3 Juni 1979. Sebuah kapal kayu bernomor DN 0743 CA, 16 ton,
terumbang-ambing di tali sauhnya, beberapa ratus meter di depan
dermaga pelabuhan Tanjungpinang. Di dek yang penuh kaleng
kosong, keranjang jaring dan deretan pakaian lusuh yang berkibar
terdapat 38 manusia, di antaranya 10 anak-anak dan 10 wanita.
Seorang perempuan separuh baya tampak mengerang dan
menekan-nekan perutnya. Lapar? Bukan. Janin yang dikandungnya
rupanya sedikit memberontak.
Di bibir kapal, beberapa anak-anak menopang dagu memandang sayu
ke daratan. Di sisi lain beberapa pria dan wanita menimba air
laut untuk mengguyur tubuh. Asap kecil tampak mengepul dari arah
buritan yang dijadikan dapur. Di tenda terpal yang menutup
bagian belakang kapal terbaca tulisan: Please, Help Us. We are
Refugees (Tolonglah kami. Kami Pengungsi).
Siang itu, Nguyen Ngoc Xuang dan 37 orang isi kapal itu yang
terdiri dari 9 keluarga -- semuanya Vietnam asli -- hampir
menangis karena tidak diperkenankan mendarat dan harus pergi.
Pemerintah Indonesia sejak 12 Juni menolak kedatangan pengungsi
baru. "Ke mana lagi kami harus pergi? Air tinggal untuk 2 hari.
Semua beras sudah habis. Apa ada negara lain di sekitar sini
yang bisa dicapai dengan kapal sekecil ini?", tanya Xuan
beriba-iba.
Xuan (35 tahun), bekas petugas di menara pengawas lapangan
terbang Dhanang menjadi pemimpin rombongan ini. Sesudah 16 hari
berlayar, pada 9 Juni lalu mereka tiba di perairan Singapura.
Tapi sejumlah kapal perang segera mengepung dan menghalau mereka
ke luar batas perairan. "Teruslah ke selatan, cuma beberapa jam
saja. Di sana ada Indonesia yang mau menerima dan menyediakan
pulau khusus untuk mengungsi," begitu Xuan mengutip anjuran
petugas Singapura yang mencegat mereka. akhirnya 11 Juni mereka
tiba di Tanjungpinang setelah menyusuri pulau-pulau. Ketemu
dengan kapal patroli Indonesia? "Tidak. Dan ternyata Indonesia
baik," jawab Xuan.
Kedatangan rombongan ini membuat repot Tim Penanggulangan
Pengungsi Vietnam di Tanjungpinang. Setelah ditimbang-timbang,
diputuskan bahwa Xuan dkk terpaksa diterima. "Habis sudah
terlanjur. Dan mereka pun masuk sebelum 12 Juni," kata M.
Mukhtar Hadi, Kepala Subdit Sospol Pemda Kepulauan Riau. "Tapi
ini yang terakhir. Seterusnya stop. Ini sudah kebijaksanaan
pusat," tambahnya.
Urusan penempatan Xuan belum lagi selesai, muncul lagi berita
lewat SSB dari Natuna. Pagi jam 02.00 pada 14 Juni lalu muncul
400 pengungsi baru yang mendarat di sekitar Tarempa. Rombongan
yang memakai 2 kapal kecil ini ternyata luput dari intaian
patroli hingga lolos. Apakah mereka akan diusir? "Tunggu
dululah. Pokoknya buku sudah ditutup dan mereka sudah tidak
masuk daftar lagi," jawab Muchtar mengelak.
Tampaknya para pejabat setempat menunggu petunjuk lebih lanjut
dari keputusan pemerintah 12 Juni lalu yang baru mereka ketahui
lewat radio dan koran. Yang juga belum jelas adalah peningkatan
armada dan patroli dalam "Operasi Halilintar" yang ditugaskan
mengempang pengungsi dan penyelundup di Riau. Menurut sumber
TEMPO di Tanjungpinang, operasi ini tampaknya merupakan
peningkatan daya guna kekuatan yang ada. Sebab sejumlah fregat,
kapal patroli cepat, pesawat Nomad dan armada lainnya yang di
Jakarta dikatakan akan merupakan kekuatan "Operasi Halilintar"
ternyata merupakan satuan Keamanan Laut yang selama ini sudah
berfungsi dalam tugas operasi "Natuna Jaya."
Cerita pengungsi Vietnam adalah cerita kesedihan dan derita. Ada
cerita tentang dua gadis kakak beradik yang berenang 2 hari 2
malam melawan angin dan ombak sebelum berhasil mencapai mercu
suar di pulau Mangkai setelah kapal mereka pecah dan
menenggelamkan 43 kawan dan keluarga mereka. Konon hanya mereka
berdua yang selamat karena mereka adalah atlit renang yang
lumayan prestasinya dari Saigon.
Beberapa ibu di Tanjungpinang menangis terisak-isak ketika
beberapa waktu lalu menyaksikan 182 pengungsi terjun ke laut
waktu kapal mereka merapat ke pantai dengan sejumlah wanita
menggendong bayi dan anak. Tangis dan teriakan bergalau menjadi
satu. "Bagaimana kalau itu terjadi pada kita?" seorang ibu
bertanya.
Namun rasa iba itu bisa tersentak kalau melihat keadaan desa
atau kota yang menampung. Seperti Letung, kecamatan di kepulauan
Riau yang penduduknya 3000 orang. Kota menjadi kotor. Bau
kotoran dan sampah menyemerbak ke mana-mana. Untuk mengatasi
kekurangan tempat penampungan, para pengungsi mendirikan sendiri
tempat penampungan mereka dengan menebangi pohon kelapa dan
cengkeh penduduk setempat.
BANYAK penduduk yang mengeluh dan protes. Tiga penduduk Letung
sudah mengadu pada Bupati atas kerugian harta benda mereka.
Mereka menuntut ganti rugi Rp 5 juta lewat DPRD Kepulauan Riau.
"Ya, mereka minta tolong, kita cobalah," kata Jakfat Uda,
anggota DPRD dari fraksi Karya Pembangunan. Bupati Firman Eddy
mengakui telah menerima pengaduan ini. Tapi dari mana uang ganti
rugi itu dikorek? "Kalau pihak UNHCR mau, syukurlah," katanya
pada koresponden TEMPO Rida K. Liamsi.
Di samping keluhan harga barang kebutuhan yang melangit setelah
datangnya pengungsi, banyak juga penduduk yang menikmati rejeki.
Di Letung misalnya, karena terbatasnya fasilitas penampungan,
satu kamar hisa berharga Rp 15 ribu per bulan kalau disewakan
pada pengungsi.
Ada lagi sisi gelap dari kedatangan mereka. Beberapa pengungsi
di tempat penampungan Air Raja dan Tanjung Unggat terpaksa
dimasukkan sel tahanan karena mencuri. Fasilitas yang minim juga
mempersubur pefiyakit. Di Jemaja kini sedang berjangkit muntah
berak yang cepat menyebar. Puskesmas di Letung dan Jemaja sudah
mulai kewalahan karena banyaknya pengungsi yang harus dirawat.
"Rata-rata per hari sampai 200 orang," keluh seorang petugas
Puskesmas Tarempa. Sementara pengiriman obat dari kabupaten
sering lambat karena sulitnya hubungan.
Maka Gubernur Subrantas pun tak sabar lagi. Para pengungsi ini
ingin segera dipindahkannya ke pulau Galang. "Daripada penduduk
tambah kelabakan," ujarnya. Tapi bagaimana itu mungkin, karena
Galang masih penuh dengan ilalang? "Biarkan mereka membangun
sendiri. Kan selama ini pun mereka begitu," jawab Subrantas.
Untuk biaya pengangkutan, Subrantas bahkan siap untuk
menggunakan dulu anggaran propinsi. "Pokoknya asal PBB mau
mengganti, kita bisa keluarkan dulu," katanya.
Keputusan sudah bulat. Rombongan pertama sebanyak 1000 orang
akan diberangkatkan 1 Juni. Mendadak muncul berita dari Jakarta
Pemerintah akan segera melaksanakan pembangunan barak untuk
penampungan sementara di pulau Galang. Rencana pemda jadi
mentah. Sejumlah 300 pengungsi yang sudah siap diberangkatkan
terpaksa dijejalkan di Tanjung Unggat menunggu barak-barak
dibangun. Tapi nyatanya pembangunan belum juga dimulai.
Baru 15 Juni ada kabar baru. Menlu Mochtar setelah bertemu wakil
UNHCR Rajagopalan Sampatkumar mengatakan tempat penampungan
pengungsi di Galang segera akan dibangun dan UNHCR akan mengirim
200 tenda. Tapi dari mana dana untuk pemindahan ini belum jelas.
Pemda Kepulauan Riau sendiri tegas bertahan untuk tidak
mengutak-atik APBD-nya untuk keperluan pengungsi. Yang dipakai
hanya dana yan datang dari UNHCR. Hingga dari jatah AS$ 1,20
untuk tiap pengungsi, yang sampai untuk jatah makan mereka hanya
sekitar Rp 300 sehari. Yang lain tercubit untuk biaya transpor,
pendataan dan sebagainya. Sementara bantuan dari pusat ternyata
belum pernah ada.
Usaha memulaukan pengungsi ke satu tempat khusus dipandang jalan
yang terbaik. Bukan saja untuk menyelamatkan penduduk dari
gangguan pendatang ini, tapi juga untuk kebaikan pengungsi
sendiri. Usaha memproses pengungsi selama ini seret karena
berserak-seraknya mereka. Lebih 3000 pengungsi yang hidup
berbulan-bulan di bawah gubug beratapkan daun kelapa dan ilalang
di Pasir Merah Tarempa belum pernah terjamah petugas pemrosesan.
Mereka hanya pernah menerima formulir isian keluarga dan data
diri. Terbatasnya jumlah petugas dan sulitnya sarana perhubungan
merupakan penyebab utama.
Berdasar catatan di kantor Tim Penanggulangan Pengungsi di
Tanjungpinang, dari lebih 31 ribu pengungsi, baru sekitar 25
ribu yang sudah diteliti. Selain kelompok keluarga, pendidikan,
dicatat juga negara pilihan untuk menetap. Lebih dari 50%
memilih Amerika Serikat. Mereka masih harus diproses 2 sampai 3
kali lagi, dan ini bisa memakan waktu bertahun-tahun. Misalnya
saat ini masih ada 2000 pengungsi yang datang pada 1978 yang
belum diberangkatkan ke negara penampung.
Banyak yang frustrasi karenanya. Apalagi cara pemilihan
penampung tidak jelas. Ada yang sudah tiba sejak 1978 belum
diberangkatkan. Tapi ada juga yang belum sampai 3 minggu sudah
diangkut. Yang tua kebanyakan kurang laku. Van Saeh (72 tahun)
bulan lalu menggantung diri karena putus asa. Tidak ada satu
negara pun yang bersedia menampungnya, padahal ia datang Mei
1978. Seorang kakek lain, Duong Hong (71 tahun) menangis ketika
ditemui koresponden TEMPO. Sembari mengayun kampak membelah kayu
api ia mengeluh: "Tidak ada negara yang mau menerima saya.
Katanya saya sudah tua dan sakit-sakitan."
Sejak Mei 1979 lalu, usaha pemberangkatan memang lebih ramai.
Rata-rata sekitar 100 orang tiap minggu diberangkatkan ke
Amerika Serikat. Dari tahun 1975 sampai pertengahan Juni 1979
baru 2017 yang ditampung di negara ketiga, termasuk 1183 pada
tahun ini. Sedang pada saat yang sama, setengah tahun ini, masuk
lebih dari 20 ribu pengungsi baru.
Pusat pemrosesan pulau alang karena itu sangat diharapkan
segera terwujud. Dengan adanya satu tempat khusus, diharapkan
kerja para petugas akan lebih cepat dan gampang. Tidak seperti
sekarang ini, harus merayap dari pulau ke pulau, dengan petugas
dan sarana yang sangat terbatas.
48 orang pengungsi meninggal selama ini, sebagian besar ketika
kapal yang mereka tumpangi untuk berbelanja ke Letung tenggelam.
Sedang bayi yang lahir di tempat penampungan 82 orang. Mereka
ini tidak mengalami derita pelayaran pengungsian di laut. Tapi
di hadapan mereka masih tersusun tanda tanya yang menghantu.
Sampai suatu negara berbelas hati dan memberi tempat berpijak
baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini