Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

KPK Telusuri Aliran Suap ke Partai Golkar

Duit proyek digunakan Fayakhun sebagai dana pemenangan untuk menjadi Ketua DPD Golkar DKI Jakarta.

17 Mei 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
KPK Telusuri Aliran Suap ke Partai Golkar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi menelusuri dugaan aliran uang suap pembahasan anggaran dua proyek Badan Keamanan Laut (Bakamla) ke Partai Golkar. Hal ini menjadi dasar keputusan penyidik KPK untuk memanggil dan memeriksa sejumlah politikus Golkar sebagai saksi kasus korupsi pada proyek senilai Rp 1,2 triliun tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Juru bicara KPK, Febri Diansyah, menyebutkan pemeriksaan itu berkaitan dengan mantan anggota Komisi Pemerintahan Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Golkar, Fayakhun Andriadi, yang diduga menerima suap hingga Rp 12 miliar. "Iya, benar," Febri mengungkapkan, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kasus suap Bakamla bermula saat KPK menggelar operasi tangkap tangan pada Desember 2016. Dalam sidang para terpidana, sejumlah saksi dan barang bukti menunjukkan duit suap proyek tersebut juga mengalir ke sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat, termasuk Fayakhun. KPK telah mencegah Fayakhun dan Managing Director PT Rohde and Schwarz Indonesia, Erwin Arif, ke luar negeri sejak 20 Juni 2017.

Tindakan ini didasarkan pada fakta persidangan tentang komunikasi Erwin dan Fayakhun ihwal pengiriman uang suap. Dalam komunikasi tanggal 4 Mei 2016, Fayakhun meminta Erwin untuk segera mengirimkan uang fee sebesar US$ 300 ribu dengan klaim keperluan musyawarah nasional luar biasa Partai Golkar. Adapun sisa fee senilai US$ 600 ribu diminta ditransfer ke rekening JP Morgan Chase Bank, New York, Amerika Serikat.

Fayakhun sendiri diduga menjadi salah satu pendukung mantan Ketua Umum Partai Golkar, Setya Novanto, dalam Munaslub di Bali, Mei 2016. Tapi Setya, yang menjadi terpidana kasus korupsi proyek kartu tanda penduduk berbasis elektronik, justru membantah telah menerima uang dari Fayakhun. "Nama saya sering disebut-sebut. Jahat juga," kata Setya.

Politikus Golkar yang masuk dalam daftar pemeriksaan KPK adalah Bendahara Dewan Pimpinan Pusat Yoris Raweyai, Wakil Ketua Bidang Perekonomian Dewan Pimpinan Daerah DKI Jakarta Sugandhi Bakrie, Sekretaris DPD DKI Jakarta Basri Baco, dan Ketua DPD Jakarta Utara Olsu Babay.

Yorrys mengaku mendapat pertanyaan dari penyidik KPK tentang dugaan pemberian uang Rp 1 miliar dari Fayakhun. Menurut dia, Fayakhun mengatakan kepada penyidik telah memberikan uang suap proyek Bakamla ke sejumlah politikus Golkar. Dia mengatakan uang tersebut bukan ditujukan untuk pemenangan Setya pada Munaslub Partai Golkar, melainkan untuk pemenangan Fayakhun dalam pemilihan Ketua DPD DKI Jakarta Partai Golkar, April 2017.

"Secara logika tak mungkin. Saya tanya uangnya berupa apa, rupiah atau dolar, diberikan kepada siapa. Tak ada yang tahu," kata Yorris. Fayakhun sendiri tak pernah berkomentar banyak mengenai peran dirinya dalam kasus suap proyek Bakamla. Tapi dia justru mengajukan diri sebagai justice collaborator kepada KPK, dan meminta perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Kepada LPSK, Fayakhun mengklaim ingin mendapat rasa aman selama membantu mengungkap aliran uang proyek tersebut di parlemen. "(Pemberian perlindungan) itu domain LPSK, KPK hanya memfasilitasi," kata juru bicara KPK, Yuyuk Andriati Iskak.

Sebelumnya, Fayakhun pernah berkomentar tentang penetapan dirinya sebagai tersangka, Februari lalu. "Nanti biar itu melalui proses hukum saja. Aku no comment," ujar dia. FRANSISCO ROSARIANS | AJI NUGROHO


Baru Bakamla dan Swasta

Komisi Pemberantasan Korupsi mengatakan sebuah kasus korupsi proyek dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara selalu melibatkan tiga kelompok pelaku, yaitu eksekutif, legislatif, dan swasta. Dalam kasus korupsi dua proyek Badan Keamanan Laut dengan nilai proyek Rp 1,2 triliun ini, KPK baru menyeret pelaku dari dua kelompok ke pengadilan, yaitu eksekutif dan pihak swasta. KPK menetapkan satu tersangka dari parlemen yang diduga berperan dalam pembahasan anggaran. Mereka yang sudah dijerat hukum adalah:
1. Eko Susilo HadiMantan Deputi Bidang Informasi, Hukum, dan Kerja Sama Bakamlaini menerima suap dari Fahmi Darmawansyah, bos pemenang tender PT Melati Technofo Indonesia. Ia divonis 4 tahun 3 bulan penjara.
2. Fahmi DarmawansyahFahmi pemilik PT Merial Esa Indonesia dan PT Melati Technofo Indonesia yang mengikuti proses lelang dua proyek Bakamla. Dia terbukti menyuap sejumlah pejabat Bakamla. Divonis 2 tahun 8 bulan penjara.
3. Hardy StefanusBawahan Fahmi di PT Melati Technofo Indonesia yang berperan sebagai pengantar uang suap. Divonis 1 tahun 6 bulan penjara.
4. Muhammad Adami OktaAnak buah Fahmi di PT Melati Technofo Indonesia. Ia bersama Hardy menyerahkan uang suap kepada pejabat Bakamla. Divonis 1 tahun 6 bulan penjara.
5. Laksamana Pertama Bambang UdoyoDirektur Data dan Informasi Bakamla. Dalam kasus ini, Bambang ikut menandatangani kontrak pengadaan satelit monitoring yang dimenangi PT Melati Technofo Indonesia. Dia juga menerima uang suap dari perusahaan itu sebesar Rp 1 miliar. Hakim menjatuhkan vonis 4 tahun 6 bulan penjara.
6. Nofel HasanKepala Biro Perencanaan dan Organisasi Bakamlaini disebut telah menerima hadiah dari PT Melati Technofo sekitar Sin$ 104.500 bersama Eko Susilo Hadi. Sampai saat ini, kasus Nofel belum disidangkan.

FRANSISCO ROSARIANS

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus