Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH dua tahun terakhir ini Saifuddin SH tak berkutik berhadapan dengan orang-orang di Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Surabaya. Upayanya mendapatkan sertifikat hak milik (SHM) atas tanahnya terbentur meja birokrasi.
Setiap kali menanyakan nasib sertifikatnya, ia hanya mendapat jawaban enteng. ”Sabar dulu, baru diproses,” kata pengacara ini, menirukan jawaban aparat BPN.
Saifuddin mengaku sudah menyerahkan seluruh dokumen yang diperlukan guna mengubah status ”Petok D” tanahnya menjadi SHM, November 2003. Saat itu petugas menjanjikan, prosesnya hanya perlu waktu dua bulan.
Dua bulan itu sudah menjadi dua tahun, dan status tanahnya yang 300 meter persegi itu tak juga berubah. ”Saya sudah bosan menanyakan ke BPN,” katanya. Kini warga Gunungsari itu menitipkan harapannya kepada penguasa lokal jika kelak kantor BPN berada di bawah organisasi pemerintah daerah.
Memang, tuntutan agar urusan pertanahan diserahkan ke daerah makin menguat belakangan ini. Para penguasa daerah yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) yang menjadi penggerak tuntutan itu.
Menurut Gubernur DKI Sutiyoso, yang juga Ketua APPSI, selama ini urusan pertanahan ditangani pemerintah pusat berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5/1960. ”Tapi bagaimana mungkin undang-undang zaman baheula masih dipakai di masa reformasi ini?” katanya kepada Tempo.
Sutiyoso lalu menunjuk Undang-Undang No. 32/2004 tentang Otonomi Daerah, yang membuka pintu desentralisasi pertanahan. Di sana disebutkan, semua urusan dilimpahkan ke daerah, kecuali enam hal, yakni pertahanan dan keamanan, hukum, politik luar negeri, fiskal dan moneter, serta agama. Dus, urusan tanah ada di luar enam perkara itu.
Pada November 2005, APPSI menggelar lokakarya pertanahan. Sejumlah rekomendasi tentang perlunya desentralisasi pertanahan telah dirumuskan. Rekomendasi lainnya ialah agar BPN diintegrasikan ke dalam Departemen Dalam Negeri.
Sutiyoso pun melengkapi manuver itu dengan menemui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. ”Dan beliau menangkap keinginan pemerintah daerah,” ujarnya. Depdagri segera membentuk tim ahli guna mengkaji wacana itu.
Tim ini beranggotakan Prof Dr Bintan R. Saragih (ahli hukum), Prof Dr Sadu Wasistiono M.S., dan Prof Dr Ir S.B. Silalahi MS (ahli agraria). Tim juga merumuskan materi Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Pertanahan.
Tim ahli sudah menyerahkan hasil kajian mereka kepada pemerintah beberapa waktu lalu. ”Salah satu saran kita adalah agar Kanwil BPN dan Dinas Pertanahan di daerah digabung,” ujar Sadu. Dia juga beranggapan tuntutan daerah itu wajar karena sesuai dengan jiwa otonomi daerah.
Kepala BPN, Joyo Winoto, belum dapat dimintai komentar atas gerakan dari daerah itu. Beberapa pejabat puncak di lingkungan BPN juga tak bersedia memberi pernyataan ketika ditemui, Jumat pekan lalu.
Namun, bagi pejabat BPN di daerah, wacana itu membuat rikuh. Kepala BPN Kantor Pertanahan Kabupaten Bantul, Anas Ma’ruf, menegaskan, model pengurusan tanah yang seragam berfungsi merekatkan bangsa. ”Jika tiap daerah mempunyai aturan sendiri-sendiri, apa tidak memicu persoalan?” ia bertanya.
Sedangkan Kepala Kanwil Badan Pertahanan Nasional DIY, Ir Djoko Tridojo M.S., mengingatkan kelebihan sertifikat tanah yang dirilis BPN. Sertifikat itu, katanya, bisa digunakan sebagai agunan bank di mana saja. ”Jika nanti setiap daerah mengeluarkan sertifikat, apa bisa digunakan untuk agunan di daerah lain?”
Menurut sumber Tempo di lingkungan Depdagri, gagasan para penguasa daerah itu bakal dibawa ke sidang kabinet. ”Materi yang dibahas adalah rekomendasi dari tim ahli Depdagri,” kata sumber yang tak bersedia disebut namanya itu.
Tak mengherankan, beberapa pemerintah daerah sudah bersiap-siap menyambut. Kepala Dinas Pertanahan dan Pemetaan DKI Jakarta, Ir Roosdiana Renny P. MT, misalnya, menegaskan akan mengelola urusan tanah sesuai dengan ISO 2000. Sejumlah pejabat di Dinas Pertanahan Jakarta pun sudah dikirim ke Malaysia untuk studi banding. ”Saya yakin, jika urusan tanah diserahkan ke daerah, pelayanan bakal lebih cepat,” katanya.
Tulus Wijanarko, Untung Widyanto, Nur Aini, Mustafa (Jakarta), Sunudyantoro (Surabaya), Syaiful Amin (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo