YOPI Yuanita, kelas IV SD Negeri Ibu Jenab I Cianjur, suatu kali berantem dengan ibunya, gara-gara pekerjaan rumah matematika. Ada soal: jarak Bandung-Cianjur 61 km, sedangkan Cianjur-Bogor 42 km. Berapa jarak Bandung-Bogor? Karena pusing, Yopi minta bantuan ibunya. Si ibu yang dokter langsung mengatakan 103. Pulang sekolah, Yopi marah-marah, "Mama salah." Mengapa salah? Karena pelajaran matematika tak menghendaki jawaban hanya pada hasil akhir, tetapi proses. Dalam hal jarak Bandung-Bogor itu adalah enam puluhan ditambah empat puluhan ditambah satu satuan ditambah dua satuan, lalu diperoleh satu ratusan ditambah tiga satuan, 103. Cara ini, bagi Dokter Titi Asril, ibu Yopi, tak praktis. Itulah sebabnya, ketika hampir semua koran memuat keterangan Menteri Fuad Hassan pekan lalu, yang menyebutkan pelajaran Matematika di SD diganti dengan Aritmatika, ibu Yopi langsung bilang setuju. Kasus tersebut mencerminkan dua hal. Untuk keperluan berhitung praktis sehari-hari murid SD sekarang memang kurang terampil. Sementara itu, orangtua sebagian besar tak memahami Matematika Baru. Bukan cuma ibu Yopi, tapi banyak orangtua murid yang menyambut gembira berita besar di akhir tahun ini. Kalangan DPR pun menyatakan setuju. Tapi, sebentar, betulkah Matematika diganti dengan Aritmatika alias Berhitung? Fuad Hassan, yang merasa ucapannya disalah kutip koran, lalu mengadakan jumpa pers Sabtu pekan lalu di kantornya, lengkap didampingi para "pendekar" matematika antara lain Wirasto dosen UGM, dan Andi Hakim Nasoetion, dosen IPB. Dua orang itu termasuk yang dulu mendukung Matematika Baru. Singkat cerita, tak ada penggantian dari Matematika ke Berhitung, apalagi "penggantian kurikulum atau sistem pendidikan". Yang benar, ada uji coba menyisipkan pelajaran Berhitung pada Matematika, guna "meningkatkan keterampilan berhitung siswa SD", di 12 SD di Jawa Timur, sejak 6 minggu lalu. Sisipan yang sedang diujicobakan itu baru untuk kelas I, II, dan III SD. Menurut Prof. Soedjadi, ahli matematika di IKIP Surabaya, yang terlibat dalam penyusunan sisipan itu, yang penting dihidupkannya kembali mencongak yang bersifat hafalan. "Sebab, menghafal itu tetap berguna dari SD sampai perguruan tinggi," kata Soedjadi, 54 tahun. "Yang perlu, pengertiannya dulu diberikan, baru menghafalnya." Uji coba kini sama sekali tidak mengganggu kurikulum yang ada, dan tidak pula ada penambahan atau pengurangan jam pelajaran. Menurut Anny Pudjiastuti, guru kelas I SDN Kaliasin, Surabaya -- ia ikut menyusun sisipan untuk kelas I dan terjun pula sebagai guru yang menguji coba -- penekanan sisipan ini pada dasarnya bertujuan agar anak lebih mengenal bilangan. Terutama, pada penjumlahan dan pengurangan. Memang dalam Matematika yang sekarang pengenalan bilangan itu sudah diberikan. "Cuma, dalam uji coba anak didik diajak terlibat secara aktif," kata Anny. Jelasnya, pelajaran itu dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Misalnya, uang logam Rp 25,00 ditambah uang logam Rp 25,00 hasilnya adalah uang logam Rp 50,00. Dalam pelajaran Matematika kini, uang logam Rp 25,00 ditambah uang logam Rp 25,00 jawabannya dua uang logam Rp 25,00. Pengalaman Anny, lulusan IKIP 1983, anak-anak tampak gembira dalam pelajaran uji coba itu. Untuk menghitung luas misalnya, mereka langsung mengukur lantai atau halaman kelas dengan langkah kaki atau jengkal tangan. Bagi guru, "pelajaran Matematika yang disuplemenkan ini" -- Anny tetap menyebut Matematika dan bukan Berhitung -- sangat membantu. Banyak hal kemudian bisa dikoreksi, umpamanya pemahaman guru terhadap buku panduan Matematika yang bahasanya memang membingungkan. Soal himpunan bagian umpamanya, kata Anny, sebenarnya dimaksudkan untuk mengenalkan bilangan pecahan. Namun, karena penjelasan buku panduan sedikit rancu, himpunan bagian itu diajarkan sebagai pengurangan. Contohnya, ada himpunan A yang beranggota 5, dan himpunan B beranggota 2. Anggota himpunan B juga anggota himpunan A. Kalau ditanyakan besarnya himpunan B di dalam himpunan A, para guru banyak salah mengartikan sebagai pengurangan himpunan A dengan himpunan B. Padahal, jawabnya, ada 2 anggota B dari 5 anggota A, atau 2 per 5. Padahal, Matematika yang kini diajarkan di SD sudah "disesuaikan dengan kondisi". Sejumlah konsep yang terlalu jauh untuk usia SD sudah dihilangkan. Ini penjelasan Wirasto, salah seorang penyusun buku pelaJaran Matematika, yang kini ikut juga menyusun sisipan yang diujicobakan di Jawa Timur. "Matematika yang kita sadur dari buku asing itu sudah banyak bagian yang dihilangkan. Misalnya tentang teori kemungkinan, gerak dalam bidang, jenis bilangan jam, basis bilangan yang bukan sepuluh," kata Wirasto, 73 tahun, pensiunan dosen matematika Fakultas MIPIA UGM Yogyakarta, yang masih diminta mengajar. Tapi, katanya, "ternyata di kelas masih banyak diberikan teori yang sebetulnya untuk anak usia SD belum perlu." Maka, unsur pelajaran Berhitung yang sebenarnya ada dalam Matematika terabaikan, antara lain karena kurangnya waktu. Tapi terutama adalah salah anggapan dari kebanyakan guru bahwa Berhitung biasa tak diperlukan lagi. Atau, menurut Soedjadi, ada salah kaprah dalam pelajaran Matematika kini. Misalnya, "Konsep himpunan seharusnya digunakan untuk memahami bilangan, yang diajarkan kepada murid justru teori himpunan." Maka, kembali kepada Yopi dari Cianjur tadi, sulit bagi anak memahami perbedaan dan persamaan antara bilangan 103 dan 10 himpunan sepuluhan ditambah 3 himpunan satuan. Penelitian dan observasi pihak Departemen P & K menyimpulkan, akibat tak lagi diberikannya pelajaran Berhitung, murid SD kurang terampil berhitung praktis sehari-hari. Bahwa ini perlu dan tak cukup hanya diajarkan oleh orangtua dan lingkungan sehari-hari, dituturkan oleh Kusman, guru SD Lempuyangan III Yogyakarta. "Belajar koordinat, titik bilangan, grafik di SD, apa gunanya? Kalaupun lulusan SD bekerja di kantoran, ia tak akan disuruh membuat grafik," kata Kusnan. Ia, yang siswanya banyak tak melanjutkan ke SMP, tapi lalu bekerja karena kondisi ekonomi, melihat perlunya Berhitung diterapkan kembali. Pendapat seperti ini banyak didukung oleh para guru SD di pedesaan. Juga oleh, antara lain, Ngadirun, guru SD Al Ittidaiyah, Medan. "Murid saya sulit mengkhayalkan minus dan plus itu," katanya. Di luar negeri, matematika juga tidak diajarkan secara murni untuk anak seusia SD. Di Filipina umpamanya, pelajaran Berhitung diberikan sejak playgroup sampai kelas IV SD. Di kelas V ke atas barulah Matematika. Sebab, kata Lolita Nillos, guru kelas IV SD, di Manila. "Berhitung merupakan dasar matematika." Toh, orangtua murid tetap bingung. "Berhitung dan matematika sulit digabungkan, seperti sakit mata dan sakit gigi," kata Laura Ruawa, karyawan pabrik tekstil, ibu dua anak yang mengaku tak lagi bisa membantu PR anaknya bila sudah kelas V ke atas. Di Belanda pihak sekolah dibebaskan untuk mengajarkan Matematika saja, atau berhitung ok, atau keduanya. Catatan terakhir, 20% sekolah di sana mengajarkan Matematika campur Berhitung. Di Inggris pun seperti di Belanda. Bedanya, di negeri Putri Diana ini dalam pelajaran Matematika selalu ditekankan bahwa ilmu ini bukan ilmu yang berdiri sendiri, tetapi selalu berhubungan dengan ilmu lainnya dan kejadian sehari-hari. Menarik yang terjadi di Amerika Serikat. Matematika di AS mulai diterapkan di sekolah dasar pada 1950-an. Segera muncul kritik, bahwa pelajaran satu ini terlalu abstrak. Hanya murid-murid yang tergolong cerdas mampu mengikutinya, sementara yang kurang pintar tak memproleh apa pun, bahkan keterampilan berhitung pun tak terlatih. Adalah Komite Matematika untuk Sekolah di Universitas Illionis salah satu lembaga yang berjasa menyusun kembali Matematika dan Aritmatika. Pelajaran campuran itu mulai diterapkan pada 1960-an, akhirnya mantap mulai 1970-an. Kuncinya, pelajaran Matematika selalu dikaitkan dengan contoh kongkret, sementara pelajaran Berhitung tetap diberikan dalam kaitannya dengan Matematika. Kira-kira, dua hal itu diberikan untuk saling menjelaskan, bukannya membingungkan. Bagaimana uji coba di Jawa Timur, baru Februari tahun depan bisa diketahui kesimpulannya. Bila gagal? Kata Menteri P & K, "Sisipannya akan direvisi terus." Putu Setia dan Biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini