Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Buku Sudah Ditutup

13 juni'79 sebuah kapal kayu dn 0743 CA dengan penumpang 38 orang pengungsi Vietnam mendarat di Tanjung Pinang. Walaupun sudah ada keputusan 12 juni, pengungsi-pengungsi itu masih diterima juga. (nas)

23 Juni 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

3 Juni 1979. Sebuah kapal kayu bernomor DN 0743 CA, 16 ton, terumbang-ambing di tali sauhnya, beberapa ratus meter di depan dermaga pelabuhan Tanjungpinang. Di dek yang penuh kaleng kosong, keranjang jaring dan deretan pakaian lusuh yang berkibar terdapat 38 manusia, di antaranya 10 anak-anak dan 10 wanita. Seorang perempuan separuh baya tampak mengerang dan menekan-nekan perutnya. Lapar? Bukan. Janin yang dikandungnya rupanya sedikit memberontak. Di bibir kapal, beberapa anak-anak menopang dagu memandang sayu ke daratan. Di sisi lain beberapa pria dan wanita menimba air laut untuk mengguyur tubuh. Asap kecil tampak mengepul dari arah buritan yang dijadikan dapur. Di tenda terpal yang menutup bagian belakang kapal terbaca tulisan: Please, Help Us. We are Refugees (Tolonglah kami. Kami Pengungsi). Siang itu, Nguyen Ngoc Xuang dan 37 orang isi kapal itu yang terdiri dari 9 keluarga -- semuanya Vietnam asli -- hampir menangis karena tidak diperkenankan mendarat dan harus pergi. Pemerintah Indonesia sejak 12 Juni menolak kedatangan pengungsi baru. "Ke mana lagi kami harus pergi? Air tinggal untuk 2 hari. Semua beras sudah habis. Apa ada negara lain di sekitar sini yang bisa dicapai dengan kapal sekecil ini?", tanya Xuan beriba-iba. Xuan (35 tahun), bekas petugas di menara pengawas lapangan terbang Dhanang menjadi pemimpin rombongan ini. Sesudah 16 hari berlayar, pada 9 Juni lalu mereka tiba di perairan Singapura. Tapi sejumlah kapal perang segera mengepung dan menghalau mereka ke luar batas perairan. "Teruslah ke selatan, cuma beberapa jam saja. Di sana ada Indonesia yang mau menerima dan menyediakan pulau khusus untuk mengungsi," begitu Xuan mengutip anjuran petugas Singapura yang mencegat mereka. akhirnya 11 Juni mereka tiba di Tanjungpinang setelah menyusuri pulau-pulau. Ketemu dengan kapal patroli Indonesia? "Tidak. Dan ternyata Indonesia baik," jawab Xuan. Kedatangan rombongan ini membuat repot Tim Penanggulangan Pengungsi Vietnam di Tanjungpinang. Setelah ditimbang-timbang, diputuskan bahwa Xuan dkk terpaksa diterima. "Habis sudah terlanjur. Dan mereka pun masuk sebelum 12 Juni," kata M. Mukhtar Hadi, Kepala Subdit Sospol Pemda Kepulauan Riau. "Tapi ini yang terakhir. Seterusnya stop. Ini sudah kebijaksanaan pusat," tambahnya. Urusan penempatan Xuan belum lagi selesai, muncul lagi berita lewat SSB dari Natuna. Pagi jam 02.00 pada 14 Juni lalu muncul 400 pengungsi baru yang mendarat di sekitar Tarempa. Rombongan yang memakai 2 kapal kecil ini ternyata luput dari intaian patroli hingga lolos. Apakah mereka akan diusir? "Tunggu dululah. Pokoknya buku sudah ditutup dan mereka sudah tidak masuk daftar lagi," jawab Muchtar mengelak. Tampaknya para pejabat setempat menunggu petunjuk lebih lanjut dari keputusan pemerintah 12 Juni lalu yang baru mereka ketahui lewat radio dan koran. Yang juga belum jelas adalah peningkatan armada dan patroli dalam "Operasi Halilintar" yang ditugaskan mengempang pengungsi dan penyelundup di Riau. Menurut sumber TEMPO di Tanjungpinang, operasi ini tampaknya merupakan peningkatan daya guna kekuatan yang ada. Sebab sejumlah fregat, kapal patroli cepat, pesawat Nomad dan armada lainnya yang di Jakarta dikatakan akan merupakan kekuatan "Operasi Halilintar" ternyata merupakan satuan Keamanan Laut yang selama ini sudah berfungsi dalam tugas operasi "Natuna Jaya." Cerita pengungsi Vietnam adalah cerita kesedihan dan derita. Ada cerita tentang dua gadis kakak beradik yang berenang 2 hari 2 malam melawan angin dan ombak sebelum berhasil mencapai mercu suar di pulau Mangkai setelah kapal mereka pecah dan menenggelamkan 43 kawan dan keluarga mereka. Konon hanya mereka berdua yang selamat karena mereka adalah atlit renang yang lumayan prestasinya dari Saigon. Beberapa ibu di Tanjungpinang menangis terisak-isak ketika beberapa waktu lalu menyaksikan 182 pengungsi terjun ke laut waktu kapal mereka merapat ke pantai dengan sejumlah wanita menggendong bayi dan anak. Tangis dan teriakan bergalau menjadi satu. "Bagaimana kalau itu terjadi pada kita?" seorang ibu bertanya. Namun rasa iba itu bisa tersentak kalau melihat keadaan desa atau kota yang menampung. Seperti Letung, kecamatan di kepulauan Riau yang penduduknya 3000 orang. Kota menjadi kotor. Bau kotoran dan sampah menyemerbak ke mana-mana. Untuk mengatasi kekurangan tempat penampungan, para pengungsi mendirikan sendiri tempat penampungan mereka dengan menebangi pohon kelapa dan cengkeh penduduk setempat. BANYAK penduduk yang mengeluh dan protes. Tiga penduduk Letung sudah mengadu pada Bupati atas kerugian harta benda mereka. Mereka menuntut ganti rugi Rp 5 juta lewat DPRD Kepulauan Riau. "Ya, mereka minta tolong, kita cobalah," kata Jakfat Uda, anggota DPRD dari fraksi Karya Pembangunan. Bupati Firman Eddy mengakui telah menerima pengaduan ini. Tapi dari mana uang ganti rugi itu dikorek? "Kalau pihak UNHCR mau, syukurlah," katanya pada koresponden TEMPO Rida K. Liamsi. Di samping keluhan harga barang kebutuhan yang melangit setelah datangnya pengungsi, banyak juga penduduk yang menikmati rejeki. Di Letung misalnya, karena terbatasnya fasilitas penampungan, satu kamar hisa berharga Rp 15 ribu per bulan kalau disewakan pada pengungsi. Ada lagi sisi gelap dari kedatangan mereka. Beberapa pengungsi di tempat penampungan Air Raja dan Tanjung Unggat terpaksa dimasukkan sel tahanan karena mencuri. Fasilitas yang minim juga mempersubur pefiyakit. Di Jemaja kini sedang berjangkit muntah berak yang cepat menyebar. Puskesmas di Letung dan Jemaja sudah mulai kewalahan karena banyaknya pengungsi yang harus dirawat. "Rata-rata per hari sampai 200 orang," keluh seorang petugas Puskesmas Tarempa. Sementara pengiriman obat dari kabupaten sering lambat karena sulitnya hubungan. Maka Gubernur Subrantas pun tak sabar lagi. Para pengungsi ini ingin segera dipindahkannya ke pulau Galang. "Daripada penduduk tambah kelabakan," ujarnya. Tapi bagaimana itu mungkin, karena Galang masih penuh dengan ilalang? "Biarkan mereka membangun sendiri. Kan selama ini pun mereka begitu," jawab Subrantas. Untuk biaya pengangkutan, Subrantas bahkan siap untuk menggunakan dulu anggaran propinsi. "Pokoknya asal PBB mau mengganti, kita bisa keluarkan dulu," katanya. Keputusan sudah bulat. Rombongan pertama sebanyak 1000 orang akan diberangkatkan 1 Juni. Mendadak muncul berita dari Jakarta Pemerintah akan segera melaksanakan pembangunan barak untuk penampungan sementara di pulau Galang. Rencana pemda jadi mentah. Sejumlah 300 pengungsi yang sudah siap diberangkatkan terpaksa dijejalkan di Tanjung Unggat menunggu barak-barak dibangun. Tapi nyatanya pembangunan belum juga dimulai. Baru 15 Juni ada kabar baru. Menlu Mochtar setelah bertemu wakil UNHCR Rajagopalan Sampatkumar mengatakan tempat penampungan pengungsi di Galang segera akan dibangun dan UNHCR akan mengirim 200 tenda. Tapi dari mana dana untuk pemindahan ini belum jelas. Pemda Kepulauan Riau sendiri tegas bertahan untuk tidak mengutak-atik APBD-nya untuk keperluan pengungsi. Yang dipakai hanya dana yan datang dari UNHCR. Hingga dari jatah AS$ 1,20 untuk tiap pengungsi, yang sampai untuk jatah makan mereka hanya sekitar Rp 300 sehari. Yang lain tercubit untuk biaya transpor, pendataan dan sebagainya. Sementara bantuan dari pusat ternyata belum pernah ada. Usaha memulaukan pengungsi ke satu tempat khusus dipandang jalan yang terbaik. Bukan saja untuk menyelamatkan penduduk dari gangguan pendatang ini, tapi juga untuk kebaikan pengungsi sendiri. Usaha memproses pengungsi selama ini seret karena berserak-seraknya mereka. Lebih 3000 pengungsi yang hidup berbulan-bulan di bawah gubug beratapkan daun kelapa dan ilalang di Pasir Merah Tarempa belum pernah terjamah petugas pemrosesan. Mereka hanya pernah menerima formulir isian keluarga dan data diri. Terbatasnya jumlah petugas dan sulitnya sarana perhubungan merupakan penyebab utama. Berdasar catatan di kantor Tim Penanggulangan Pengungsi di Tanjungpinang, dari lebih 31 ribu pengungsi, baru sekitar 25 ribu yang sudah diteliti. Selain kelompok keluarga, pendidikan, dicatat juga negara pilihan untuk menetap. Lebih dari 50% memilih Amerika Serikat. Mereka masih harus diproses 2 sampai 3 kali lagi, dan ini bisa memakan waktu bertahun-tahun. Misalnya saat ini masih ada 2000 pengungsi yang datang pada 1978 yang belum diberangkatkan ke negara penampung. Banyak yang frustrasi karenanya. Apalagi cara pemilihan penampung tidak jelas. Ada yang sudah tiba sejak 1978 belum diberangkatkan. Tapi ada juga yang belum sampai 3 minggu sudah diangkut. Yang tua kebanyakan kurang laku. Van Saeh (72 tahun) bulan lalu menggantung diri karena putus asa. Tidak ada satu negara pun yang bersedia menampungnya, padahal ia datang Mei 1978. Seorang kakek lain, Duong Hong (71 tahun) menangis ketika ditemui koresponden TEMPO. Sembari mengayun kampak membelah kayu api ia mengeluh: "Tidak ada negara yang mau menerima saya. Katanya saya sudah tua dan sakit-sakitan." Sejak Mei 1979 lalu, usaha pemberangkatan memang lebih ramai. Rata-rata sekitar 100 orang tiap minggu diberangkatkan ke Amerika Serikat. Dari tahun 1975 sampai pertengahan Juni 1979 baru 2017 yang ditampung di negara ketiga, termasuk 1183 pada tahun ini. Sedang pada saat yang sama, setengah tahun ini, masuk lebih dari 20 ribu pengungsi baru. Pusat pemrosesan pulau alang karena itu sangat diharapkan segera terwujud. Dengan adanya satu tempat khusus, diharapkan kerja para petugas akan lebih cepat dan gampang. Tidak seperti sekarang ini, harus merayap dari pulau ke pulau, dengan petugas dan sarana yang sangat terbatas. 48 orang pengungsi meninggal selama ini, sebagian besar ketika kapal yang mereka tumpangi untuk berbelanja ke Letung tenggelam. Sedang bayi yang lahir di tempat penampungan 82 orang. Mereka ini tidak mengalami derita pelayaran pengungsian di laut. Tapi di hadapan mereka masih tersusun tanda tanya yang menghantu. Sampai suatu negara berbelas hati dan memberi tempat berpijak baru.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus