SEWAKTU Rosidun menanami sawahnya dengan jeruk, tetangganya mencemooh. Menanam jeruk dinilai hana membuang-buang waktu. Selain belum tentu tumbuh, kalaupun bisa panen harus menanti 2-3 tahun. Tapi keadaan kini berbalik. Di Kecamatan Juntinyuat, Indramayu, sekarang hampir semua penduduknya menjadi petani jeruk. "Penghasilan dari jeruk jauh lehih besar dibanding menanam padi," tutur Rosidun, 35, yang pernah enam tahun menjadi penarik becak di Jakarta. Bila ditanami padi, satu hektar sawah paling-paling menghasilkan Rp 2 juta. Begitu padi diganti dengan jeruk, penghasilan yang bisa dipetik melonjak sampai Rp 10 juta. Itu sebabnya Rosidun, yang tak tamat SD ini, tahun lalu dapat naik haji bersama istrinya. Ia juga mampu membangun rumah mentereng menurut ukuran desa, berkat 2 hektar lahan yang ditanami jeruk. Menurut catatan Dinas Pertanian Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, di Juntinyuat ada 4.000 hektar lahan sawah yang berubah menjadi kebun jeruk. Yang umumnya ditanam adalah jenis jeruk Siam, Cina licin, Siam-Mesir, Eter, dan Facencia lokal -- sejenis sunkist tapi warna kulitnya hijau. Demam jeruk juga terjadi di Kabupaten Simalungun dan Karo, Sumatera Utara. Di Karo, sedikitnya ada 1.000 hektar lahan yang ditanami jeruk, sedang di Simalungun ada 275 hektar. Pada areal ini tumbuh dengan subur sekitar 500.000 batang jeruk. Seperti di Indramayu, di sini jeruk memang lebih mendatangkan untung ketimbang padi. Bila lagi mujur, dari areal 1 hektar bisa dipungut uang belasan juta rupiah. "Jika ditanami padi, berapalah. Paling-paling hanya Rp 1 juta lebih hasilnya," ujar Ir. S. Munthe, Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Karo, kepada TEMPO. Di kedua kabupaten ini, tanaman jeruk memang terlihat dominan. Jeruk mulai ditanam penduduk pada 1980, ketika pasarannya kian membaik. Pihak Dinas Pertanian secara tak langsung ikut pula merangsang adanya demam jeruk, lewat penyuluhan dan bimbingan yang diberikan. Kemakmuran memang terlihat sudah menyentuh petani jeruk ini. Di Desa Tanjungbarus, Karo, misalnya, kini banyak penduduk yang memiliki kendaraan roda empat. Saat panen, mobil itu sarat dimuati jeruk. Tak sedikit pula petani jeruk yang mampu menyekolahkan anaknya sampai ke perguruan tinggi di kota besar. Itu mungkin yang mendorong petani di Cilacap, Jawa Tengah, ikut tergiur bertanam jeruk. Di Kecamatan Maos, sedikitnya terdapat 210 hektar lahan yang ditanami jeruk dengan sistem tumpangsari. Artinya, pada jarak-jarak tertentu di sawah dibuat gunakan tanah setinggi 0,5 meter. Di situlah, di sela-sela tanaman padi, jeruk ditanam. Sayang, kondisi tanah di sini agaknya tak begitu cocok. Supardi dari Desa Penisihan mengaku hanya sempat dua kali memanen jeruk di atas lahannya seluas 0,5 hektar. Hasilnya pun tak seberapa. Dari 7 kuintal jeruk yang buahnya tak kelewat besar dan kurang manis, "Saya cuma kebagian Rp 70.000." Menurut S. Karsan, pejabat di Dinas Pertanian Indramayu, memang tak semua lahan cocok ditanami jeruk. Tanaman ini umumnya hanya bisa tumbuh subur pada lahan yang kedalaman tanahnya 1-2 meter dan di bawahnya ada lapisan pasir. Tanah itu sekaligus harus mempunyai kandungan pH 5-7. Sebab itu, meski di Indramayu banyak yang mencoba mengelak menanam padi Karsan tak khawatir. Sebab, setelah mencoba menanam jeruk dan hasilnya kurang bagus, mereka akan kembali menanam padi. Atau, seperti dikatakan Menteri Pertanian Ir. Achmad Affandi, bila semua berlomba bertanam jeruk, panenan tentu bakal melimpah. Harga jeruk terbanting, dan tentunya jadi tak menarik lagi untuk ditanam. Hingga, produksi beras pun tidak akan terancam. Laporan Aji A. Gofar, Amir S. Torong, Slamet Subagyo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini