EDDY Slamet lega. Sekarang ia sudah mulai lagi makan jeroan.
Setahun suntuk sejak 21 Juni 1978, Bupati Blitar itu pantang
makan nasi dengan lauk kegemarannya yang gurih itu. Kenapa? Ia
rupanya punya nazar tidak makan jerohan sampai pemugaran makam
Bung Karno selesai seluruhnya. Dan 21 Juni 1979 lalu, pemugaran
makam Bung Karno jadi diresmikan oleh Presiden Soeharto, tepat 9
tahun lebih sehari wafat Proklamator itu.
Presiden sendiri tidak menginap di Blitar. Setelah selesai
meresmikan makam, kembali ke Jakarta. Sedang keluarga Bung Karno
di Jakarta sejak semula sudah menyatakan tidak akan berangkat ke
Blitar. "Kita sejak dulu kan tidak ikut-ikut dengan soal
pemugaran itu. Dan kita tetap konsisten dengan sikap itu," kata
Guntur kepada TEMPO via telepon bulan lalu.
Pemugaran itu sendiri sudah rampung 100% pertengahan Mei lalu.
Bangunan itu tampak megah. Gapuranya yang dirancang berbentuk
candi Penataran, membuatnya jadi khas Jawa Timur. "Memang
diusahakan agar semuanya khas, bahkan khas Blitar," ujar Eddy
Slamet. Hampir semua detail bangunannya persis seperti rencana
semula. Hanya taman bunga yang rencananya terdiri dari mawar
merah dan melati putih bak bendera republik, warna putihnya tak
jadi dari melati tapi mawar.
Memang bisa difaham kalau dalam peresmian 21 Juni pun khalayak
berjubel. Cuma mereka tak mungkin bisa menikmati bangunan megah
makam Bung Karno itu. Kecuali orang tertentu, yang lain dilarang
masuk kompleks makam.
Bahkan untuk masuk kota Blitar pun, kecuali mobil para pejabat
tinggi, jangan berharap bisa lolos. Di saat-saat peresmian itu
khalayak ramai jalan kaki masuk kota. Lalulintas macet dan
hubungan darat pun putus. Karena itu Pemerintah Daerah sudah
menyediakan keperluan pokok seperti minyak supaya tidak terjadi
goncangan harga. Penduduk juga sudah dianjurkan menyediakan
kebutuhan pokok sehati-hari untuk selama 2 hari.
Malam sebelumnya, di rumah Ibu Wardoyo di jalan Sultan Agung
diselenggarakan pembacaan doa tablil. Tak kurang dari 40 ulama
terkemuka dari Jawa Timur hadir. Dan malam itu juga di halaman
rumah kakak Bung Karno itu dipergelarkan wayang kulit semalam
suntuk dengan lakon "Kresno Gugah." Dalangnya dalang muda dari
Sala, Ki Anom Suroto.
Lakon seperti itu sengaja dipilih. Seperti penafsiran Pak Kiran
-- dukun terkenal dari desa Sukosewu, Blitar-lakon itu
melambangkan "bangkitnya pikiran rakyat secara benar dalam
menilai siapa sebenarnya Bung Karno." Adalah Pak Kiran, satu di
antara sedikit orang, yang menjelang peresmian pemugaran itu
bebas keluar masuk makam yang tertutup rapat itu.
Seperti peringatan sewindu wafat Bung Karno tahun lalu, malam 21
Juni itu di kompleks rumah Ibu Wardoyo juga dipergelarkan
kesenian Bali oleh keluarga Bung Karno dari Pulau Dewata. Dan
peristiwa itu juga dimanfaatkan oleh dua pelukis Jember dengan
mereproduksi lukisan Bung Karno. Sudah sebulan mereka mengontrak
sebuah rumah penduduk yang dirubahnya jadi studio.
Ibu Wardoyo sendiri sudah 4 bulan tidak keluar rumah. Ia sakit.
"Tapi sekarang saya sudah agak sehat. Saya senang, justru
semakin dekat peresmian semakin sehat," katanya seminggu sebelum
peresmian. Ia memang sangat ingin hadir di makam pada saat
peresmian. Dan karenanya, kondisi kesehatannya sangat dijaga.
Dalam usia menjelang 81 tahun, Ibu Wardoyo memang terlalu sibuk
menerima banyak tamu tahun-tahun terakhir ini.
Akan halnya pengelolaan makam itu setelah diresmikan, Bupati
Eddy Slamet belum bisa menjelaskan. "Yang pasti, juru kuncinya
harus orang yang bisa 4 bahas: Inggeris, Perancis, Belanda dan
Jepang," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini