Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik
Papua

Berita Tempo Plus

Manusia Perahu di Negeri Kanguru

Atas alasan genosida, kelompok pengibar bendera Melanesia Barat di Papua itu berlayar dengan perahu ke Australia agar mendapat suaka. Upaya menarik perhatian internasional.

30 Januari 2006 | 00.00 WIB

Manusia Perahu di Negeri Kanguru
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Rombongan yang ditunggu-tunggu itu akhirnya tiba. Lima hari terombang-ambing di laut, perahu cadik abu-abu sepanjang 25 meter itu akhirnya merapat di Semenanjung York, Queensland, Australia, Rabu sore, 18 Januari lalu. Tiga puluh lelaki, enam perempuan, dan tujuh anak-anak turun dari perahu tradisional itu.

Mereka adalah rombongan manusia perahu yang berniat mencari suaka di negara tetangga. Selama perjalanan, mereka membentangkan spanduk yang menuding pemerintah Indonesia melakukan pembunuhan etnik alias genosida di Papua.

Berangkat dari Pelabuhan Merauke, 13 Januari lampau, menuju York, wilayah paling timur laut Australia, rombongan manusia perahu itu harusnya tiba 16 jam kemudian. Jarak kedua wilayah itu dipisahkan Selat Torres sekitar 300 kilometer.

Namun rombongan ini tak kunjung tiba. Asosiasi Papua Barat, organisasi yang mendukung pergerakan Organisasi Papua Merdeka yang bermarkas di Australia, akhirnya menelepon aparat. Mereka mengaku ditelepon rombongan manusia perahu ini sebelum berangkat. Kehebohan itu sampai juga ke Jakarta. Operasi pencarian lalu dilakukan aparat Indonesia dan Australia.

Koordinator diplomatik aktivis Papua Merdeka yang bermukim di Australia, Jacob Rumbiak, mengakui rombongan manusia perahu itu kebanyakan aktivis kemerdekaan Papua. Mereka mengaku merasa terancam di Papua, karena itu mereka meminta suaka politik di Negeri Kanguru. Rombongan itu dipimpin Herman Wanggai, 32 tahun.

Herman Wanggai sebenarnya bukan orang asing di Papua. Bersama Edison Waromi, 43 tahun, dan Yordan Iek, 49 tahun, Herman pernah ditahan dua tahun di penjara Kalisosok, Surabaya. Ketiganya terbukti mengibarkan bendera Melanesia Barat atau dikenal sebagai bendera Bintang 14 di halaman kampus Universitas Cenderawasih, Abepura, Jayapura, pada 14 Desember 2002.

Berbeda dengan bendera Kejora yang selama ini dikenal luas, bendera Bintang 14 ini pertama kali dikibarkan oleh mendiang Dr. Thomas Wanggai di Stadion Mandala, Jayapura, 14 Desember 1988. Ditangkap dan diadili, Thomas meninggal di penjara Cipinang, Jakarta Timur, sepuluh tahun lalu.

Sejak Thom meninggal, kelompok Bintang 14 ini dipimpin Edison Waromi. Sarjana hukum dari Universitas Cenderawasih Jayapura ini sebelumnya adalah pengacara di kantor LBH Jayapura dan menjadi anggota tim kuasa hukum Thom.

Di bawah Edison, kelompok ini berganti nama menjadi West Papua National Council (WPNC) atau Otoritas Nasional Papua Barat. Dalam struktur baru, nama Herman tercantum di bawah Edison.

Dari 43 orang rombongan manusia perahu, sembilan dari keluarga Wanggai. Sisanya dari sejumlah kalangan seperti Sami Roem, Anton Rumbiak, Amatus Douw, Izak Marani.

Menurut Jacob Rumbiak, sebagian pencari suaka itu adalah anak-anak yang orang tuanya turut serta dalam protes sewaktu Papua diserahkan ke Indonesia pada 1963. ”Mereka ini generasi kedua dari tahanan politik yang dibuang ke Kalisosok, Surabaya. Para aktivis ini datang dari Merauke, Biak, juga yang sekolah di Jawa dan Sulawesi,” ujar Rumbiak.

Sebagian lain dari para pencari suaka itu, menurut Jason Macleod, juru bicara Asosiasi Papua Barat di Australia, berasal dari Paniai. Mereka dikirim ke Australia setelah salah satu anggota keluarga mereka menjadi korban dalam insiden tembak di Wagete, Paniai.

Seluruh rombongan manusia perahu itu diduga lolos hingga ke Negeri Kanguru melalui dua jalur. Pertama, melalui distrik Asiki, Kabupaten Merauke. Distrik ini dikenal sebagai base camp OPM pimpinan Wellem Onde. Kedua, mereka lewat jalur distrik Sota, Kabupaten Merauke, yang berbatasan dengan Papua Nugini di Daru.

Dukungan bagi para manusia perahu lumayan kuat. Selasa pekan lalu, sekitar 130 orang berdemo di depan kantor imigrasi di Melbourne dan menyatakan dukungan. Imigrasi Australia tak bersedia memberikan penjelasan mengenai manusia perahu itu.

Saat ini Australia masih melakukan pemeriksaan di Kepulauan Christmas. Di sana mereka ditempatkan terpisah: yang berkeluarga di community center, sedangkan yang belum di detention center. Kawasan ini dibuka pada September 2001. Berdaya tampung 104 orang, kawasan ini mirip penjara. Meski begitu, kawasan ini juga dilengkapi fasilitas hiburan dan rekreasi.

Belum jelas bagaimana nasib para pencari suaka itu kemudian. Tapi di Jakarta Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono dan Duta Besar Australia untuk Indonesia David Ritchie sudah bertemu untuk mencari solusi.

Widiarsi Agustina, Deddy Sinaga, Cunding Levi (Papua), Dewi Anggraeni (Melbourne)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus