Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi sedang menggodok pedoman penuntutan terhadap para terdakwa kasus korupsi. Komisioner KPK, Nurul Ghufron, mengatakan pedoman ini ditujukan untuk mencegah terjadinya kesenjangan tuntutan pidana perkara. Menurut dia, pedoman ini tidak hanya memberikan keadilan untuk terdakwa, namun juga memberikan keadilan kepada masyarakat dan negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nurul Ghufron menuturkan mekanisme penyusunan pedoman ini dilakukan dengan mengevaluasi tuntutan-tuntutan terdahulu dan putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap atau inkrah. Putusan hakim yang telah inkrah akan disistematisasi terlebih dulu, kemudian KPK akan mengundang pakar untuk mendengarkan masukan dari mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagi Nurul Ghufron, penyusunan pedoman ini merupakan langkah dalam memberikan keadilan hukuman, sejak tahap penuntutan, agar tidak terjadi disparitas antar-perkara dalam putusan yang dijatuhkan hakim. Ia menyampaikan belum dapat memberitahukan formulasinya seperti apa. Namun pertimbangannya akan mengacu pada kriteria tuntutan tindak pidana korupsi KPK selama ini.
Menurut Nurul Ghufron, tuntutan tindak pidana korupsi di KPK kriterianya didasarkan pada jenis tindak pidananya, kerugian negara atau besaran suap, dampak tindakan korupsi, posisi atau kedudukan terdakwa, dan apakah terdakwa seorang residivis atau tidak. "Ini yang akan kami pertimbangkan, namun seberapa presentasi atau pengindeks masing-masing komponen masih kami bahas," ujar dia.
Pelaksana tugas juru bicara KPK, Ali Fikri, mengatakan adanya disparitas masih merupakan masalah dalam penanganan perkara. Disparitas merupakan ketidaksetaraan hukuman di antara kejahatan yang serupa dalam kondisi atau situasi serupa. Ia menambahkan, adanya hubungan erat antara tuntutan pidana dan putusan hakim membuat pedoman penuntutan ini sebagai standardisasi tuntutan pidana menjadi penting.
Ali menjelaskan pedoman tersebut merupakan dasar pertanggungjawaban penuntut umum dalam menentukan berat atau ringannya tuntutan pidana, baik kepada pribadi, masyarakat, terdakwa maupun Tuhan. Ia mengimbuhkan, pedoman tuntutan pidana bukan upaya untuk mengkalkulasi keadilan secara matematis, melainkan sebagai upaya mencari dasar-dasar rasionalitas dalam penuntutan. "Sehingga akan meringankan beban penuntut umum," ucap dia saat dihubungi Tempo, kemarin.
Peneliti dari Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, mengatakan pedoman penuntutan ini memang sangat penting, mengingat tuntutan di pengadilan yang masih rendah dan adanya disparitas tuntutan di pengadilan antara satu perkara dan lainnya. Dengan adanya pedoman ini, kata dia, diharapkan ada pedoman untuk tiap kasus korupsi dan juga tuntutan yang diajukan oleh KPK.
Kurnia menilai KPK, sebagai garda terdepan dalam pemberantasan korupsi, pasti akan menjadi acuan bagi penegak hukum lain seperti Kejaksaan Agung. "Kejaksaan Agung pasti mengacu ke KPK untuk urusan tindak pidana korupsi. Kalau masih banyak disparitas, KPK tak lagi menjadi leading sector dan percontohan," tutur dia, kemarin.
ICW berharap KPK dan Kejaksaan Agung memanfaatkan dengan baik pedoman penuntutan saat menangani terdakwa korupsi. Apalagi, pedoman penuntutan termasuk sebagai salah satu poin di program Strategi Nasional Pencegahan Korupsi. Mereka menilai langkah ini sebagai cara agar di masa mendatang penuntutan yang dilakukan penegak hukum bisa berorientasi pada penjeraan pelaku korupsi.
Selain itu, ICW mengusulkan kepada Ketua Mahkamah Agung untuk menyusun pedoman pemidanaan agar setiap hakim dapat memiliki standar tertentu saat memutus perkara korupsi. "Ini bisa jadi gebrakan Ketua MA baru," ujar Kurnia.DIKO OKTARA
KPK Menyusun Pedoman Penuntutan Pidana Korupsi
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo