Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tak Surut Berjuang Mendapatkan Legalisasi

Mahkamah Konstitusi menolak uji materi Undang-Undang Narkotika perihal legalisasi penggunaan ganja medis. Tetap mendorong pengkajian ilmiah. 

21 Juli 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kiri) memimpin sidang putusan uji materi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terhadap UUD 1945 terkait ganja medis di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 20 Juli 2022. TEMPO/ Hilman Fathurrahman W

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Mahkamah Konstitusi menolak legalisasi ganja untuk kepentingan medis.

  • Permohonan uji materi diajukan sekelompok orang karena kondisi cerebral palsy yang diidap anak mereka membutuhkan ganja medis untuk terapi.

  • Mahkamah mendorong agar pemerintah tetap melakukan pengkajian ilmiah.

JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika perihal legalisasi ganja medis untuk kesehatan. MK menilai materi yang diuji merupakan kebijakan terbuka Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah, terutama untuk mengkaji benar atau tidaknya penggunaan ganja untuk keperluan medis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dengan putusan itu, narkotik golongan I, seperti ganja, tetap dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan alias medis seperti saat ini. “Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman saat membacakan putusan perkara Nomor 106/PUUXVIII/2020, di gedung Mahkamah Konstitusi, Rabu, 20 Juli 2022.

Orang tua pasien cerebral palsy, Santi Warastuti, mengikuti rapat dengar pendapat umum perihal legalisasi ganja untuk medis dengan Komisi III DPR, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 30 Juni 2022. TEMPO/M. Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Permohonan uji materi tersebut diajukan oleh tiga orang dan dua lembaga. Ketiga orang itu adalah Dwi Pertiwi, Santi Warastuti, dan Nafiah Murhayanti. Mereka mengajukan permohonan uji materi ini sehubungan dengan kondisi cerebral palsy yang diidap anak mereka dan membutuhkan ganja medis untuk terapi. Uji materi tersebut juga diajukan oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) sebagai pemohon V dan VI.

Mereka meminta Mahkamah mengubah Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Narkotika agar membolehkan penggunaan narkotik golongan I untuk kepentingan medis. Para pemohon juga meminta Mahkamah menyatakan Pasal 8 ayat 1 undang-undang tersebut, yang berisi larangan penggunaan narkotik golongan I untuk kepentingan kesehatan, inkonstitusional. Dalam putusan kemarin, Mahkamah menyatakan permohonan pemohon V dan VI tidak dapat diterima.

Mahkamah menyatakan penggunaan narkoba golongan I untuk kesehatan atau terapi belum terbukti secara ilmiah lantaran belum ada bukti penelitian secara komprehensif. Mahkamah memahami dan memiliki rasa empati bahwa para penderita penyakit tertentu secara fenomenal dapat disembuhkan dengan terapi menggunakan jenis narkotik golongan I. “Tapi hal tersebut tidak berbanding lurus dengan akibat besar yang ditimbulkan apabila tidak ada kesiapan,” ujar hakim konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh.

Kendati menolak permohonan uji materi tersebut, Mahkamah Konstitusi mendorong pemerintah segera menindaklanjuti putusan ini dengan melakukan pengkajian dan penelitian secara ilmiah. “Berkenaan dengan pengkajian dan penelitian jenis narkotik golongan I untuk keperluan pelayanan kesehatan dan/atau terapi,” ujar hakim konstitusi Suhartoyo saat membacakan pertimbangan putusan. Kajian tersebut dapat digunakan untuk menentukan kebijakan, termasuk mengubah Undang-Undang Narkotika.

Menanggapi putusan tersebut, Santi Warastuti mengaku tidak kaget. Santi menilai keputusan Mahkamah setidaknya telah memberikan kejelasan ihwal apa yang harus ia lakukan terhadap anaknya di masa mendatang. Santi menyatakan, dengan putusan ini, dia akan tetap terus berjuang bagi anaknya, Pika, untuk menggunakan pengobatan seperti sebelumnya. “Selagi menunggu pemerintah melakukan riset, saya tidak akan berhenti,” ujar dia. Beberapa terapi yang biasa dilakukan Pika adalah terapi obat konvensional dan akupunktur. Dia juga mengkonsumsi suplemen.

Koalisi Advokasi Narkotika, yang di antaranya beranggotakan ICJR dan LBH Masyarakat, yang juga sebagai pemohon, menyoroti kata “segera” yang dipakai Mahkamah dalam putusannya. Artinya, pemerintah harus segera melakukan pengkajian tersebut. “Harus dimaknai tidak boleh lagi ada penundaan dan ketidakpastian dari pemerintah dalam melakukan penelitian narkotik untuk pelayanan kesehatan,” demikian pernyataan Koalisi.

Dalam kesempatan terpisah, Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), Petrus Golose, menyatakan sependapat dengan putusan Mahkamah perihal penolakan legalisasi ganja medis. Menurut Petrus, Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang Narkotika menyebutkan larangan penggunaan ganja. Ayat 2 undang-undang tersebut menyatakan, dalam jumlah terbatas, narkotik dapat digunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. “Pengaturan ganja untuk ilmu pengetahuan sudah ada, bukan hanya dari putusan Mahkamah Konstitusi,” ujarnya, seperti dilansir Antara. Petrus menyebutkan persentase penyalahgunaan narkotik terbesar di Indonesia adalah jenis ganja, yang mencapai 41,6 persen.

FAJAR PEBRIANTO | FIRYAAL TSAABITAH (MAGANG)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus