Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ABDUL Madjid, 46 tahun, harus mengubah rutinitasnya. Biasanya seusai salat subuh dia menikmati segelas kopi panas yang dihidangkan Saodah, istrinya. Tetapi sejak Saodah pergi, dia harus menyeduh kopi sendiri. Jadwal makan juga tidak seajeg biasanya. Guru Sekolah Dasar di Ciseeng, Bogor, ini mengaku pasrah dengan perubahan itu. ”Saya mendukung perjuangan istri saya,” kata Abdul.
Kopi yang dinikmatinya Madjid, Selasa pagi dua pekan, menjadi hidangan terakhir dari Saodah, 32 tahun. Saat Madjid menyeruput kopi, istrinya meminta izin ikut aksi mogok makan dengan menjahit bibir. Kaget, Abdul mencoba mencegah. Siapa yang mengurus rumah? Bagaimana dengan kebutuhan anak-anak?
Saodah ternyata telah mempersiapkan semua. Dua hari sebelumnya dia meminta Lasmi, kakaknya, mengurus empat anaknya selama ia pergi. Lasmi sempat memprotes keinginan Saodah. ”Apa tidak ada cara lain?” tanya sang kakak. Tapi adiknya sudah bulat tekad. ”Dia memang keras kepala,” kata Lasmi tentang adik bungsunya itu. Saat mereka masih sama-sama bocah, kelima kakak Saodah sudah biasa mengalah dengan kekerasan hati si bungsu.
Sebelum istrinya pergi, Abdul masih mencoba membujuk dengan berbagai cara. Hasilnya nihil. Istrinya akhirnya berangkat setelah keempat anaknya pergi sekolah. Tempat yang dituju Saodah adalah bekas kantor Partai Demokrasi Indonesia di Jalan Diponegoro 58, Jakarta.
Sesampai di sana, kedua bibirnya dirapatkan lalu dijahit dua untai benang. Darah yang menetes diusap dengan antiseptik. Dia bertekad akan terus mogok makan sampai ada penggantian atas tanahnya di Desa Malangnengah, Ciseeng, yang dilewati saluran udara tegangan ekstra tinggi milik Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Lasmi yang mendengar adiknya telah pergi, menyusul ke rumah Abdul. Mereka sempat adu mulut. ”Emang nggak bisa dicegah?” protes Lasmi kepada adik iparnya. Mendengar ribut-ribut, Ibu Saodah yang selama ini menumpang di rumah anaknya bertanya-tanya. Mendengar penjelasan dari Lasmi, pecahlah tangis sang ibu.
Hingga Jumat pekan lalu, Saodah belum menyerah. Tubuh layunya terbaring di atas tikar di dalam pendapa bambu yang sengaja dibuat untuk berteduh para demonstran mogok makan. Saodah memang tidak sendiri. Ada lima orang lain yang menggelar aksi serupa; dua di antaranya telah menyerah karena lemah. Di sebelah Saodah berbaring Manisah, warga Desa Waringin Jaya, Bojonggede, Bogor. Dipisahkan dinding bambu, dua lelaki melakukan aksi serupa. Tarman dan Jajang, keduanya warga Cianjur. Perut Jajang bahkan telah sebulan tak mengolah makanan.
Mata Lasmi berkaca-kaca melihat keteguhan hati Saodah. Dia tak menyangka adiknya bisa bertahan sekian lama. Padahal, si bungsu itu dikenal paling doyan makan. ”Sehari dia biasa makan 4-5 kali,” kata Lasmi. Perempuan itu berjanji jika Saodah nanti rampung mogok makan ia akan menyiapkan makanan favorit sang adik, semangkuk bakso.
Saodah beraksi karena frustrasi. Saluran tegangan tinggi yang memboyong listrik berkekuatan 500 kilovolt sudah sembilan tahun terpasang di atas rumah mereka. Selama ini mereka hanya menerima ganti rugi pohon yang harus ditebang karena berada di bawah kabel. Sementara rumah dan tanah tak ada yang diganti kecuali yang berada di kaki menara.
Ada ribuan penduduk yang rumahnya dilewati kawat bertegangan tinggi. Di Cianjur sekitar 400 warga dari empat kecamatan malah berupaya membongkar dan merusak menara listrik, Kamis pekan lalu. Mereka menggergaji besi-besi penyangga dan menggali fondasi tiang menara. Hal serupa dilakukan warga Rancaekek, Kabupaten Bandung. Di Jawa Tengah, pekerjaan yang membangun saluran listrik lintas selatan dihalangi warga Nulumsari, Jepara. Sekitar seratusan warga Lendah, Kulonprogo, Yogyakarta, menuntut ganti rugi tanah sesuai dengan harga pasaran.
Penolakan warga Ciseeng terhadap listrik tegangan tinggi sudah dilakukan sejak kabel dipasang, Mei 1996. Mereka mengusir petugas PLN hingga terjadi bentrok fisik dengan petugas keamanan. Saat setrum mulai mengalir, penduduk yang dilalui kabel mengeluh sakit. Mulai dari kepala pusing, tangan kesemutan, hingga udara yang gerah waktu malam. Setiap malam mereka mendengar suara gemuruh melintas di atas rumah. ”Tespen akan menyala jika ditempelkan ke tubuh orang,” kata Abdul.
PLN sempat membawa tim dari Institut Teknologi Bandung dan Universitas Pakuan, Bogor, untuk menghitung medan listrik bangunan di Ciseeng yang berada di bawah kabel. Hasilnya, medan listrik di dalam rumah 0,0086 kV/ meter, sementara di luar 1,42 kV/ meter. Menurut organisasi kesehatan dunia (WHO), ambang toleransi tertinggi yang diizinkan untuk manusia adalah 5 kV/meter. Jadi, kata mereka, kondisi di sana masih aman.
Tapi soalnya bukan hanya karena kesehatan. Setelah dilalui kabel maut itu, tanah mereka tak ada harganya. Sebelum ada kabel harga tanah di sana Rp 50 ribu per meter. Sekarang, melirik pun orang tak mau. Abdul bersama 75 warga sempat mengadukan soal ganti rugi yang tak pernah terbayarkan ini ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Maret 1997. Hingga kini hasilnya nihil.
Aksi mogok makan ramai-ramai pernah dilakukan 30 warga Ciseeng, dua tahun lalu. Mereka menuntut ganti rugi tanah Rp 250 ribu hingga Rp 500 ribu per meter. Gerakan itu dilakukan setelah pengaduan mereka ke DPRD Bogor tak digubris. Aksi itu juga tak membawa hasil.
Mereka berharap aksi jahit mulut kali ini akan lebih nyetrum. Aksi awal dilakukan M. Safrudin, warga Ciseeng, dan Nurdin dari Cicalengka, Bandung. Para pelopor ini mulai mogok makan 27 Desember lalu. Dua pekan ogah makan, mereka pingsan sehingga harus dilarikan ke rumah sakit. Setelah dirawat dan jahitan mulut dicopot, mereka lalu dipulangkan.
Saodah termasuk yang keras hati. Amalia Fitriana, 6 tahun, anak bungsunya yang berharap ibunya pulang, tak menggoyahkan niatnya. Amalia mengaku kerepotan setiap hendak berangkat sekolah kerepotan sejak kepergian ibunya. Dia harus menyiapkan sendiri seragam dan sarapan pun tak lagi ada yang menyuapi. ”Kalau Mama pulang, Ama mau minta ayam goreng buatan Mama,” katanya. Keluarga Saodah berharap pemerintah segera meluluskan tuntutan mereka agar Saodah bisa segera pulang.
Keluarga Saodah tampaknya menggantang asap. Pemerintah berpegang pada Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi 1992 dan 1999. Keputusan yang pertama menyatakan hanya memberi ganti rugi atas tanah yang dipakai untuk menara. Penggantian juga dilakukan bagi penduduk yang memiliki tanaman atau bangunan yang berada di ruang bebas—ruang berjarak kurang dari 8,5 meter dari kabel. Keputusan menteri berikutnya menyebutkan, tanah yang berada di bawah bentangan kabel diberikan uang kompensasi, meski bukan ganti rugi. Nah, uang kompensasi itulah yang dianggap kelewat sedikit. Penduduk hanya mendapat Rp 7.500 per meter, sementara mereka menuntut Rp 25 ribu.
PLN mengaku telah bermain sesuai dengan aturan. Menurut Direktur Transmisi dan Distribusi PLN, Herman Darnel Ibrahim, jika tuntutan warga Ciseeng dituruti, pemilik tanah lainnya akan menuntut hak serupa. Saat ini bentang kabel saluran tegangan tinggi di Indonesia panjangnya 26 ribu kilometer. Tim Departemen Energi pernah menghitung, andaikan PLN harus membayar seluruh ganti rugi sesuai harga tanah setempat, maka nilainya mencapai Rp 50 triliun. Tak memiliki jalan keluar, Herman mengeluh. ”Dari mana uangnya?” katanya pelan.
Agung Rulianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo