Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Masyarakat sipil mendorong Komnas HAM menindaklanjuti dugaan keterlibatan Luhut Pandjaitan dalam rencana eksploitasi Blok Wabu, Kabupaten Intan Jaya, Papua.
Dua peneliti dari ICW akan didampingi 29 pengacara untuk menghadapi laporan Moeldoko.
Pihak Haris Azhar dan Fatia menyiapkan data dugaan keterlibatan Luhut dalam rencana eksploitasi Blok Wabu.
JAKARTA – Koalisi masyarakat sipil menyatakan siap menghadapi laporan dugaan pencemaran nama oleh Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan serta Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. Luhut melaporkan pendiri Lokataru, Haris Azhar; dan Koordinator Kontras, Fatia Maulidiyanti, ke Kepolisian Daerah Metro Jaya. Lalu Moeldoko melaporkan dua peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha dan Mifthachul Choir, ke Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Ada banyak rencana untuk menghadapi gugatan itu," kata Nurkholis Hidayat, pengacara Haris, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Luhut Pandjaitan melaporkan Haris Azhar dan Fatia ke Polda Metro Jaya pada Rabu, 22 September 2021. Keduanya disangka telah melakukan pencemaran nama, pemberitaan bohong, atau menyebarkan fitnah. Laporan Luhut merujuk pada video berjudul "Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN Juga Ada!!" di akun YouTube Haris Azhar.
Dalam video itu, Haris dan Fatia membahas hasil riset sejumlah organisasi masyarakat sipil, seperti Kontras, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Jaringan Advokasi Tambang, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Greenpeace Indonesia, Trend Asia, dan Pusaka. Hasil riset sejumlah lembaga ini mengulas bisnis para pejabat atau purnawirawan TNI Angkatan Darat di balik pertambangan emas atau rencana eksploitasi Blok Wabu di Intan Jaya, Papua. Salah satu yang diduga terlibat adalah PT Tobacom Del Mandiri, anak usaha Toba Sejahtra Group yang sahamnya dimiliki Luhut.
Sepekan sebelumnya, Moeldoko melaporkan dua aktivis ICW, Egi Primayogha dan Mifthachul Choir, ke Bareskrim. Keduanya dituding mencemarkan nama Moeldoko dalam polemik Ivermectin, obat cacing yang digunakan sebagai terapi pengobatan pasien Covid-19.
Setelah menerima laporan Moeldoko dan Luhut, Bareskrim dan Polda Metro Jaya menyatakan mulai menyelidiki kedua laporan jenderal purnawirawan TNI Angkatan Darat itu. Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri, Inspektur Jenderal Raden Prabowo Argo Yuwono, mengatakan akan menjadwalkan pemanggilan Moeldoko untuk memberikan keterangan atas laporannya. "Kalau ada undangan klarifikasi, nanti akan diberi tahu," kata Argo.
Sedangkan Polda Metro Jaya menyatakan akan segera menjadwalkan pemanggilan terhadap Luhut sebagai pelapor. Juru bicara Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Yusri Yunus, mengatakan proses penyelidikan laporan Luhut sudah dilakukan. Polisi akan segera mengundang pelapor maupun terlapor.
"Pak Luhut memang kami akan undang untuk memberikan keterangan. Kami juga akan undang terlapor untuk memberikan keterangan," kata Yusri.
Pengacara Moeldoko, Otto Hasibuan; maupun pengacara Luhut, Juniver Girsang, belum membalas permintaan konfirmasi Tempo.
Haris Azhar di Jakarta. Dokumentasi TEMPO/Dhemas Reviyanto Atmodjo
Dalam kasus Haris, Nurkholis Hidayat mengatakan tindakan kliennya merupakan bentuk pengawasan dan penyampaian informasi kepada publik atas hasil riset. Latar belakang riset itu dibuat atas dasar keprihatinan terhadap terjadinya eskalasi konflik bersenjata dan konflik kekerasan di Papua yang dipicu oleh masalah keamanan serta operasi militer.
Riset berbagai organisasi masyarakat sipil itu menemukan adanya keterkaitan indikasi relasi antara konsesi perusahaan dengan penempatan dan penerjunan militer di Papua. Koalisi, kata Nurkholis, telah mendorong Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menindaklanjuti temuan tersebut, terutama mengenai rencana eksploitasi Blok Wabu di Kabupaten Intan Jaya, Papua.
"Kami juga meminta Komnas HAM memberikan perlindungan terhadap semua pihak yang menyuarakan masalah hak asasi di Blok Wabu," katanya.
Menurut Nurkholis, Luhut semestinya memberikan penjelasan perihal temuan adanya perusahaan yang terafiliasi dengannya dalam kajian itu. Penjelasan Luhut, kata dia, penting untuk mengklarifikasi data kajian yang disampaikan Fatia dalam video di akun YouTube Haris tersebut.
"Bukan sekadar bilang tidak punya bisnis tambang, tapi yang kami harapkan Pak Luhut memberikan data klarifikasi atau sanggahan, misalnya, bahwa info itu tidak benar," ujar Nurkholis. "Jadi, yang benar seperti apa, terkait dengan hubungan Pak Luhut dengan entitas-entitas usaha yang disebutkan itu."
Senada dengan Nurkholis, kuasa hukum Fatia, Julius Ibrani, mengatakan siap membuktikan semua yang diucapkan kliennya berdasarkan data kajian yang telah dilakukan Kontras bersama sejumlah lembaga. Julius menyayangkan sikap Luhut yang membawa diskusi publik itu ke ranah personal.
Padahal, kata dia, dalam diskusi itu, Fatia membawa nama organisasinya yang terlibat dalam kajian yang bertujuan sebagai advokasi publik dalam melihat adanya permasalahan di Papua. "Kami akan menghadapi masalah hukum ini, tapi tidak ada persiapan secara khusus, hanya data dan kajiannya yang apa adanya dan tidak berubah," kata Julius.
Adapun Koordinator ICW, Adnan Topan Husodo, menyatakan sudah ada 29 penasihat hukum yang siap membantu kedua peneliti dari ICW yang dilaporkan Moeldoko ke polisi. Ia mengatakan hasil penelitian ICW yang menemukan nama Moeldoko dalam urusan Ivermectin merupakan bagian dari kerja lembaganya sebagai pengawas kebijakan pemerintah. "Termasuk pada penanganan pandemi Covid-19," kata Adnan.
Sesuai dengan hasil penelitian ICW, ditemukan indikasi perburuan rente dan konflik kepentingan dari produksi serta distribusi Ivermectin. Penelusuran tersebut ditujukan untuk melihat apakah terdapat keterkaitan antara dugaan dipaksakannya penggunaan Ivermectin sebagai terapi pengobatan Covid-19 dan pengaruh politikus maupun pejabat publik.
Hasil penelusuran ICW ini menemukan indikasi keterkaitan anggota partai politik dan pejabat publik dalam peredaran Ivermectin. Salah satu poin dalam penelitian itu menemukan potensi keterkaitan Moeldoko dengan PT Harsen Laboratories, perusahaan yang memproduksi dan menawarkan Ivermectin sebagai obat terapi Covid-19.
Salah satunya adalah petinggi PT Harsen, Sofia Koswara, dan anak Moeldoko, Joanina Rachma, yang sama-sama merupakan pemegang saham di PT Noorpay Perkasa. Sofia juga menjabat direktur di perusahaan tersebut.
PT Noorpay pun ditengarai pernah bekerja sama dengan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) yang dipimpin Moeldoko. ICW menengarai Moeldoko dan Sofia terhubung lewat kerja sama tersebut. "Sehingga patut diduga terdapat potensi konflik kepentingan dalam peredaran tersebut," ujar Adnan.
IMAM HAMDI | MIRZA BAGASKARA (MAGANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo