Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Tas Centil dari Dusun Terpencil

Korban kerusuhan Sambas berhasil bangkit dari keterpurukan. Perlu bantuan mendapatkan modal.

28 Juli 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menggunakan sepeda­ motor Jupiter-nya, Jazuli, 40 tahun, menempuh jarak 70 kilometer menuju Dusun Sambasan di puncak bukit Desa Belkong, Kecamatan Sepuluh, Bangkalan. Pedagang pakaian ini melewati jalan sempit dan rusak demi bertemu dengan pembuat tas tali agel di dusun terpencil itu. "Saya mau belajar membuat tas tali agel," kata Jazuli, warga Desa Rabasan, Kecamatan Socah, Sabtu dua pekan lalu.

Jazuli bercerita, di desanya tas tali agel dikenal sebagai kerajinan tangan warga Dusun Sambasan. Tali agel—bahan pokok tas itu—dibuat dari daun pohon agel atau pohon pocok. Bentuk daunnya seperti daun siwalan tapi lebih tipis dan lentur.Beberapa tahun lalu, Sambasan sama sekali tak dikenal, kecuali sebagai tempat penampungan warga Madura korban kerusuhan rasial di Sambas pada 1999. "Kampung ini terpencil. Jalannya rusak. Siapa mau ke sini?" ujar Surati, 53 tahun, warga Dusun Sambasan.

Nama Sambasan diambil dari daerah di Kalimantan Barat itu. Pengungsi Sambas mulai menempati dusun itu pada 2001-2002. Mereka tinggal di rumah-rumah darurat berdinding tripleks dan beratap seng sampai sekarang. Karena statusnya sebagai pengungsi, mereka tak punya hak atas tanah. Surati menyambung hidup menjadi buruh tani dengan bayaran Rp 25 ribu per hari, sedangkan suaminya berdagang di Jakarta. Lelaki di Sambasan kebanyakan merantau ke Jakarta, Kalimantan, Arab Saudi, dan Malaysia.

Tak lama menjadi buruh tani, Surati mencoba peruntungan lain ketika, pada 2002, seorang warga Australia yang lama menetap di Surabaya datang ke dusunnya. Hume Jephcott, yang dikenal dengan nama Hendro, menawarkan pelatihan. "Saya mau bantu karena mereka tidak punya harta benda," ucap Hendro, yang tadinya mengajar di Universitas Wijaya Kusuma, Surabaya. Ia sempat kebingungan apa yang bisa ditawarkan sampai akhirnya mendengar dari Kepala Desa Dupok, Kecamatan Kokop, bahwa di kawasan itu ada serat agel yang dijual ke Yogyakarta untuk dijadikan tas. Hendro lalu memborong tas agel, mempelajari cara pembuatannya, dan mengajarkannya kepada ibu-ibu Sambasan.

Meski awalnya curiga dengan tawaran pegiat Yayasan Pelita Kasih ini, Surati bersama 16 pengungsi lain mengikuti pelatihan membuat tas selama dua minggu di Surabaya. Berbekal pengetahuan dari kursus singkat itu, mereka membuat tas tenteng wanita, tas sekolah, topi, hingga yang paling populer saat ini, kantong telepon seluler.

Awalnya tak mudah menjual tas hand­made ini. Harganya yang mahal membuat warga sekitar tak sanggup membayarnya. Untuk pemasaran tas seharga Rp 20-150 ribu itu, Hendro lagi-lagi mengulurkan tangan. Dia memasarkan tas buatan perempuan-perempuan Madura itu ke Thailand, Jepang, Filipina, Kanada, dan Inggris. Sedikit demi sedikit tas buatan perempuan-perempuan Dusun Sambasan mulai dikenal. Tahun lalu, kata Surati, seorang pengusaha Jepang datang ke Sambasan memesan 1.000 tas.

Surati pun mendirikan Koperasi Melati, yang kini beranggotakan 78 perempuan Dusun Sambasan. Setiap bulan Koperasi mampu memproduksi lebih dari 300 tas. Dengan produksi sebanyak itu, setiap pembuat tas bisa memperoleh penghasilan Rp 600-700 ribu per bulan. "Cukup buat makan dan bantu biaya sekolah anak," ujar Surati.

Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian Pemerintah Kabupaten Bang­kalan Nawawi mengatakan pemerintah berniat menjadikan tas agel sebagai maskot produk unggulan daerah. "Setiap ada pameran selalu kami ikutkan," kata Nawawi.

Selain pengakuan seperti itu, para pejuang Sambasan ini perlu bantuan mendapatkan modal agar bisa menaikkan produksi. "Mau pinjam ke bank, kami tidak punya sertifikat," ucap Surati.

Fanny Febiana, Musthofa Bisri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus