Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Sebanyak lebih dari 30 penyandang disabilitas mendaftar sebagai calon anggota legislatif atau caleg di Pemilu 2019. Partisipasi difabel di bidang politik itu terungkap dalam diskusi tematik Temu Inklusi 2018 di Gunung Kidul pada Oktober 2018 yang menghasilkan sejumlah catatan rekomendasi yang diterima Tempo pada 4 Desember 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Banyaknya teman difabel yang jadi caleg menunjukkan kesadaran berpolitik difabel meningkat," kata perwakilan Bidang Advokasi Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel atau Sigap, Muhammad Syafe’i keterangan tertulis acara Temu Inklusi.
Hanya saja, dia melanjutkan, peningkatan jumlah penyandang disabilitas yang berpolitik menyisakan pertanyaan tentang kesadaran partai-partai politik pengusungnya. "Apa benar partai politik berangkat dari kesadaran akan pentingnya memperjuangkan isu difabel melalui ruang politik? Atau sekedar sebagai vote getter saja?".
Dalam diskusi tersebut juga muncul temuan rendahnya tingkat partisipasi difabel dalam memanfaatkan ruang demokrasi. Artinya, kata Syafe'i, penting untuk menguatkan pendidikan politik dan menciptakan ruang-ruang partisipasi politik yang lebih terbuka kepada difabel.
Di sisi lain, melalui sejumlah kerja penguatan partisipasi politik difabel, ada kemajuan sistem penyelenggaraan Pemilu di Indonesia. Misalnya, penyelenggaraan akses yang lebih baik, data pemilih difabel yang terus meningkat, hingga kegiatan sosialisasi yang mulai menjangkau lebih banyak difabel.
Untuk memastikan pemenuhan kesetaraan hak politik bagi difabel, peserta Temu Inklusi 2018 dari 18 provinsi di Indonesia merekomendasikan kepada Kementerian Dalam Negeri serta institusi yang bertanggung jawab terkait data dan identitas kependudukan agar mempunyai sistem yang dapat memastikan difabel terdata dan memperoleh identitas kependudukan yang merupakan prasyarat terpenuhinya hak memilih dan dipilih. "Difabel termasuk kelompok yang rentan menjadi sasaran politik uang dan mobilisasi suara yang tidak sehat," kata Syafe’i.