Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kursi Panas Tuan Ambasador

Australia menunjuk Bill Farmer menjadi duta besar untuk Indonesia. “Dia rasis, tak pantas jadi duta besar,” kata Djoko Susilo, anggota Komisi I DPR.

25 Juli 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANGGOTA DPR Djoko Susilo punya kesibukan baru. Pekan lalu, politisi dari Partai Amanat Nasional ini getol melobi koleganya di Komisi I DPR. Djoko tengah menggalang dukungan untuk menolak Bill Farmer, calon Duta Besar Australia untuk Indonesia. Djoko menganggap Farmer, yang pernah menjadi menteri keimigrasian Australia, sebagai tokoh yang rasis. ”Sudah ada 15 anggota Komisi I DPR yang mendukung,” kata Djoko Susilo. ”Penolakan lebih besar akan mengalir.”

Aksi Djoko Susilo dipicu keputusan Australia untuk menempatkan Bill Farmer di pos barunya di Jakarta. Perdana Menteri Australia, John Howard, mengatakan Bill Farmer merupakan sosok yang pas untuk menjembatani kepentingan Australia dan Indonesia. John Howard mengaku sudah mendiskusikan rencana penempatan Farmer dengan pejabat Indonesia. Australia menganggap Indonesia sebagai ”pos sangat penting” yang menyita perhatian serius. Makanya, ”Saya memilih Farmer. Dia salah satu diplomat senior terbaik kami,” ujar John Howard, seperti dikutip kantor berita AFP.

Farmer, 61 tahun, memang bukan diplomat sembarangan. Peraih gelar master dari London School of Economics, perguruan tinggi terkemuka di Inggris ini, bergabung dengan Departemen Luar Negeri Australia sejak 1969. Beberapa pos penting yang pernah ia lewati antara lain duta besar di Meksiko (1987-1989), duta besar di Papua Nugini (1993-1995), dan duta besar di Malaysia (1996-1997). Sejak 2001, Farmer ditunjuk Perdana Menteri Howard menjadi Menteri Imigrasi & Masalah Multikultural dan Penduduk Asli.

Namun penempatan Farmer di Jakarta rupanya tak akan berlangsung mulus. Djoko Susilo, dan belasan anggota Komisi I DPR, akan mengeluarkan nota penolakan. Dalam catatan Djoko Susilo, selama menjadi menteri keimigrasian Australia, Farmer menerapkan kebijakan yang sangat bersifat rasis. Farmer dianggap bersikap buruk terhadap pendatang muslim dan Asia. Beberapa pendatang, yang kebetulan menyandang nama berbau Islam, kerap mengalami nasib buruk. Bahkan tak jarang para pendatang langsung dideportasi meskipun sudah mengantongi visa resmi.

Tak cuma itu. Farmer juga dinilainya berlebihan dalam menangani nelayan tradisional Indonesia yang ”kesasar” di perairan Australia. Sejak tahun 2004 tercatat 250 nelayan tradisional Indonesia yang ditangkap dan disekap oleh aparat imigrasi Australia. Penahanan para nelayan itu dituding kerap tanpa fasilitas dan suplai makanan yang memadai. Kontroversi bahkan sempat terjadi ketika Muhammad Heri, nelayan asal Nusa Tenggara Timur, pada April 2005 meninggal di tahanan dan dinyatakan terkena serangan jantung. ”Bill Farmer harus bertanggung jawab atas kematian beberapa nelayan tradisional Indonesia,” ujar Djoko Susilo.

Upaya Djoko dan beberapa anggota Komisi I DPR, yang membawahkan masalah luar negeri, mungkin akan menjadi ganjalan serius. Dalam Amendemen Undang-Undang Dasar 45, pasal 13 ayat 3, disebut: ”Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat”. Artinya, Presiden wajib mempertimbangkan masukan dari DPR dalam mengambil sikap tentang penerimaan Bill Farmer.

Apa reaksi Presiden? Juru bicara kepresidenan bidang luar negeri, Dino Pati Djalal, mengatakan pemerintah sedang memproses penempatan Bill Farmer. Dino mengaku Presiden telah menerima surat permohonan penempatan Farmer di Jakarta. Dino menganggap Farmer sebagai diplomat senior yang cukup baik. Bill Farmer dinilai sebagai tokoh yang akan mampu mempererat hubungan bilateral Indonesia dan Australia. Soal masukan DPR yang menyebut Farmer rasis, ”Kami tak bisa memberikan komentar,” ujar Dino Pati Djalal. ”Mengomentari (keburukan) calon duta besar adalah tindakan yang tak etis.”

Aksi menolak duta besar yang serupa sejatinya juga pernah terjadi di Australia. Letjen (Purn) H.B.L. Mantiri, misalnya, pada Juli 1995 gagal menjadi Duta Besar Indonesia untuk Australia karena penolakan lembaga swadaya masyarakat dan publik lokal. Media massa Australia menyebut Mantiri tak layak menjadi duta besar karena dianggap terlibat tragedi Santa Cruz, Timor Timur, pada 1991. Akhirnya, demi menjaga hubungan kedua negeri bertetangga, Menteri Luar Negeri Ali Alatas ketika itu membatalkan pengangkatan bekas Kepala Staf Umum ABRI itu sebagai duta besar di Canberra. ”Kita lebih mengutamakan hubungan baik antara Indonesia dan Australia,” kata Ali Alatas, ketika itu.

Belum jelas apakah Bill Farmer akan jadi menempati pos barunya di Jakarta, atau seperti H.B.L. Mantiri yang gagal jadi duta besar akibat penolakan publik lokal.

Setiyardi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus