Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sikap Tak Ajukan Banding Dianggap Lindungi Juliari

Pertimbangan yang meringankan Juliari karena menderita setelah mendapat cacian masyarakat seharusnya dijadikan pijakan KPK untuk mengajukan banding.

2 September 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Terdakwa mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara, seusai mengikuti sidang pembacaan surat tuntutan, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, secara daring, dari gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 28 Juli 2021. TEMPO/Imam Sukamto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • KPK dinilai melindungi Juliari karena tak mengajukan banding.

  • Pertimbangan yang meringankan Juliari karena menderita setelah mendapat cacian masyarakat seharusnya dijadikan pijakan KPK untuk mengajukan banding.

  • Vonis 12 tahun penjara terhadap Juliari sudah berkekuatan hukum tetap.

JAKARTA – Pegiat antikorupsi menyayangkan sikap Komisi Pemberantasan Korupsi yang tidak mengajukan banding atas putusan Juliari Peter Batubara. Padahal putusan pengadilan negeri terhadap mantan Menteri Sosial dalam perkara korupsi bantuan sosial Covid-19 itu dianggap ringan dibandingkan dengan perbuatannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Peneliti dari Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, mengatakan KPK seharusnya mengajukan banding demi mengedepankan rasa keadilan masyarakat tersebut. “Pengadilan tinggi punya kuasa untuk mengoreksi putusan pengadilan negeri,” kata Kurnia, kemarin. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kurnia menegaskan, ICW dan para pegiat antikorupsi lainnya tetap menganggap perbuatan Juliari menimbulkan begitu banyak kerugian sehingga ia harus dipenjara seumur hidup. Kerugian itu, di antaranya, karena Juliari telah mengkorupsi jatah bantuan sosial jutaan warga miskin yang tengah terkena dampak bencana kesehatan Covid-19 di wilayah Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi. 

Kemarin, KPK menyatakan tak akan mengajukan banding atas putusan Juliari. Di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Juliari divonis 12 tahun penjara, pekan lalu. Vonis ini lebih tinggi satu tahun dibanding tuntutan jaksa KPK 11 tahun. Wakil Bendahara Umum PDI Perjungan itu juga harus membayar denda Rp 500 juta, uang pengganti korupsi sebesar Rp 14,5 miliar, serta dicabut hak politiknya dalam jabatan publik selama 4 tahun setelah menjalani pidana pokok. 

Juru bicara KPK, Ali Fikri, mengatakan analisis yuridis jaksa KPK telah menjadi pertimbangan hakim dalam vonis terhadap Juliari. “Seluruh amar tuntutan telah dikabulkan sehingga kami tidak melakukan upaya hukum banding,” kata Ali. 

Sejalan dengan KPK, Juliari dan tim kuasa hukumnya juga menyatakan tak akan mengajukan banding atas putusan pengadilan tingkat pertama. Karena KPK dan pihak Juliari tidak mengajukan banding, secara otomatis putusan pengadilan negeri ini sudah berkekuatan hukum tetap. KPK tinggal mengeksekusi Juliari ke lembaga pemasyarakatan untuk menjalani hukuman tersebut.

Terdakwa mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara, mengikuti sidang pembacaan surat amar putusan, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, secara daring, dari gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 23 Agustus 2021. TEMPO/Imam Sukamto

Kurnia menanggapi sikap KPK ini. Ia mengatakan jaksa KPK tidak cermat dalam merumuskan tuntutan karena hanya menuntut 11 tahun penjara. Padahal jaksa KPK dapat menuntut hukuman maksimal, yaitu penjara seumur hidup atau maksimal 20 tahun. 

Selain itu, Kurnia menyoroti pertimbangan hakim yang meringankan Juliari. Yaitu, bahwa Juliari dinilai sudah cukup menderita karena mendapat cacian, hinaan, dan makian dari masyarakat. Tapi Kurnia menganggap pertimbangan hakim dalam vonisnya ini seharusnya menjadi dasar jaksa KPK untuk mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. 

Kurnia mencurigai alasan KPK tidak mengajukan banding justru untuk melindungi sejumlah nama yang hilang dalam proses persidangan kasus korupsi bantuan sosial Covid-19 tersebut. Nama dua politikus PDI Perjuangan, Herman Hery dan Ihsan Yunus--keduanya anggota Dewan Perwakilan Rakyat—tidak muncul dalam tuntutan jaksa terhadap Juliari. Padahal keduanya disebut-sebut mendapat kuota jumbo bantuan sosial Covid-19. 

Seorang saksi di pengadilan menyebutkan bahwa Herman pernah mengajukan komplain kuota bantuan sosial perusahaannya dikurangi oleh Kementerian Sosial. Meski Ketua Komisi Hukum DPR itu disebut dalam persidangan, ia tak pernah dihadirkan di pengadilan. Herman juga tidak pernah diperiksa dalam penyidikan perkara Juliari. 

Peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, juga menyayangkan sikap KPK yang tak mengajukan banding. Padahal pertimbangan hakim yang menjatuhkan vonis terhadap Juliari sarat dengan kejanggalan. “Terutama tentang keringanan hukuman karena Juliari sudah dicerca. Ada simpati hakim terhadap koruptor dibanding kepada masyarakat yang merugi akibat korupsi,” kata Zaenur.

Dalam perkara korupsi bantuan sosial ini, dua anak buah juga dijadikan tersangka, yaitu Adi Wahyono dan Matheus Joko Santoso--keduanya pejabat pembuat komitmen. Keduanya divonis masing-masing 7 dan 9 tahun penjara, kemarin. Majelis hakim juga mengabulkan status keduanya sebagai justice collaborator dalam kasus korupsi bansos Covid-19 ini. Dua penyuap Juliari, yaitu Harry Van Sidabukke dan Ardian Iskandar Maddanatja, lebih dulu divonis bersalah. Keduanya dihukum masing-masing 4 tahun penjara. 

ANDITA RAHMA | INDRI MAULIDAR 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus