AFS kini mendapat teman. Dalam 30 tahun terakhir, American Field Service-lah lembaga bagi para pelajar Indonesia yang memberi kesempatan mereka setahun belajar di sebuah negeri luar, sambil berbaur dengan masyarakat setempat. Kini, di samping lembaga yang murni swasta itu ada Educational Foundation for Foreign Study (EF). Lembaga yang telah lebih dari 20 tahun terkenal lewat sekolah bahasanya Agustus lalu menyebar brosur ke berbagai lembaga pendidikan di Indonesia setelah membuka kantor cabang di Jakarta. Isinya: tawaran program mengenal Amerika, juga Kanada dan Negeri Belanda, kepada siswa Indonesia yang pada 1 Juni mendatang berusia 15 hingga 18 tahun. Hingga pekan lalu, menurut Yulia Pranoto, office manager EF di Jakarta, sudah 60 siswa yang mendaftarkan diri. Lewat berbagai kriterium dan tes, misalnya batasan umur, salinan prestasi sekolah, wawancara, dan kemahiran berbahasa Inggris, hanya mereka yang lolos seleksi yang akan diberangkatkan. Jumlah itu akan mengecil, karena peserta program satu tahun di Amerika ini harus memiliki visa khusus. Dan, "Visa khusus itu terbatas jumlahnya," ujar Yulia tanpa menyebut angka. Sebenarnya ada perbedaan penting. AFS yang kini ada di 68 negara, adalah program pertukaran -- ada timbal balik. Sementara itu, EF tak mengirimkan, misalnya, pelajar Amerika ke Indonesia. Yang baru ini hanya mendatangkan pelajar ke negeri-negeri maju dari 41 negara yang ada kantor cabang EF. Lalu, AFS pada dasarnya tak menarik bayaran. Baru mulai tahun ini, peserta dari Indonesia dipungut sumbangan US$ 3.000 atau sekitar Rp 5 juta. Toh, itu pun, dengan adanya Bina Antarbudaya, bagi yang tak mampu bisa diberikan bantuan (TEMPO 25 Oktober). Bagi EF, uang adalah keniscayaan. Bahkan untuk mengikuti tes dan wawancara, peserta harus membayar Rp 60 ribu. Yang diterima untuk ke AS atau Negeri Belanda mesti bayar US$ 3.950 (lebih dari Rp 6 juta). Biaya itu akan bertambah sekitar Rp 1,5 juta bila Kanada yang menjadi tujuan. Dengan harga itu peserta tinggal memikirkan uang saku. Segalanya sudah terbayar. Dari kebutuhan pemondokan dan makan sehari-hari, tiket pesawat sampai buku-buku sekolah, dan biaya rekreasi. Sebab, EF, meski menarik bayaran, adalah sebuah Yayasan Pendidikan untuk studi luar negeri yang resmi ditunjuk oleh pemerintah AS yang tak mengambil keuntungan. Dan sebenarnya besarnya ongkos itu hanya sekitar separuh dari biaya nyata yang seharusnya dikeluarkan. Secara keseluruhan, memang ada suatu yang berbeda antara AFS dan EF. Yakni dalam menggunakan waktu luang dan masa liburan. Dalam brosur EF ditegaskan, di kala itu peserta program boleh memilih rekreasi masing-masing. Peserta AFS memang disodori pula dengan pilihan. Bukan rekreasi terutama, tapi semacam job training terbatas. Ada peserta AFS yang bangga pernah ikut memerah susu di peternakan. Mana yang lebih baik, terpulang pada tujuan masing-masing, tentunya. Boleh dikata program AFS memang ditujukan untuk menghayati hidup disebuah negeri asing, sedangkan EF lebih menekankan pada faktor rekreasinya. Nanti, tahun depan, sejumlah anak Indonesia dari 60 orang yang kini terdaftar bakal berangkat ke Amerika. Mereka akan tinggal di keluarga-keluarga Amerika yang telah dipilih. Belum jelas program yang pertama kalinya ini akan memberikan warna persahabatan macam apa pula.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini