SENIN sore pekan ini Menteri P & K Fuad Hassan menerima TEMPO. Wawancara berkisar tentang latar belakang ditambahkannya pclajaran Berhitung pada Matematika. Berikut petikannya: Tentang simpang siur berita Matematika diganti Aritmatika Hasil Rapat Kerja Nasional Departemen P & K 1987 berbunyi: Menyempurnakan sekolah dasar sebagai tempat untuk mengajarkan tiga kemampuan dasar kepada anak, yaitu: baca, tulis, dan hitung. Hitung bisa berarti: menghitung, berhitung. Kesalahan saya mungkin dalam memberikan keterangan kepada wartawan di UI Depok, Senin pekan lalu, saya hanya menyebutkan reading, writing, dan arithmetic. Dan Berhitung hanya menjadi suplemen dari Matematika, bukan menggantikan, dan itu pun masih menunggu hasil uji coba. Untuk apa? Tujuannya, mengajarkan keterampilan berhitung. Bukan Ilmu Berhitung. Keterampilan berhitung ini pokoknya: tambah, kurang, kali, bagi. Ini yang harus dikembalikan. Jangan ada asumsi tamatan SD nantinya akan sampai ke perguruan tinggi. Sebagian besar mereka ya, cuma sampai SD, tok. Jadi, juga diperlukan keterampilan berhitung sehari-hari, misalnya yang dipakai dalam keperluan belanja, beli prangko ke kantor pos. Apakah memang ada penelitian yang menyimpulkan kemampuan berhitung sehari-hari murid SD rendah? Ada. Tapi bukan karena adanya pelajaran Matematika. Melainkan karena tidak adanya keterampilan berhitung dalam pelajaran Matematika. Untuk itulah dibuatkan suplemen. Kalau uji coba berhasil, baru dimasukkan ke buku pegangan. Ini membawa konsekuensi beberapa halaman dari buku matematika lama dikurangi. Sebenarnya, Pak Wirasto (dosen UGM, salah seorang redaksi penyusun buku pelajaran Matematika untuk SD) dulu sudah pernah menyampaikan saran tambahan keterampilan berhitung. Tapi masukan ini ditolak, karena menambah jumlah halaman buku. Kini dengan uji coba ini nantinya kelebihan pengajaran konsep dan teori yang tak sesuai dengan murid usia SD diganti dengan keterampilan berhitung tadi. Bukan Matematika secara keseluruhan yang diganti. Ada yang berpendapat justru Matematika lebih daripada Berhitung karena melatih murid berpikir sendiri menemukan jawaban. Prosesnya yang dipentingkan, bukan hasil akhir. Ya, benar. Cara berpikir yang problem solving, logis. Tapi nyatanya keterampilan praktis berhitung jadi berkurang. Misalnya, 9 kali 9, langsung 81. Ini marginal saja, tak memerlukan teori berhitung. Hal yang inilah yang kurang. Apakah itu penting sebagai bagian dari proses belajar? O, penting. Karena learning by root itu penting. Ini mempercepat anak dalam berorientasi, apakah dengan angka, atau bahasa. Itu jelas. Dan setiap guru tahu. Pernahkah diteliti apakah Matematika kini memang sesuai untuk anak usia SD, atau lebih cocok untuk siswa SMP, misalnya? Kalau tak salah, sebelum Matematika diterapkan, ada usul agar dimulai dari jenjang SMP saja? Ya, karena seluruh dunia begitu. Supaya anak-anak kita tidak ketinggalan dari dunia lain. Tapi kemudian, seperti misalnya di Inggris, terjadi seperti yang kita alami. Matematika lalu dikurangi, ditambah dengan arihmetic. Yang paling liberal di Belanda, sekolah itu sendiri yang disuruh memilih Berhitung tok, atau Matematika tok, atau kedua-duanya. Mana yang paling cocok, itu bisa jadi perdebatan panjang. Sebagai pemegang policy, saya masih mempertahankan Matematika yang sekarang ini, ditambah suplemen Berhitung. Sebab, kalau kembali ke Berhitung, kita harus siap betul-betul. Buku teks misalnya harus disusun yang betul, disesuaikan dengan perkembangan zaman. Buku yang dulu 'kan sudah kedaluwarsa. Apakah ini akan memecahkan masalah keluhan sulitnya pelajaran Matematika? Tidak. Bagaimana seumpama uji coba di beberapa SD di Jawa Timur ini gagal? Ya, suplemen itu direvisi lagi, dong, sampai cocok.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini