PERSOALAN ganti rugi bagi milik penduduk yang terkena proyek
LNG di Muara Badak Kalimantan Timur, belum selesai seluruhnya.
Terutama yang menyangkut akihat sampingan proyek itu. Misalnya
tanah dan tanaman yang rusak karena pembakaran gas, sawah yang
digenangi minyak dan lokasi sumur bor serta jalan ke arahnya.
Ganti rugi untuk bangunan pusat proyek itu sendiri tak
menimbulkan soal lagi, sebab sudah beres seluruhnya.
Karena masih ada yang belum beres iru, sampai sekarang penduduk
Muara adak masih dihinggapi demam ganti rugi. Di mana-mana dan
hampir dalam tiap kesempatan mereka membicarakan hal itu.
Misalnya perkara jumlah ganti rugi yang harus dibayarkan.
Sebidang tanah di tempat yang sama tak jarang mengalami
perubahan harga pada pembayaran berikutnya. Ini antara lain
dialami petani Supuli alias Sukili.
Pada pembayaran pertama ia menerima ganti rugi Rp 75 per MÿFD.
Tapi pada pembayaran berikutnya, untuk tanah di tempat yang
serupa ia hanya menerima Rp 60. Padahal menurut ketentuan
Bupati Kutai jumlah ganti rugi untuk tiap MÿFD tanah
(berdasarkan lokasinya) adalah Rp 75, Rp 50, Rp 30 dan Rp 20.
Tak ada yang Rp 60 per MÿFD. Meskipun ada pula yang mendapat
Rp 125 per MÿFD, yaitu bagi tanah yang tergolong kelas I.
Lain lagi yang dialami seorang petani, bernama Bora. Panitia
Ganti Rugi mula-mula menetapkan hahwa selain tanahnya, juga
harus diganti untuk tanaman 10 batang kelapa kecil, 140 pohon
kopi (sedang) dan 2.500 rumpun serai wangi (berbuah). Berdasar
ketetapan bupati Kutai, semestinya Kora menerima ganti rugi Rp
897.500. Tapi pada saat pembayaran ia hanya disodori kwitansi
bernilai Rp 270.400. Karena penilaian panitia telah berubah
serai wangi dan pohon kopi ditetapkan baru berupa bibit dan
jumlahnya pun berkurang. Pohon kelapa yang 10 batang tadipun tak
dinilai lagi. Bora protes ke sana-sini. Tapi sudah lebih 3 bulan
ini tak ada penjelasan apa-apa kepadanya.
Imam Suyuti
Lebih sial lagi pengalaman 9 orang pemilik tanah di RT IV, Muara
Badak llir. Sejak 1973 pihak Huffco, perusahaan Amerika yang
beroperasi di sana, mematok tanah seluas 600 x 800 meter milik
ke-9 orang penduduk desa tadi. Pematokan berarti tanah itu sudah
dibebaskan dan ganti rugi sudah lunas. Tapi ditunggu-tunggu
ganti ruginya tak dibayar juga, sampai tahun 1977 lalu, Huffco
mulai mengolah tanah itu untuk tempat penimbunan proyeknya. Para
pemilik tanah terkejut. Sebab sampai sekarang mereka merasa
belum pernah menerima ganti rugi. Sebaliknya pihak perusahaan
Amerika itu menyatakan tanah itu telah lama mereka bebaskan dan
ganti ruginya sudah sejak dulu dilunasi.
Untuk itu, melalui kesaksian Camat Muara Badak dan Lurah Muara
Badak Ilir, para pemilik tanah itu menuntut penyelesaian ke
alamat Pertamina maupun Huffco. Tentu juga ditembuskan ke Pemda
Kabupaten Kutai dan Panitia Pembebasan Tanah Kabupaten Kutai.
Tapi sudah hampir setahun surat itu dikirim, tak selembar
balasanpun mereka -terima sampai sekarang.
Nasib serupa itu dialami juga oleh Imam Suyuti, seorang tokoh
agama di RT IV. Ia memprotes Huffco dan Pertamina karena pihak
ini telah mematok tanahnya seluas 5 hektar tanpa pembayaran
apa-apa. Tapi jangankan menerima ganti rugi yang ia harapkan,
surat protesnya tak pernah mendapat jawaban apa-apa. Malahan,
Pejabat Kepala Kampung Muara Badak llir, Hafil T, mengancam
Suyuti agar meminta maaf sekaligus mencabut surat protesnya.
Jika tidak, kata Hafil yang juga Ketua KNPI Kecamatan Muara
Badak, segala keperluan Suyuti sebagai warga daerah itu tak akan
dilayani oleh Camat Muara Badak. Suyuti pun menyerah. Sekaligus
menyerahkan nasib tanahnya kepada Tuhan belaka.
Namun semua itu hanya berupa pengalaman pahit perseorangan yang
tanahnya, rumahnya maupun tanaman milik keluarga telah terlepas
karena proyek LNG. Bagi keseluruhan penduduk Muara Badak llir
sendiri, seperti diungkapkan Lurah A. Syukur, kegelisahan selalu
menghinggapi penduduknya semenjak proyek itu berjalan. Terutama
karena gangguan polusi, suara helikopter, raung kendaraan-
kendaraan besar pengangkut tanah untuk tetek-bengek proyek itu.
Khusus bagi warga RT IV, gangguan suara yang berasal dari kolam
api dan 2 buah obor api pembakaran gas (yang selalu menyala)
selalu menusuk anak telinga mereka. Dan selalu disertai
muntahan umpalan jelaga hitam yang menghambur ke mana-mana.
Tapi jangankan soal polusi atau suara bising. Soal ganti rugi
terhadap penduduk yang masih belum beres itu sampai sekarang
tampahnya belum mendapat perhatian dari pihak Pemda Kalimantan
Timur dan Kabupaten Kutai, maupun Pertamina Wilayah IV.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini