Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Masih soal Ganti Rugi

Persoalan ganti rugi bagi milik penduduk yang terkena proyek LNG di Muara Badak Kalimantan Timur belum selesai seluruhnya.(ds)

18 Maret 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERSOALAN ganti rugi bagi milik penduduk yang terkena proyek LNG di Muara Badak Kalimantan Timur, belum selesai seluruhnya. Terutama yang menyangkut akihat sampingan proyek itu. Misalnya tanah dan tanaman yang rusak karena pembakaran gas, sawah yang digenangi minyak dan lokasi sumur bor serta jalan ke arahnya. Ganti rugi untuk bangunan pusat proyek itu sendiri tak menimbulkan soal lagi, sebab sudah beres seluruhnya. Karena masih ada yang belum beres iru, sampai sekarang penduduk Muara adak masih dihinggapi demam ganti rugi. Di mana-mana dan hampir dalam tiap kesempatan mereka membicarakan hal itu. Misalnya perkara jumlah ganti rugi yang harus dibayarkan. Sebidang tanah di tempat yang sama tak jarang mengalami perubahan harga pada pembayaran berikutnya. Ini antara lain dialami petani Supuli alias Sukili. Pada pembayaran pertama ia menerima ganti rugi Rp 75 per MÿFD. Tapi pada pembayaran berikutnya, untuk tanah di tempat yang serupa ia hanya menerima Rp 60. Padahal menurut ketentuan Bupati Kutai jumlah ganti rugi untuk tiap MÿFD tanah (berdasarkan lokasinya) adalah Rp 75, Rp 50, Rp 30 dan Rp 20. Tak ada yang Rp 60 per MÿFD. Meskipun ada pula yang mendapat Rp 125 per MÿFD, yaitu bagi tanah yang tergolong kelas I. Lain lagi yang dialami seorang petani, bernama Bora. Panitia Ganti Rugi mula-mula menetapkan hahwa selain tanahnya, juga harus diganti untuk tanaman 10 batang kelapa kecil, 140 pohon kopi (sedang) dan 2.500 rumpun serai wangi (berbuah). Berdasar ketetapan bupati Kutai, semestinya Kora menerima ganti rugi Rp 897.500. Tapi pada saat pembayaran ia hanya disodori kwitansi bernilai Rp 270.400. Karena penilaian panitia telah berubah serai wangi dan pohon kopi ditetapkan baru berupa bibit dan jumlahnya pun berkurang. Pohon kelapa yang 10 batang tadipun tak dinilai lagi. Bora protes ke sana-sini. Tapi sudah lebih 3 bulan ini tak ada penjelasan apa-apa kepadanya. Imam Suyuti Lebih sial lagi pengalaman 9 orang pemilik tanah di RT IV, Muara Badak llir. Sejak 1973 pihak Huffco, perusahaan Amerika yang beroperasi di sana, mematok tanah seluas 600 x 800 meter milik ke-9 orang penduduk desa tadi. Pematokan berarti tanah itu sudah dibebaskan dan ganti rugi sudah lunas. Tapi ditunggu-tunggu ganti ruginya tak dibayar juga, sampai tahun 1977 lalu, Huffco mulai mengolah tanah itu untuk tempat penimbunan proyeknya. Para pemilik tanah terkejut. Sebab sampai sekarang mereka merasa belum pernah menerima ganti rugi. Sebaliknya pihak perusahaan Amerika itu menyatakan tanah itu telah lama mereka bebaskan dan ganti ruginya sudah sejak dulu dilunasi. Untuk itu, melalui kesaksian Camat Muara Badak dan Lurah Muara Badak Ilir, para pemilik tanah itu menuntut penyelesaian ke alamat Pertamina maupun Huffco. Tentu juga ditembuskan ke Pemda Kabupaten Kutai dan Panitia Pembebasan Tanah Kabupaten Kutai. Tapi sudah hampir setahun surat itu dikirim, tak selembar balasanpun mereka -terima sampai sekarang. Nasib serupa itu dialami juga oleh Imam Suyuti, seorang tokoh agama di RT IV. Ia memprotes Huffco dan Pertamina karena pihak ini telah mematok tanahnya seluas 5 hektar tanpa pembayaran apa-apa. Tapi jangankan menerima ganti rugi yang ia harapkan, surat protesnya tak pernah mendapat jawaban apa-apa. Malahan, Pejabat Kepala Kampung Muara Badak llir, Hafil T, mengancam Suyuti agar meminta maaf sekaligus mencabut surat protesnya. Jika tidak, kata Hafil yang juga Ketua KNPI Kecamatan Muara Badak, segala keperluan Suyuti sebagai warga daerah itu tak akan dilayani oleh Camat Muara Badak. Suyuti pun menyerah. Sekaligus menyerahkan nasib tanahnya kepada Tuhan belaka. Namun semua itu hanya berupa pengalaman pahit perseorangan yang tanahnya, rumahnya maupun tanaman milik keluarga telah terlepas karena proyek LNG. Bagi keseluruhan penduduk Muara Badak llir sendiri, seperti diungkapkan Lurah A. Syukur, kegelisahan selalu menghinggapi penduduknya semenjak proyek itu berjalan. Terutama karena gangguan polusi, suara helikopter, raung kendaraan- kendaraan besar pengangkut tanah untuk tetek-bengek proyek itu. Khusus bagi warga RT IV, gangguan suara yang berasal dari kolam api dan 2 buah obor api pembakaran gas (yang selalu menyala) selalu menusuk anak telinga mereka. Dan selalu disertai muntahan umpalan jelaga hitam yang menghambur ke mana-mana. Tapi jangankan soal polusi atau suara bising. Soal ganti rugi terhadap penduduk yang masih belum beres itu sampai sekarang tampahnya belum mendapat perhatian dari pihak Pemda Kalimantan Timur dan Kabupaten Kutai, maupun Pertamina Wilayah IV.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus