Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bagaimana Sebaiknya Melawan ISIS

18 Agustus 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sidney Jones*

ADA empat titik penting tentang perkembangan Negara Islam di Irak dan Suriah atau ISIS di Indonesia. Sebaiknya hal itu ditanggapi dengan menyusun strategi melawannya.

Pertama, dukungan untuk ISIS di sini tidak dimulai dengan pengumuman khilafah pada 1 Ramadan, apalagi dengan penyebaran video yang menjadi berita heboh baru-baru ini. Sudah satu tahun lebih organisasi radikal di sini secara terbuka mencari dana dan merekrut anggota.

Kedua, ISIS di sini didukung oleh hampir semua kelompok radikal yang masih mau melakukan amaliyah atau operasi jihad. Meskipun begitu, tidak berarti bahwa semua yang ikut upacara baiat yang diselenggarakan selama bulan puasa adalah teroris. Ketiga, meskipun kegiatan ISIS di sini cukup memprihatinkan, bahaya lebih besar mungkin akan muncul dari para mujahidin Indonesia yang pulang setelah bertempur di Suriah dan Irak.

Keempat, tidak semua orang Indonesia yang berjihad di Suriah bergabung dengan ISIS. Banyak juga yang masuk dua kelompok pesaing, yakni Ahrar al-Sham dan Jabhat al-Nusra. Kelompok ini memang tidak sekeras ISIS dan lebih berfokus melawan Bashar al-Assad, tapi mereka juga bisa menjadi ancaman ke depan.

Pemerintah—baik yang akan berakhir maupun yang akan datang—seharusnya menyusun kebijakan. Bukan hanya untuk menghadapi ISIS sekarang, melainkan buat menyiapkan kepulangan mujahidin dari kelompok mana pun dalam dua-tiga tahun yang akan datang. Ada—mungkin mayoritas—yang akan kembali ke kehidupan sebelumnya walaupun dengan trauma perang. Tapi pasti juga ada segelintir yang berpotensi menjadi teroris.

Pendukung ISIS di sini terdiri atas sebagian besar jaringan teror yang masih aktif, termasuk Mujahidin Indonesia Timur pimpinan Santoso, eks kombatan Poso yang juga merangkul suatu kelompok DI/NII di Makassar. Lalu Mujahidin Indonesia Barat—sempalan dari jaringan Abdullah Umar, yang ditangkap pada 2011. Lainnya adalah pengikut Ustad Aman Abdurrahman alias Abu Sulaiman, yang sekarang ditahan di Nusakambangan. Ada juga organisasi Jamaah Ansharut Tauhid, termasuk Abu Bakar Ba'asyir—walaupun sebagian besar anggota jemaah ini tidak setuju dan sudah membentuk organisasi baru, yakni Jamaah Ansharut Syariah.

Sebagian besar dari kelompok ini, walaupun kadang-kadang dengan nama berbeda, terlibat dengan mendirikan, mendanai, atau mengikutsertakan anggotanya dalam kamp latihan yang dibongkar polisi di Aceh pada 2010. Tapi, sebagai indikasi betapa soal ISIS bisa memecah belah, adalah menjauhnya salah satu konseptor kamp Aceh, Lutfi Haidaroh alias Ubaid. Terpidana yang sekarang menghuni penjara Cipinang ini sudah menjauhkan diri dari teman-teman pro-ISIS dan secara terbuka mendukung Jabhat al-Nusra. Rupanya, ISIS dilihat terlalu takfiri.

Kubu-kubu di antara para napi teroris juga harus menjadi alasan keprihatinan. Yang paling militan dan paling tidak kooperatif di antara mereka pada umumnya berpihak kepada ISIS. Sebagaimana diketahui, 23 tahanan di penjara Nusakambangan pernah berbaiat kepada pemimpin ISIS, Al-Baghdadi, pada pertengahan Juli. Pejabat lembaga pemasyarakatan terkejut setelah membaca berita dan melihat foto acara itu di Internet.

Sebelumnya, pada 2 Ramadan, seorang tahanan lain yang lebih berpengaruh daripada Ba'asyir juga berbaiat secara online dalam pernyataan yang diedarkan melalui blog miliknya, millahibrahim.wordpress.com. Dia juga menerjemahkan pengumuman khilafah oleh Al-Baghdadi di Mossul dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia dan diposkan pada laman yang sama.

Di samping kelompok teroris ini, ada satu grup yang mensponsori sebagian besar upacara baiat ISIS di Indonesia, yang menamakan diri Faksi atau Forum Aktivis Syariat Islam. Salah satu anggotanya bekerja sebagai Pemimpin Redaksi Al Mustaqbal.net, situs pro-ISIS yang baru ditutup. Baik Faksi maupun Al Mustaqbal berafiliasi dengan organisasi internasional Al-Muhajiroun, yang didirikan Omar Bakri. Ia pernah mengunjungi Jakarta pada Maret 2013. Pada saat itu, dia menjadi penceramah dalam "Multaqod Da'wiy" yang ketiga di Masjid Fathullah, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Ciputat.

Satu narasumber lain pada saat itu adalah dai muda bernama Bahrumsyah, yang kemudian muncul dalam video Join the Ranks, yang mengundang orang Indonesia berjihad dengan ISIS di Suriah. Februari lalu, Faksi berhasil mengumpulkan hampir Rp 42 juta untuk ISIS pada acara di masjid yang sama. Pada 16 Maret, Bahrumsyah memimpin demo pro-ISIS di Bundaran Hotel Indonesia.

Bahrumsyah berangkat ke Suriah beberapa pekan kemudian. Pada 6 Juli, organisasi yang sama melakukan "Multaqod Da'wiy" ketujuh, juga di masjid UIN, yang berakhir dengan baiat kepada Al-Baghdadi. Pertanyaannya: apakah pemerintah tidak punya informasi atau alat hukum untuk memantau, mengingatkan, atau menangkap orang seperti Bahrumsyah jauh sebelum dia ke luar negeri?

Yang susah diketahui adalah berapa peserta dalam acara baiat ini mungkin akan mencoba berkomunikasi atau berangkat ke Suriah. Atau berapa orang yang mungkin akan tertarik bergabung dengan kelompok di Indonesia yang mau melanjutkan perjuangan ISIS di negeri ini. Sebagian besar tentu datang karena ingin tahu saja. Namun inti dari ISIS di Indonesia adalah orang-orang yang tetap ingin melakukan "amaliyah". Sasaran mereka, sebagai ISIS di sini, bisa pemerintah yang menolak penerapan syariat Islam secara formal; kepentingan Amerika Serikat dan sekutunya karena Obama yang menyetujui pengeboman udara terhadap ISIS di Irak; kelompok nonmuslim atau muslim yang dicap kafir, seperti komunitas Syiah; atau—tapi kemungkinannya tidak besar—kelompok jihad pesaing.

Masalah lebih rumit akan terjadi sewaktu para mujahidin Indonesia di Suriah dan Irak—yang jumlahnya bisa melebihi 100 orang atau 56 nama menurut Kepala Kepolisian RI—kembali ke Indonesia. Pengalaman bertempur, latihan dan pengetahuan kesenjataan, hubungan internasional, serta komitmen ideologi mereka lebih mendalam. Sebagian besar pelaku teror dalam dua tahun belakangan ini gagal karena tidak punya semua hal itu. Indonesia rupanya punya "suplai" tanpa batas. Di antara yang pulang dari Suriah akan bisa ditemui kepemimpinan dan keahlian mumpuni yang hilang sejak kematian Noor Din M. Top.

Penting juga untuk mengakui bahwa risiko bisa datang bukan hanya dari pendukung ISIS, melainkan juga dari kelompok lain. Walaupun kelihatannya moderat dibandingkan dengan ISIS, Ahrar al-Sham dan Jabhat al-Nusra bukanlah kelompok yang suci. Kedua kelompok itu sangat anti-Syiah, antara lain karena mereka melihat perang di Suriah sebagai pembantaian Sunni oleh Syiah. Ikatan Jabhat al-Nusra dengan Al-Qaidah mengindikasikan bahwa hal itu merupakan bagian dari jihad global, walaupun untuk sementara semua berfokus di Suriah dengan arah penggulingan Assad.

Untuk melawan ancaman ISIS dan kelompok lain, yang paling penting adalah data akurat. Penting sekali bahwa pemerintah bekerja sama erat dengan mitra mereka di Malaysia, Singapura, dan Filipina, yang warganya juga berjihad di Suriah. Beberapa orang Indonesia bahkan mengaku sebagai warga Malaysia untuk menyembunyikan identitas, sebagaimana dulu anggota Jamaah Islamiyah ke Afganistan mengaku sebagai warga Filipina. Sudah banyak pengalaman yang dibagikan lewat Facebook dan Twitter oleh orang Indonesia dan Malaysia yang berbahasa Indonesia atau Melayu.

Kapasitas Kedutaan Besar Republik Indonesia di Timur Tengah dan Asia Selatan mungkin perlu ditingkatkan. Terutama agar mahasiswa yang belajar di sana dan mungkin mau berangkat ke Suriah bisa dipantau atau diingatkan, dengan informasi dibagikan secara cepat di antara instansi yang berwenang di Jakarta. Direktur Jenderal Pemasyarakatan sedang memperbaiki kapasitas untuk memantau narapidana teroris. Tapi, seperti bisa dilihat pada acara baiat di Nusakambangan, masih banyak yang harus dilakukan.

Seorang analis terorisme, Richard Barrett, dalam makalah "Foreign Fighters in Syria", menyebutkan sangat penting pemerintah-pemerintah bertindak terhadap warganya yang pulang dari Suriah. Banyak yang berangkat karena rasa empati terhadap kesengsaraan dan keprihatinan kemanusiaan, tapi mereka justru bisa menjadi lebih radikal kalau dicurigai seperti teroris. Pada saat yang sama, usaha untuk mendokumentasikan siapa yang kembali juga penting. Sebagaimana Barrett mengatakan, "Penting untuk mengerti kenapa seorang mujahid berangkat ke Suriah, apa yang dilakukan di sana, apa yang terjadi kepadanya, dan kenapa dia pulang."

Peran media sosial juga penting untuk menyebarkan propaganda ISIS, baik di Indonesia maupun di negara lain. Peran perempuan, walaupun agak kurang diteliti, rupanya cukup besar. Bergabung dengan ISIS tak hanya dilakukan laki-laki. Dari Facebook, bisa dilihat bagaimana minat perempuan Indonesia juga sangat tinggi.

Pada akhirnya, apa saja yang bisa dilakukan pemerintah untuk menolak radikalisme secara umum dan ISIS secara khusus pada akar rumput mungkin lebih penting. Kabar baiknya, penolakan masyarakat Indonesia terhadap ISIS lebih kuat dan lebih luas daripada yang saya lihat dalam sepuluh tahun terakhir. l

*) Direktur Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus