membentuk Tim Rusa, yang terdiri atas petugas Satuan Polisi Pamong Praja, Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, dan Dinas Sosial. Minimal tiga kali sepekan mereka merazia di jalanan, pantai, dan tempat hiburan malam. Anak-anak yang kedapatan berkumpul pada waktu tak semestinya diangkut. Mereka diperiksa di lokasi. "Mereka tak boleh pulang sebelum dijemput orang tuanya," ujar Antik.
Razia ini pun, menurut Antik, efektif. Anak yang keluar pada jam-jam tak semestinya berkurang. Dulu semalam bisa didapat 400 anak, sekarang hanya 1-2. Pengusaha mal pun berpartisipasi. "Mal langsung menghubungi kami jika ada anak-anak yang mencurigakan."
Pemerintah Kota juga membina 16 ribu konselor sebaya selain melayani telepon 24 jam. Konselor yang terdiri atas anak SMP dan SMA itu menampung keluhan teman-temannya.
Risma berpendapat, trafficking memiliki benang merah dengan keberadaan lokalisasi. Karena itu, ia menutup lokalisasi dan merazia tempat hiburan malam agar anak-anak tak lagi berada di tempat yang tidak semestinya.
Risma juga kerap memotivasi korban perdagangan anak di tempat penampungan. Ia bercerita, salah seorang anak yang pernah menjadi muncikari berubah. "Setelah bersekolah lagi, nilainya bagus. Dia malah dapat beasiswa di Malaysia, dan pulang membawakan aku oleh-oleh."
Anggota Tim Independen dan Evaluasi Kota Layak Anak, Nanang Abdul Hanan, mengatakan Surabaya memiliki keunggulan sumber daya kuat, orang tua yang berpendidikan, dan lembaga swadaya masyarakat yang cukup banyak.
Surabaya dinilai positif karena telah memberlakukan sekolah kawasan dan layanan orientasi sekolah menggantikan masa orientasi sekolah. "Anak-anak tidak lagi di-bully, tapi malah dilayani," kata Nanang.
Beberapa hal yang masih perlu diperÂbaiki antara lain perlunya masyarakat disertakan dalam pencegahan. Masyarakat harus memiliki perhatian untuk mencegah anak agar tidak menjadi korban trafficking. Perlu pula mekanisme yang membantu korban kekerasan seksual agar mampu mengatasi trauma dan tetap melanjutkan hidup dengan baik. "Ini yang belum muncul."
Konseptor kota layak anak nasional ini mencontohkan Solo dan Yogyakarta, yang memberlakukan jam belajar bersama pada waktu tertentu. Semua televisi dimatikan dan situasi yang kondusif diciptakan agar anak belajar tenang.
Nanang juga melihat tanggung jawab sosial perusahaan belum disinergikan dalam konsep yang jelas. Seharusnya, kata Nanang, dana dari perusahaan tersebut disalurkan dalam bentuk pendidikan, kesehatan, lingkungan, atau penyediaan air bersih. "Belum sampai lima persen dari private sector yang terlibat."
Surabaya dinilai terus membaik. Surabaya, kata Nanang, sebenarnya hampir meraih predikat utama. Sayangnya, kementerian serta tim evaluasi melihat pertimbangan lain. "Dari penilaian media, Surabaya tidak bisa jadi utama karena kasus-kasus trafficking."
Selain memberantas kasus perdagangan anak, pekerjaan rumah pemerintah Surabaya adalah mengawal taman agar tidak dijadikan tempat manuk-manukan para remaja. Hal ini perlu untuk mencegah mereka terjerumus ke tindak asusila, yang bisa mengantar anak-anak muda ini menjadi korban trafficking. Dan juga agar Fika tak jeri lagi mengajak adiknya, Riris, bermain di sana.
Endri Kurniawati, Agita Sukma Listyanti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo