Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM video yang diunggah di jejaring sosial YouTube pada Jumat dua pekan lalu, Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan Partai Demokrat yang dia pimpin tak akan bergabung ke kubu pendukung Prabowo Subianto ataupun Joko Widodo. Pernyataan tersebut sebenarnya lebih dulu disampaikan kepada dua tamu di kediamannya di Cikeas, Bogor, beberapa hari sebelumnya.
Mereka, Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie dan Wakil Ketua Umum Fadel Muhammad, bermaksud mengajak Demokrat bergabung ke koalisi Merah Putih, pendukung Prabowo pada pemilihan presiden. Aburizal mengajak Demokrat bersekutu di parlemen mendatang. Ketika Merah Putih pada Juli lalu mendeklarasikan koalisi berlanjut hingga ke Senayan, Demokrat satu-satunya penyokong Prabowo yang tak menghadiri acara itu.
Menurut Fadel, Yudhoyono langsung menampik ajakan tetamu. "Pak SBY menyatakan ingin menjadi kekuatan penyeimbang," Fadel menceritakan pertemuan itu, Selasa pekan lalu.
Setelah pemilihan presiden lewat, Demokrat tetap menjadi rebutan dua kutub koalisi. Masing-masing ingin menjadi pemimpin di Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam undang-undang yang baru, Ketua DPR dipilih anggota lembaga itu. Pemenang pemilihan umum tak otomatis mendapatkan kursi tersebut. Karena itu, kedua blok koalisi berebut suara Demokrat.
Agresifnya Golkar mendekati Demokrat didorong kesepakatan di antara partai pendukung Prabowo. Mereka bermufakat menyorongkan Golkar sebagai pemimpin koalisi di parlemen. Dengan begitu, Ketua DPR menjadi jatah partai beringin. Partai lain kebagian empat posisi Wakil Ketua DPR. Salah satu kursinya diproyeksikan untuk Wakil Ketua Umum Gerindra Fadli Zon.
Pada pemilihan legislatif, Golkar merebut 91 kursi, paling banyak di antara partai pengusung Prabowo. Bersama Gerindra, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Amanat Nasional, aliansinya memiliki 292 kursi—lebih dari separuh kursi di parlemen. Mengamankan posisi Ketua DPR, Golkar perlu menjaga mayoritas kursi. Demokrat dibutuhkan apabila sewaktu-waktu ada partai yang menyeberang ke kubu Jokowi. Imbalannya, menurut seorang politikus Golkar, Demokrat bakal diberi posisi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Fadli Zon menyebutkan partai pendukung Prabowo memang bersepakat memelihara koalisi hingga di parlemen. Ihwal jatah Ketua DPR, kata Fadli, baru akan dibicarakan setelah sidang sengketa hasil pemilihan presiden di Mahkamah Konstitusi kelar.
Walau pemilihan pemimpin DPR baru dilakukan pada awal Oktober nanti, Golkar sudah menjaring tiga nama: Fadel Muhammad, Setya Novanto, dan Ade Komaruddin. Semula ada empat orang, tapi Nusron Wahid dicoret setelah partai memecatnya karena dia mendukung Jokowi.
Mereka dianggap memenuhi tiga kriteria yang ditetapkan partai. Pertama, calon merupakan pengurus partai. Kedua, pernah menjabat di pemerintahan atau di parlemen. Terakhir, memperoleh suara tertinggi pada pemilihan legislatif.
Fadel, Setya, dan Ade pengurus Golkar di pusat. Fadel duduk sebagai wakil ketua umum, Setya sebagai bendahara umum, sedangkan posisi Ade adalah ketua bidang kesehatan dan lingkungan hidup. Dari segi pengalaman, Ade dan Setya merupakan anggota DPR periode 2009-2014. Adapun Fadel pernah menjabat Gubernur Gorontalo dua periode serta Menteri Kelautan dan Perikanan.
Fadel meraup sekitar 163 ribu suara di daerah pemilihan Gorontalo, terpaut sekitar 4.000 dari Ade, yang memperoleh 167 ribu suara di daerah pemilihan Jawa Barat VII. Sedangkan Setya dipilih sekitar 70 ribu orang di Nusa Tenggara Timur II. Suara mereka sebenarnya kalah dibanding Nusron Wahid, yang memperoleh 243 ribu.
Fadel membenarkan namanya masuk kriteria itu. "Pembicaraan tersebut ada," ucapnya. Tapi, kata dia, hal itu belum dibicarakan di rapat pleno pengurus partai. Ade Komaruddin tak mau mengomentari bursa nama yang beredar. "Itu kewenangan penuh Ketua Umum Golkar," ujarnya.
Anton Septian, Kartika Candra, Riky Ferdianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo